Senin, 31 Desember 2012

Mengapa Harus Ta'aruf?


Entah kenapa, beberapa pertemuan terakhir dalam kelompok ngaji saya, pembahasannya seputar pernikahan. Ya, mungkin memang sudah saatnya kami sekelompok yang semua anggotanya angkatan 2009 alias mahasiswa tingkat akhir, pernikahan bukan hal yang tabu lagi untuk dibicarakan. Mungkin, ada hubungannya juga dengan mantan murabbi kami yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini. Pada awal bulan Desember pun, Kemuslimahan KMFH mengadakan Kajian Rutin Jumat Siang (Kantinjus) yang bertema Munakahat. Pada tanggal 11 Desember, KRPH khusus akhwat juga membahas tentang bagaimana menjadi istri shalihah. Ketika berkumpul bersama teman-teman kampus maupun Genk Melingkar, pembahasannya juga tetap sama: pernikahan. Duh, rasanya kepala ini sudah penuh sesak dijejali dengan kata “pernikahan”.


Lalu, apa yang dilakukan oleh Murabbi kami selanjutnya? Konkret. Beliau mengirimkan form ta’aruf via email dan meminta kami untuk segera mengumpulkannya, karena prosesnya bisa lama. Glek! Saya cuma nyengir, diam tanpa kata begitu membuka email. Yakin, diisi sekarang dan dikumpulkan? Isinya panjang banget, dari mulai kegiatan sehari-hari, ibadah, sampai latar belakang keluarga. Kelihatannya gampang, seperti mengisi CV kalo kita mau jadi pembicara di suatu diskusi. Namun, mengisinya harus dengan persiapan yang matang, tentu saja. Bagaimana mungkin, isi form nanti berisi kebiasaan-kebiasaan buruk kita? Setelah dikumpulkan, akan dicarikan proposal ikhwan yang cocok.

Nah, berangkat dari proses tersebut, saya jadi berpikir, kenapa sih mau nikah aja ribet, harus memperbaiki ibadah dan kebiasaan sehari-hari? Saya lihat, orang yang pacaran fine-fine aja tuh. Mereka sudah saling kenal sebelumnya melalui pacaran, dan sudah menerima kebiasaan buruk masing-masing. Tak peduli bagaimana ibadahnya, yang penting cinta, ayo nikah. Bukankah hanya pernikahan, tujuan utama dari pasangan kekasih yang sedang dilanda asmara?

Coba pikirkan ulang. Yakin, tujuannya hanya menikah? Sebenarnya, ada tujuan yang lebih mulia dari pernikahan, yaitu IBADAH. Pure, murni hanya ibadah kepada Allah. Maka, Rasulullah pernah bersabda:  "Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah untuk menyempurnakan sebagian lainnya." (HR Baihaqi dengan sanad hasan).

Baik, karena niatnya untuk ibadah, maka ibaratkan menikah seperti ibadah yang lain, seperti shalat, seperti shalat, puasa, zakat, naik haji, dll. Jika kita shalat, tentu kita harus mengetahui betul tata cara shalat beserta rukun-rukunnya. Salah satu syarat untuk shalat adalah diawali dengan wudhu. Tentu kita juga harus tahu betul urutan wudhu. Jangan sampai karena satu hal yang salah, rusak shalat kita. Akibatnya, shalat yang kita lakukan hanya sia-sia dan tidak dinilai ibadah oleh-Nya. Contoh yang lain adalah ibadah puasa. Jika niat puasa kita untuk ibadah, tentu kita akan menjaga betul puasa kita. Jangan sampai saat sedang puasa kita menggosip, tidak shalat, atau berpura-pura tidak sengaja makan. Tentu tidak mau kan, kalau puasa kita tidak dinilai ibadah oleh Allah? Kita pasti hanya akan merasa lapar dan haus tanpa mendapatkan pahala apa-apa.

Nah, demikian halnya dengan pernikahan. Saya sendiri ingin pernikahan saya cukup sekali seumur hidup. Maka, saya ingin pernikahan saya nanti berkah dan dinilai ibadah oleh Allah. Untuk mendapatkan keberkahan itu, tentu harus dimulai dengan proses yang sesuai syariat Islam (syar'i). Jangan sampai dari pernikahan, kita tidak mendapatkan apa-apa dari-Nya, padahal kita sudah capek-capek mengurus anak, melayani suami, dan mengatasi masalah keluarga. Seperti artikel saya sebelumnya tentang jilbab, kita tidak tahu ikhtiar yang kita lakukan syar'i atau tidak. Namun, yang penting adalah kita telah mengusahakan untuk syar'i. Ya, pernikahan yang diawali dengan ta'aruf merupakan jawaban terbaik dari permasalahan ini.

Mengapa harus ta'aruf? Bukankah pacaran juga ta'aruf? Kan saling mengenal? Saya sebel jika ada pasangan cowok-cewek yag pacaran tetapi mengaku ta'aruf. PACARAN ≠ TA'ARUF. Berikut perbedaannya versi saya:

1.  Pacaran itu kedua pasangan saling suka duluan dan meresmikan hubungannya dengan jadian. Untuk menuju pernikahan, biasanya menunda-nunda, yang penting, dinikmati dulu masa pacarannya.
Tetapi ta'aruf tidak. Ikhwan-akhwat yang dipertemukan melalui ta'aruf tidak ada rasa saling suka duluan. Jika sudah merasa cocok, tidak perlu berlama-lama, ikhwan harus segera mendatangi orang tua si akhwat untuk melamarnya.

2.  Pacaran itu penuh dengan gombalan dan basa-basi, tetapi ta'aruf tidak. Jika mempunyai pacar yang ganteng/cantik, pasti merasa bangga. Segala hal dilakukan demi mempertahankan keutuhan hubungan perpacaran. Maka, jangan sampai hal-hal yang membuat malu terkuak. Yang diperlihatkan hanya hal-hal yang baik-baik saja. Namun, ada juga yang pacaran tetapi kekurangan-kekurangannya diperlihatkan, agar pasangannya mengetahuinya sejak dini. Sayangnya, pasangan yang seperti ini biasanya tidak bertahan lama. Adapun ta'aruf, harus jujur. Meski perkenalannya hanya singkat, namun akan lebih indah jika kelebihan pasangan diketahui setelah menikah. Ikhwan-akhwat yang shalih/ah pasti akan menerima kekurangan pasangannya dengan ikhlas.

3.  Pacaran itu tanpa batasan yang jelas, sedangkan ta'aruf tidak. Ketika seseorang telah mendeklarasikan dirinya sebagai pacar dari X, tentu segalanya diberikan, karena pacara berarti "memiliki". Karena telah merasa menjadi miliknya, seorang pacar bisa berbuat sesuka hati pada pasangannya. Mau pegang-pegangan, rangkul-rangkulan, cium-ciuman, tidak masalah, kan sudah menjadi "hak milik"? Dalam ta'aruf, hal ini tentu saja dilarang. Sebab, ikhwan-akhwat yang masih menjalani ta'aruf itu belum halal menjadi suami-istri. Maka, hal-hal yang dilakukan tentu saja layaknya seperti dua orang yang tidak memiliki hubungan apa-apa.

4.  Pacaran itu berkhalwat, sedangkan ta'aruf tidak. Dua orang yang pacaran pasti sering jalan-jalan bareng, atau menyendiri di suatu tempat entah ngapain. Adapun ta'aruf harus didampingi murabbi, orang tua, atau mahramnya. Ingat kan kata Rasulullah, jika ada dua orang berlainan jenis yang belum mahram, maka orang ketiga adalah setan. Mau ditemani setan? Kalau saya sih ogah.

5.  Pacaran itu perlu dipublikasikan, sedangkan ta'aruf tidak. Siapa sih yang tidak ingin status "in relationship"-nya tidak diketahui orang? Di Facebook, ada fasilitas untuk mempublikasikan statusnya, yaitu tinggal klik "in relationship with..." lalu pilih akun pacarnya. Sudah menjadi mainstream bahwa masa muda tidak seru kalau tidak pacaran. Jomblo itu antimainstream. Maka, mereka berlomba untuk mendapatkan pacar. Nah, bagaimana jika putus? Semua orang tentu tahu.
Hal ini tentu sangat berseberangan dengan "gerakan" ta'aruf yang serba amniah. Mulai dari prosesnya, sedang berta'aruf dengan siapa,  diperantarai oleh siapa, apa yang didiskusikan, semua serba rahasia. Baru mulai dipublikasikan jika ta'aruf sudah gol dan berlanjut ke tahap pernikahan. Sifat rahasia ta'aruf ini tentu saja untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak. Ditakutkan, jika ta'aruf itu gagal, semua rahasia kedua belah pihak yang sudah diketahui masing-masing, akan diketahui orang lain.

Memang, banyak yang meragukan keakuratan dari ta'aruf itu. Jika dipikir, mana mungkin kita menikah dengan orang yang hanya beberapa hari kita kenal? Bagaimana jika ternyata semua keburukan pasangan terungkap setelah pernikahan? Maukah kita menerimanya? Nah, di sinilah pentingnya ikhlas dan meluruskan kembali niat untuk menikah, yaitu ibadah.

Kita pasti masih ingat kasus Bupati Garut, Aceng Fikri, yang menikahi gadis berumur 18 tahun hanya selama empat hari. Menurut Aceng, pernikahan itu adalah perbuatan perdata biasa seperti jual-beli. Jika, jika tidak sesuai spesifikasi yang telah diperjanjikan sebelumnya, bisa dikembalikan. Enak aja! Pernikahan disamakan dengan jual-beli??? Jual-beli itu objeknya barang bro, sedngkan pernikahan objeknya manusia yang punya hati! Hal ini bisa kita jadikan refelksi, bahwa jika niat menikah kita untuk ibadah, kekurangan pasangan akan kita tutupi dan kita sempurnakan. Saling menerima pasangan apa adanya merupakan kunci penting demi terwujudnya pernikahan yang utuh dan bahagia.

Baik, kembali ke konsep kesempurnaan ibadah. Ibadah yang sempurna adalah bukan saja terlaksananya ibadah tersebut, tetapi juga dimulai dari proses yang benar. Ikhtiar menuju syar'i kita dalam berproses insya Allah akan dihitung ibadah. Keberkahan, ya, keberkahan. Inilah yang harus kita cari. Ingin punya anak shalih dan shalihah yang selalu mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya? Makanya, cari pasangan shalih!

Nah, jadi gimana Cipuk, kapan mau ngumpulin form ta'aruf? Hmmm, nanti ya, sedang berusaha memperbaiki ibadah, biar hal-hal yag tertulis di form itu tidak memalukan :p
Karena stok ikhwan di BKKBS banyak yang berkualitas, maka tidak ada salahnya kita memperbaiki kualitas diri dulu.
Memperbaiki diri = memperbaiki jodoh, memperbaiki umat.





6 komentar:

  1. Ih, paling suka deh sama animasi Kawanimut itu :*

    BalasHapus
  2. makasih udah diingatkan tentang ini.
    nice article kak.

    BalasHapus
  3. Kowe duwe pacar durung puk? :D

    BalasHapus
  4. Baca buku fauzil adhim judulnya kado pernikahan untuk istriku, insyaalloh pemahamanmu ttg taaruf jd lbih luas Puk :-) klo hatimu sudah condong pd seseorang mka bisa juga cri info ttg orang tsb dr sahabat, keluarga, tetangga, dll. Dan klo sudah mantap mlamar pda walinya. Mnrtku ga hrus slalu pkai proposal, asal dlm prosesnya gak mlanggar syariat :-) wkwk sotoy bgt sih aku B-)

    BalasHapus
  5. Izin share yah mas/mba untuk di pos ke blog saya :
    http://kitabatihaazim.blogspot.com
    dengan menyertakan sumbernya.

    BalasHapus