Rabu, 13 Februari 2013

Twitter adalah Fenomena




Twitter merupakan media jejaring sosial yang sedang digandrungi oleh masyarakat saat ini. Twitter mempunyai simbol burung yang sedang berkicau, bernama Larry The Bird, yang diambil dari nama seorang pemain basket. Kicauan seekor burung ini dijadikan inspirasi oleh penemu Twitter, Jack Dorsey. Biasanya, burung berkicau hanya sebentar, putus-putus, namun sering. Di Twitter, kita mengirim pesan yang disebut “twit” hanya pendek-pendek, namun boleh sesering mungkin.


Berbeda dengan Facebook yang menjual ruang mengetik lebih luas, Twitter menyediakan ruang mengetik yang sangat sempit, yaitu hanya 140 karakter. 140 karakter itupun harus berkurang jika kita ingin mengirim pesan kepada teman-teman, yang biasa disebut dengan “sebutan” atau “mention”. Ketika kita ingin berbagi foto di Twitter pun memakan karakter. Jika Facebook bisa menyimpan foto lebih banyak dan lebih lebar, Twitter tidak. Foto yang akan kita bagikan ini tergantung dari link tempat mengolah foto tersebut, misalnya dari pic.twitter, yfrog, twitpic, atau instagram.

Namun, mengapa orang-orang justru lebih memilih Twitter sebagai media untuk berbagi informasi? Menurut saya, sempitnya ruang mengetik itu merupakan seni tersendiri. Kita dituntut untuk pintar memainkan kata-kata yang ringkas namun mengena. Sebab, ketika kita hanya ingin berbagi informasi tentang sesuatu yang simpel, misalnya hanya ingin memberi tahu perasaan kita: “sedang bersemangat”, ruang mengetik Twitter cukup efektif. Adapun jika kita mengirimnya melalui status Facebook, rasanya sia-sia karena ruang mengetik Facebook memang bertujuan untuk mengirim kalimat yang panjang.

Twitter bermain dalam detik. Artinya, sekali twit, hanya membutuhkan waktu satu detik untuk sampai ke publik. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang tidak bisa menahan perasaannya sehingga membutuhkan media untuk berbagi. Ketika akan membagi informasi, kita pasti akan memikirkannya terlebih dahulu, informasi tersebut penting atau tidak. Jika hanya sekedar membagi perasaan, kita tentu tahu bahwa hal tersebut tidak penting. Maka, Twitter merupakan jawaban yang tepat sebab sekali dikirim ke lini masa, twit tersebut akan mudah tenggelam oleh twit orang lain, kecuali jika di-retweet oleh orang lain. Sekali twit lagi, di saat yang sama, orang lain juga mengirim twit sehingga saling tumpang tindih. Hal ini berbeda dengan Facebook. Memang, Facebook juga bermain dalam detik, namun status update yang kita kirim bisa awet di linimasa dan tidak mudah tenggelam jika yang memberi komentar atau sekedar memberi “like” terus bertambah. Sekali dikomentari, status tersebut akan muncul kembali ke permukaan. Nah, jika kita merasa status kita tidak penting, rasanya malu jika status tersebut banyak dikomentari sehingga awet di lini masa. Dikhawatirkan, ada orang yang merasa terganggu dengan status tidak penting kita.

Pada tanggal 9 Oktober 2012, Tempo Interaktif membahas tentang hal-hal yang terjadi di dunia dalam waktu 60 detik, salah satunya adalah tentang Twitter. Betapa mengejutkan. Dalam 60 detik, 98.000 kicauan baru muncul di Twitter dan 320 akun baru muncul. Bayangkan, misalnya kita mengikuti 98.000 akun Twitter yang semua pemilik akun tersebut mengirim twit pada saat yang bersamaan, wawasan kita semakin luas. Sebab, dari twit-twit tersebut, pasti akan ada kemiripannya antara yang satu dengan yang lain. Kemiripan tersebut terletak pada topik yang sedang dibahas. Apalagi, terdapat fasilitas Retweet yang memungkinkan sebuah twit bisa menjadi berlipat-ganda jika di-Retweet oleh banyak orang.

Dalam Twitter terdapat istilah “Trending Topic”. Artinya, topik yang sedang dibahas oleh pengguna Twitter yang mempunyai kesamaan kata. Misalnya, ketika Indonesia berhasil memecahkan rekor Trending Topic World Wide ketika sedang membicarakan Sean Idol yang menyanyikan lagu “Firework” dengan bagus, para pengguna Twitter sepakat untuk mengirim twit dengan kata: “Sean – Firework”. Masyarakat Indonesia merasa bangga jika hasil twitnya berhasil memasuki 10 besar Trending Topic World Wide.

Adanya trending topic itulah yang membuat kita menjadi lebih up to date terhadap suatu permasalahan yang sedang berkembang. Saking cepatnya twit-twit itu bermunculan, media yang seharusnya bertugas untuk memberitakan suatu peristiwa akhirnya kalah. Bukannya kita yang membicarakan sesuatu karena tahu dari media, tetapi justru media yang akan memberitakan sesuatu dari perbincangan di Twitter.

Namun, dari perbincangan di Twitter tersebut, sangat mungkin timbul fitnah atau berita bohong di dalamnya. Seseorang pasti akan lebih tertarik pada berita yang menghebohkan atau tidak masuk akal, namun bohong. Jika semua orang beranggapan seperti ini, akan menjadi trending topic yang kebenarannya harus dibuktikan lagi. Misalnya, ketika trending topic-nya berbunyi “RIP Jackie Chan”, sebagian besar masyarakat tidak percaya akan hal tersebut. Maka, mereka mengirim twit tentang ketidakpercayaannya tersebut. Ketika semua orang merasa tidak percaya dan semua mengirim twit, terjadilah trending topic. Maka, seolah, berita meninggalnya Jackie Chan itu benar, padahal yang benar adalah sebagian besar orang merasa tidak percaya tentang kabar meninggalnya Jackie Chan.

Fitnah pun juga bisa menyebar melalui persamaan twit untuk menjelek-jelekkan seseorang. Hal ini bisa kita lihat ketika proses pemilihan Hakim Agung di DPR beberapa waktu lalu. Saat proses fit and proper test, ada salah satu calon Hakim Agung bernama Daming Sunusi yang menjawab pertanyaan anggota DPR dengan kontroversial, namun itu di luar dugaannya. Maka, masyarakat ramai-ramai menghujat Daming Sunusi di Twitter, bahkan sampai berujung pada pemboikotan atau penolakan Daming Sunusi menjadi Hakim Agung. Padahal, saya tahu betul sosok Pak Daming Sunusi. Beliau adalah seorang hakim yang mempunyai rekam jejak yang bagus, tidak pernah menerima suap, serta religius. Pertanyaan dari anggota DPR dijawab dengan jawaban yang sungguh tidak masuk akal jika dijawab oleh seorang Daming Sunusi. Namun, saya masih percaya bahwa beliau adalah orang yang baik. Setelah itu, beliau meminta maaf kepada publik atas ucapannya sambil menangis. Tangisannya merupakan tangisan yang tulus serta benar-benar khilaf.

Sementara itu, apa yang dilakukan masyarakat di Twitter? Mereka justru menghujatnya dan tidak menerima maafnya. Peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” rupanya cocok dialamatkan kepada Pak Daming. Mereka tidak memperhitungkan rekam jejak Pak Daming sebelumnya. Atas komentar mainstream masyarakat, maka muncullah akun Twitter sebagai penyeimbang bernama: @DukungDaming yang menjelaskan tentang kebaikan-kebaikan Pak Daming. Akun ini mendapat banyak tanggapan positif, meskipun tidak sebanyak para penghujat Pak Daming. Namun, akun @DukungDaming di-suspend oleh seseorang yang tidak menyukainya. Maka, si admin tidak menyerah dan membuat akun baru bernama @BelaDaming.

Dari kasus Pak Daming, saya bisa menarik kesimpulan bahwa pasti akan ada akun-akun baru sebagai tandingan atas mainstream pendapat yang sedang berkembang. Jika kedua kubu sama kuatnya, lini masa twitter kita akan semakin ramai. Maka, kedewasaan kita dalam menyikapi isu di Twitter sangat diperlukan. Jangan sampai hanya karena mainstream, kita jadi ikut-ikutan. Perlu kajian yang lebih banyak untuk menyelidiki isu tersebut, karena bisa saja satu twit sangat berpengaruh terhadap opini publik, terutama jika twitnya di-retweet oleh banyak orang. Me-retweet kabar burung berarti telah menyumbangkan satu fitnah yang juga bisa diikuti oleh orang lain.

Baik, kembali lagi kepada bahasan tentang sedikitnya karakter di Twitter. Bagaimana jika kita ingin membagi informasi yang panjang? Biasanya, masyarakat memakai tanda pagar atau sering disebut hashtag. Hashtag ini bertujuan untuk memudahkan para pembaca jika ingin mendalami suatu isu di Twitter. Hashtag tersebut juga bertujuan agar bahasan kita di Twitter lebih terfokus. Sebab, Twitter hanya menyediakan 140 karakter, sementara kita ingin mengirim twit yang banyak. Maka, seperti burung yang berkicau putus-putus, kita membagi informasi secara terputus-putus juga. Untuk menyatukannya, pakai hashtag.Tinggal klik hashtag-nya, kita akan terfokus pada isu tersebut. Misalnya, saya sedang kuliah twit (kultwit) tentang SNMPTN Tahun 2013, yang saya kirim dalam puluhan twit. Agar masyarakat lebih mudah membaca twit saya tentang hal ini, saya memakai hashtag #SNMPTN13. Maka, tinggal klik hashtag tersebut, masyarakat bisa terfokus ketika membaca twit-twit saya.

Namun, Twitter tidak selamanya lancar. Saking butuhnya masyarakat akan informasi yang berasal dari Twitter, bisa saja terjadi kesalahan di Twitter, yaitu “Twitter is over capacity”. Beberapa menit yang lalu sempat terjadi hal demikian, sangat susah untuk mengirim twit. Jika masyarakat tidak membutuhkan Twitter, peristiwa tadi  merupakan hal biasa. Namun, Twitter sangat dibutuhkan masyarakat. Contohnya, ada seorang pengguna Twitter yang mengirim twit: “Twitter error berdampak sistemik”. Mungkin, orang tersebut sedang sangat membutuhkan Twitter untuk berbagi dan mendapatkan informasi.

Apapun yang terjadi di sana, Twitter hanyalah dunia maya yang bahkan bisa menyaingi media. Namun, dari dunia maya tersebut, bisa saja berdampak sistemik ke dunia nyata. Maka, sekali lagi, kedewasaan sangat diperlukan dalam menyikapi isu yang sedang berkembang di Twitter. Kaji lebih dalam tentang isu yang berkembang, jangan sampai kita hanya mengikuti mainstream yang belum tentu benar. Hati-hati, Twitter itu berdampak sistemik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar