Twitter
merupakan media jejaring sosial yang sedang digandrungi oleh masyarakat saat
ini. Twitter mempunyai simbol burung yang sedang berkicau, bernama Larry The Bird, yang diambil dari nama
seorang pemain basket. Kicauan seekor burung ini dijadikan inspirasi oleh
penemu Twitter, Jack Dorsey. Biasanya, burung berkicau hanya sebentar,
putus-putus, namun sering. Di Twitter, kita mengirim pesan yang disebut “twit”
hanya pendek-pendek, namun boleh sesering mungkin.
Berbeda dengan
Facebook yang menjual ruang mengetik lebih luas, Twitter menyediakan ruang mengetik
yang sangat sempit, yaitu hanya 140 karakter. 140 karakter itupun harus berkurang
jika kita ingin mengirim pesan kepada teman-teman, yang biasa disebut dengan
“sebutan” atau “mention”. Ketika kita
ingin berbagi foto di Twitter pun memakan karakter. Jika Facebook bisa
menyimpan foto lebih banyak dan lebih lebar, Twitter tidak. Foto yang akan kita
bagikan ini tergantung dari link tempat mengolah foto tersebut, misalnya dari
pic.twitter, yfrog, twitpic, atau instagram.
Namun, mengapa
orang-orang justru lebih memilih Twitter sebagai media untuk berbagi informasi?
Menurut saya, sempitnya ruang mengetik itu merupakan seni tersendiri. Kita
dituntut untuk pintar memainkan kata-kata yang ringkas namun mengena. Sebab,
ketika kita hanya ingin berbagi informasi tentang sesuatu yang simpel, misalnya
hanya ingin memberi tahu perasaan kita: “sedang
bersemangat”, ruang mengetik Twitter cukup efektif. Adapun jika kita
mengirimnya melalui status Facebook, rasanya sia-sia karena ruang mengetik
Facebook memang bertujuan untuk mengirim kalimat yang panjang.
Twitter
bermain dalam detik. Artinya, sekali twit, hanya membutuhkan waktu satu detik
untuk sampai ke publik. Sudah menjadi sifat dasar manusia yang tidak bisa
menahan perasaannya sehingga membutuhkan media untuk berbagi. Ketika akan
membagi informasi, kita pasti akan memikirkannya terlebih dahulu, informasi
tersebut penting atau tidak. Jika hanya sekedar membagi perasaan, kita tentu
tahu bahwa hal tersebut tidak penting. Maka, Twitter merupakan jawaban yang
tepat sebab sekali dikirim ke lini masa, twit tersebut akan mudah tenggelam
oleh twit orang lain, kecuali jika di-retweet
oleh orang lain. Sekali twit lagi, di saat yang sama, orang lain juga
mengirim twit sehingga saling tumpang tindih. Hal ini berbeda dengan Facebook.
Memang, Facebook juga bermain dalam detik, namun status update yang kita kirim
bisa awet di linimasa dan tidak mudah tenggelam jika yang memberi komentar atau
sekedar memberi “like” terus bertambah. Sekali dikomentari, status tersebut
akan muncul kembali ke permukaan. Nah, jika kita merasa status kita tidak
penting, rasanya malu jika status tersebut banyak dikomentari sehingga awet di
lini masa. Dikhawatirkan, ada orang yang merasa terganggu dengan status tidak
penting kita.
Pada tanggal 9
Oktober 2012, Tempo Interaktif membahas tentang hal-hal yang terjadi di dunia
dalam waktu 60 detik, salah satunya adalah tentang Twitter. Betapa mengejutkan.
Dalam 60 detik, 98.000 kicauan baru muncul di Twitter dan 320 akun baru muncul.
Bayangkan, misalnya kita mengikuti 98.000 akun Twitter yang semua pemilik akun
tersebut mengirim twit pada saat yang bersamaan, wawasan kita semakin luas.
Sebab, dari twit-twit tersebut, pasti akan ada kemiripannya antara yang satu
dengan yang lain. Kemiripan tersebut terletak pada topik yang sedang dibahas. Apalagi,
terdapat fasilitas Retweet yang
memungkinkan sebuah twit bisa menjadi berlipat-ganda jika di-Retweet oleh banyak orang.
Dalam Twitter
terdapat istilah “Trending Topic”.
Artinya, topik yang sedang dibahas oleh pengguna Twitter yang mempunyai
kesamaan kata. Misalnya, ketika Indonesia berhasil memecahkan rekor Trending Topic World Wide ketika sedang
membicarakan Sean Idol yang menyanyikan lagu “Firework” dengan bagus, para pengguna Twitter sepakat untuk
mengirim twit dengan kata: “Sean – Firework”. Masyarakat Indonesia merasa
bangga jika hasil twitnya berhasil memasuki 10 besar Trending Topic World Wide.
Adanya trending topic itulah yang membuat kita
menjadi lebih up to date terhadap
suatu permasalahan yang sedang berkembang. Saking cepatnya twit-twit itu
bermunculan, media yang seharusnya bertugas untuk memberitakan suatu peristiwa
akhirnya kalah. Bukannya kita yang membicarakan sesuatu karena tahu dari media,
tetapi justru media yang akan memberitakan sesuatu dari perbincangan di
Twitter.
Namun, dari
perbincangan di Twitter tersebut, sangat mungkin timbul fitnah atau berita
bohong di dalamnya. Seseorang pasti akan lebih tertarik pada berita yang
menghebohkan atau tidak masuk akal, namun bohong. Jika semua orang beranggapan
seperti ini, akan menjadi trending topic yang
kebenarannya harus dibuktikan lagi. Misalnya, ketika trending topic-nya berbunyi “RIP Jackie Chan”, sebagian besar
masyarakat tidak percaya akan hal tersebut. Maka, mereka mengirim twit tentang
ketidakpercayaannya tersebut. Ketika semua orang merasa tidak percaya dan semua
mengirim twit, terjadilah trending topic.
Maka, seolah, berita meninggalnya Jackie Chan itu benar, padahal yang benar
adalah sebagian besar orang merasa tidak percaya tentang kabar meninggalnya
Jackie Chan.
Fitnah pun
juga bisa menyebar melalui persamaan twit untuk menjelek-jelekkan seseorang.
Hal ini bisa kita lihat ketika proses pemilihan Hakim Agung di DPR beberapa
waktu lalu. Saat proses fit and proper
test, ada salah satu calon Hakim Agung bernama Daming Sunusi yang menjawab
pertanyaan anggota DPR dengan kontroversial, namun itu di luar dugaannya. Maka,
masyarakat ramai-ramai menghujat Daming Sunusi di Twitter, bahkan sampai
berujung pada pemboikotan atau penolakan Daming Sunusi menjadi Hakim Agung.
Padahal, saya tahu betul sosok Pak Daming Sunusi. Beliau adalah seorang hakim
yang mempunyai rekam jejak yang bagus, tidak pernah menerima suap, serta
religius. Pertanyaan dari anggota DPR dijawab dengan jawaban yang sungguh tidak
masuk akal jika dijawab oleh seorang Daming Sunusi. Namun, saya masih percaya
bahwa beliau adalah orang yang baik. Setelah itu, beliau meminta maaf kepada
publik atas ucapannya sambil menangis. Tangisannya merupakan tangisan yang
tulus serta benar-benar khilaf.
Sementara itu, apa yang dilakukan masyarakat di Twitter? Mereka justru menghujatnya dan tidak menerima maafnya. Peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” rupanya cocok dialamatkan kepada Pak Daming. Mereka tidak memperhitungkan rekam jejak Pak Daming sebelumnya. Atas komentar mainstream masyarakat, maka muncullah akun Twitter sebagai penyeimbang bernama: @DukungDaming yang menjelaskan tentang kebaikan-kebaikan Pak Daming. Akun ini mendapat banyak tanggapan positif, meskipun tidak sebanyak para penghujat Pak Daming. Namun, akun @DukungDaming di-suspend oleh seseorang yang tidak menyukainya. Maka, si admin tidak menyerah dan membuat akun baru bernama @BelaDaming.
Sementara itu, apa yang dilakukan masyarakat di Twitter? Mereka justru menghujatnya dan tidak menerima maafnya. Peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” rupanya cocok dialamatkan kepada Pak Daming. Mereka tidak memperhitungkan rekam jejak Pak Daming sebelumnya. Atas komentar mainstream masyarakat, maka muncullah akun Twitter sebagai penyeimbang bernama: @DukungDaming yang menjelaskan tentang kebaikan-kebaikan Pak Daming. Akun ini mendapat banyak tanggapan positif, meskipun tidak sebanyak para penghujat Pak Daming. Namun, akun @DukungDaming di-suspend oleh seseorang yang tidak menyukainya. Maka, si admin tidak menyerah dan membuat akun baru bernama @BelaDaming.
Dari kasus Pak
Daming, saya bisa menarik kesimpulan bahwa pasti akan ada akun-akun baru
sebagai tandingan atas mainstream pendapat
yang sedang berkembang. Jika kedua kubu sama kuatnya, lini masa twitter kita
akan semakin ramai. Maka, kedewasaan kita dalam menyikapi isu di Twitter sangat
diperlukan. Jangan sampai hanya karena mainstream,
kita jadi ikut-ikutan. Perlu kajian yang lebih banyak untuk menyelidiki isu
tersebut, karena bisa saja satu twit sangat berpengaruh terhadap opini publik,
terutama jika twitnya di-retweet oleh
banyak orang. Me-retweet kabar burung
berarti telah menyumbangkan satu fitnah yang juga bisa diikuti oleh orang lain.
Baik, kembali
lagi kepada bahasan tentang sedikitnya karakter di Twitter. Bagaimana jika kita
ingin membagi informasi yang panjang? Biasanya, masyarakat memakai tanda pagar
atau sering disebut hashtag. Hashtag ini bertujuan untuk memudahkan
para pembaca jika ingin mendalami suatu isu di Twitter. Hashtag tersebut juga bertujuan agar bahasan kita di Twitter lebih
terfokus. Sebab, Twitter hanya menyediakan 140 karakter, sementara kita ingin
mengirim twit yang banyak. Maka, seperti burung yang berkicau putus-putus, kita
membagi informasi secara terputus-putus juga. Untuk menyatukannya, pakai hashtag.Tinggal klik hashtag-nya, kita akan terfokus pada isu
tersebut. Misalnya, saya sedang kuliah twit (kultwit) tentang SNMPTN Tahun
2013, yang saya kirim dalam puluhan twit. Agar masyarakat lebih mudah membaca
twit saya tentang hal ini, saya memakai hashtag
#SNMPTN13. Maka, tinggal klik hashtag
tersebut, masyarakat bisa terfokus ketika membaca twit-twit saya.
Namun, Twitter
tidak selamanya lancar. Saking butuhnya masyarakat akan informasi yang berasal
dari Twitter, bisa saja terjadi kesalahan di Twitter, yaitu “Twitter is over capacity”. Beberapa
menit yang lalu sempat terjadi hal demikian, sangat susah untuk mengirim twit.
Jika masyarakat tidak membutuhkan Twitter, peristiwa tadi merupakan hal biasa. Namun, Twitter sangat
dibutuhkan masyarakat. Contohnya, ada seorang pengguna Twitter yang mengirim
twit: “Twitter error berdampak sistemik”. Mungkin, orang tersebut sedang sangat
membutuhkan Twitter untuk berbagi dan mendapatkan informasi.
Apapun yang
terjadi di sana, Twitter hanyalah dunia maya yang bahkan bisa menyaingi media.
Namun, dari dunia maya tersebut, bisa saja berdampak sistemik ke dunia nyata.
Maka, sekali lagi, kedewasaan sangat diperlukan dalam menyikapi isu yang sedang
berkembang di Twitter. Kaji lebih dalam tentang isu yang berkembang, jangan
sampai kita hanya mengikuti mainstream yang
belum tentu benar. Hati-hati, Twitter itu berdampak sistemik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar