Rabu, 24 April 2013

Awas Penipuan Berkedok Akademis!

Berhati-hatilah pada penipuan yang mengatasnamakan rektor, dekan, dirmawa, dsb. Setidaknya ini yang baru saja saya alami. Tapi alhamdulillah saya aman, tidak jadi kena tipu.
Demikian kronologinya, yang akan saya lanjutkan dengan analisis.
Pada Hari Senin, 22 April 2013 sekitar pukul 13.00, saya masih di kos, bersiap-siap untuk ke kampus. Saya berencana mau melihat langsung uji coba Smartcard di Jalan Sosio-Yustisia. Handphone Samsung saya tiba-tiba berdering, ada panggilan masuk dari nomor: 08161622116. Sengaja saya publikasikan nomer ini agar Pembaca waspada jika dihubungi oleh nomer ini.


Saya angkat telepon itu. “Halo, assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumussalam. Benar, ini dengan Mbak Cipuk?” suara dari seberang.
“Iya, benar.” jawabku.
“Ini dari Ditmawa, Mbak. Mbak Cipuk sudah terima SMS dari kami?”
“SMS apa ya Pak?”
“Ya sudah, nanti saya kirim SMS-nya sebentar.”
Si “Ditmawa” pun menutup teleponnya. Kemudian, dia mengirim SMS ke saya. Belum sempat saya baca, dia menelepon saya lagi.
“Bagaimana Mbak Cipuk, sudah dapet SMS-nya? Bisa ikut ya?”
“Wah, maaf Pak, belum saya baca.”
Gile ni orang, kasih waktu dulu lah buat mbaca SMS. Kemudian SMS pun saya baca. Isinya begini:
Saya Bpk Drs. Haryanto, Ditmawa UGM, mengundang Sdr. Cipuk Wulan Adhasari untuk mengikuti seminar dan pelatihan kewirausahaan pada tanggal 27-28 April di Hotel Borobudur Jakarta. Harap segera menghubungi Pak Pratikno : 081222211034. Trims.
 Wuidiiih... Hotel Borobudur? Nggak salah?? Itu kan tempatnya Indonesian Lawyers Club. Nggak mungkin ah seorang Cipuk bisa nginep di sana. Ya sudah, saya bales lah itu SMS: “Iya Pak.”
Kemudian orang itu telepon saya, “Gimana Mbak? Sudah bales kan?”
“Sudah, Pak. Emang itu acara apa ya, Pak?”
“Jadi itu acara seminar kewirausahaan. Dari mahasiswa UGM ada 5 orang yang kami pilih untuk ikut. Ya sudah ya Mbak, segera telepon Pak Pratikno.”
Tanpa rasa curiga saya pun menelepon nomer yang ada di SMS tersebut. Waduh, agak canggung nih nelepon Pak Rektor UGM. Telepon saya pun diangkat.
“Halo, Mbak Cipuk ya?” “Iya Pak.”
“Gimana Mbak, bisa kan ikut seminar itu? Jadi, Mbak beserta 4 mahasiswa UGM lain saya minta untuk menemani saya di Seminar kewirausahaan di Jakarta. Jadi acaranya nanti tanggal 27-28 April di Hotel Borubudur Jakarta. Bagaimana, ada waktu kan besok Sabtu-Minggu ini?” suaranya emang agak mirip Pak Praktikno.
“Bisa Pak.” Duh, tapi sebenernya ada Sekolah Kementrian nih.
“Baik. Jadi begini Mbak Cipuk, nanti untuk akomodasi, transportasi, dsb ditanggung oleh Dikti. Seminar ini dibiayai oleh anggaran Dikti yang disisihkan. Setiap orang akan mendapatkan 8 juta rupiah. Ini dalam bentuk travellers cheque, tapi bukan cash, jadi akan dikirim ke rekening masing-masing peserta. Mbak Cipuk ada rekening bank kan? Bank apa?”
“Ada, Pak. Bank Muamalat.”
“Baik. Tapi karena transfer itu maksimal hanya bisa mengirim 5 juta, jadi hari ini akan kami kirim 5 juta dulu. Bisa Mbak diktekan berapa nomer rekeningnya?”
Saya pun membacakan nomer rekening Bank Muamalat saya.
“Baik. Selain Muamalat ada yang lain?”
“Ada, Pak, BNI.”
“Baik, tolong bacakan.” Saya juga membacakan nomer rekening BNI saya.
“Baik, Mbak Cipuk, bisa ke ATM sekarang? ATM mana yang lebih dekat? Muamalat atau BNI?”
“Muamalat, Pak.” Saya pikir lebih dekat Muamalat yang ada di Hokben Jakal.
“Nah, sekarang juga tolong ke ATM ya. Oya, pembicaraan kita ini direkam oleh Dikti lho, sebagai pertanggungjawaban keuangannya. Jadi tolong telepon ini tetap aktif, jangan ditutup. Nanti kalo sudah sampai ATM, tolong beri tahu saya. Tapi sekali lagi jangan tutup teleponnya.”
Saya pun bersiap-siap. Eiiitss... Tunggu!!! Masa sih itu Pak Pratikno?? Saya juga heran, kayaknya Pak Praktikno suaranya nggak kayak gitu deh, suaranya lebih berat. Saya pun langsung berpikir bahwa ini penipuan. Aduh, jangan2 rekeningku mau diapa-apain nih.
Saya pun langsung bilang, “Maaf Pak, ke ATM yang BNI saja.” Saya langsung berpikir cepat untuk mengalihkan ke BNI karena rekening di BNI memang sudah saya kosongkan. Saya pindahkan semua isi tabungan ke Bank Muamalat. Menghindari riba bro, hehe.
Kembali lagi ke cerita. Saya gugup sekali. Secepatnya, saya langsung tutup hape saya dengan bantal agar tidak ketahuan apa yang akan saya lakukan. Saya ambil hape Sony Ericsson yang berisi kartu As. Saya mau mencari Yanuar, minta nomer Pak Pratikno. Ingin saya bandingkan nomernya, apakah sama dengan yang saya hubungi barusan. Wah, ternyata, di hape Sony Ericsson tidak ada nomernya Yanuar. Hanya ada nomernya Bibi, Ratri, dan Fathin, karena mereka pernah menghubungi saya ke nomer As di hape Sony Ericsson. Ya sudah, saya pun menelepon Bibi, barangkali dia lagi di sekre BEM KM bersama Yanuar. Ternyata, Bibi di kampus. Selanjutnya, saya menelepon Ratri. Langsung saja saya tanya, apakah punya nomernya Pak Praktikno. Alhamdulillah, Ratri punya. Setelah saya bandingkan, ternyata nomernya beda. Hmmm, fix. Ini penipuan.
Kemudian, saya ambil lagi hape Samsung. Saya lanjutkan lagi pembicaraan dengan Pak Praktikno gadungan tadi. Belum sempat saya ngomong, si bapak ini sudah bertanya, “bagaimana Mbak, sudah sampai ATM?”
“Maaf, Pak. Pulsa saya mau habis. Saya matikan dulu ya.” Padahal pulsa saya masih cukup, hehe.
“Ya sudah Mbak, nanti saya telepon balik saja.” Telepon pun ditutup.
Kemudian saya ditelepon oleh nomer yang pertama menghubungi saya, yaitu orang yang mengaku Pak Haryanto. Saya tolak panggilan itu. Ditelepon lagi, saya tolak lagi. Ditelepon lagi, saya diamkan saja. Sudahlah. Apapun yang akan dilakukan oleh dua orang penipu itu, saya tidak peduli lagi.
Saya pun membuka Whatsapp grup PH BEM KM. Ternyata Dio, melalui nomer pengaduan, ditelepon oleh si “Haryanto palsu” itu. Dia mencari saya. Karena di BEM KM saya menjabat sebagai Menteri Advokasi, bisa saja sewaktu-waktu saya dicari orang untuk menyampaikan pengaduan. Dio pun memberikan nomer hape saya ke orang tersebut, barangkali mau melaporkan aduan. Hmmm, jadi mulanya dari sini. Kemudian, saya berangkat ke Bank Muamalat, mencetak buku tabungan. Alhamdulillah, uang saya masih utuh. Jelas masih utuh lah, kan saya cuma ngasih nomer rekening.
Oke, sekarang mari kita analisis kasus tersebut. Semoga kita bisa lebih waspada dengan modus penipuan semacam ini.
1. Sepertinya si penipu tidak tahu kalau Direktur kemahasiswaan UGM telah berganti. Dia memperkenalkan diri dengan nama Drs. Haryanto (panggilannya Pak Sentot), Ditmawa UGM. Padahal, sekarang telah berganti Pak Senawi. Singkatannya pun bukan Ditmawa, tapi DIRMAWA. 

2.    Nomer hape Pak Pratikno jelas berbeda. Nomer hape Pak Pratikno adalah 0811xxxx02. Demi menjaga keamanan Pak Rektor, saya rahasiakan angka tengahnya. Yang penting perhatikan angka depan dan belakangnya.

3. Si “Pak Pratikno palsu” ini tidak konsisten dengan ucapannya. Dia mengatakan bahwa pembicaraan kami sedang direkam oleh Dikti, jadi jangan tutup teleponnya. Tapi ketika saya mengatakan bahwa pulsa saya mau habis, dia pun mau menutup pembicaraan. Berarti rekamannya mati donk? Jika memang telepon itu akan direkam, seharusnya si “peminta pembicaraan” yang menelepon, kan bisa saja orang yang diminta untuk menghubungi itu pulsanya limit. Istilah jawanya “sing butuh sopo?”. Jadi, yang butuh pembicaraan itu siapa sih? Gila aja, kalau jarak dari kos sampai ATM membutuhkan waktu 10 menit, berapa rupiah yang kita habiskan untuk tetap menyalakan pembicaraan telepon itu? Belum ketika di ATM disuruh ngapa-ngapain. Lebih miris lagi, bagaimana jika saya sedang berada jauh dari ATM? 

4.  Saya yakin, ketika saya sudah sampai di ATM, saya disuruh untuk menekan tombol tertentu yang menyebabkan uang di rekening saya habis. Mengapa si penipu ini begitu terburu-buru menyuruh saya ke ATM sekarang juga? Bagaimana kalau saya sedang kuliah? Masa saya harus keluar kelas dan mencari ATM? Jauh, Bung! 
Saya jadi ingat novel “Negeri Para Bedebah”. Di novel itu diceritakan, si tokoh bernama Thomas berusaha untuk keluar dari penjara. Thomas menipu sipir penjara dengan mengiming-imingi uang Rp 2M, tapi harus dimbil saat itu juga di ATM. Thomas pun menyuruh si sipir untuk menghubungi istrinya agar mengecek ATM saat itu juga, apakah benar uang sebesar 2 M sudah masuk. Nah, ketika istri si sipir telah sampai di ATM dan mengecek saldo tabungan, ternyata benar, uang sebesar 2 M telah masuk. Thomas pun berhasil keluar dari penjara. Kemudian, Thomas menyuruh bawahannya untuk menarik kembali uang 2 M yang baru saja ditransfer. Ya sudah, habis sudah uang tabungan si sipir tadi. 

5.       Tidak ada Travellers Cheque yang langsung dikirimkan ke rekening bank. Namanya juga cek. Cek adalah surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank tempat nasabah tersebut menyimpan uangnya untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang disebutkan dalam cek tersebut. Jadi, bentuk cek itu cuma selembar kertas yang harus ditandatangani oleh orang yang ditunjuk, kemudian dicairkan di bank. Kita pun langsung menerima uang cash.
Demikian juga dengan travellers cheque. Cek ini dikeluarkan oleh bank (issuer bank) yang bank tersebut sanggup untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang ditunjuk/yang menandatangani cek tersebut sehubungan dengan agenda perjalanan.
Anehnya, saya tidak diminta ke Dirmawa untuk menandatangani travellers cheque, tetapi langsung ke ATM untuk mengecek saldo. Yeah, sepertinya si penipu ini harus belajar Hukum Surat Berharga deh.

         6.  Di Gedung Rektorat UGM, kantor Dirmawa dan Rektor jauh. Pak Senawi (tapi si Penipu mengaku Pak Haryanto) dan Pak Pratikno adalah pejabat di rektorat yang sama-sama sibuk. Tidak mungkin keduanya duduk berdua hanya untuk membahas rencana perjalanan seminar. Orang sekelas rektor tidak perlu menghubungi mahasiswa, apalagi mengurusi transfer uang. Beliau punya sekretaris dan pegawainya yang lain yang memang bertugas untuk mengurusi semua kegiatan beliau.
Kebodohan dua orang penipu juga terlihat saat saya menutup telepon ke nomer Pak Pratikno palsu, kemudian saya ditelepon oleh Pak Haryanto palsu. Nah, berarti mereka berdua ada di tempat yang sama kan? Padahal, kantor Dirmawa ada di lantai 1, sedangkan kantor Pak Rektor ada di lantai 2.
Ada banyak hal yang sedang dipikirkan oleh Pak Praktikno dan Pak Senawi yang jauh lebih penting daripada sekedar seminar kewirausahaan. Pak Rektor pun saat ini lagi pusing mikirin UKT, hehe.
     
      7.    Pasti si penipu ini mencari saya melalui web BEM KM UGM. Di web tersebut terdapat nomer pengaduan yang menampung siapa saja yang ingin mengadukan permasalahannya, terutama yang berkaitan dengan kampus. Selanjutnya, aduan tersebut akan diteruskan ke Menteri Advokasi, dalam hal ini saya. Saya rasa, Dio telah menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu memberikan nomer hape saya ke si penelepon. Namun, siapa sangka, ternyata si penelepon tersebut adalah penipu. 

      8.      Jangan mudah terbuai oleh iming-iming penipu. Si Pak Pratikno palsu mengiming-imingi saya akan mentransfer uang sebesar Rp 8 juta. Coba, siapa yang tidak mau diberi uang sebanyak itu? Alhamdulillah, saya masih tahan godaan. Saya tidak mudah percaya dengan janji tersebut. Sekali lagi, saya ingat novel “Negeri Para Bedebah”. Diiming-imingi Rp 2M, ternyata cuma sesaat. Walhasil, si Thomas bisa kabur dari penjara. 

   9.       Hati-hati, penipu bisa memilih korban secara acak. Bejomu Mas, ketemu saya. Mau nipu anak hukum? Nggak bisa. Yang ada malah anak hukum yang menipu, wkwkwk. :p

Semoga Allah selalu melindungi kita dari tangan orang-orang jahat. Aamiin.

3 komentar:

  1. "Mau nipu anak hukum? Nggak bisa. Yang ada malah anak hukum yang menipu, wkwkwk. :p"

    Punchline ini agak ambigu dan terkesan mengundang pembaca berkomentar negatif mengenai anak hukum lho mbak -__-

    BalasHapus
  2. memang demikianlah keadaan hukum saat ini. Isinya ahli hukum tapi juga ahli menipu. Doakan semoga saya tidak demikian.

    BalasHapus
  3. Saya smlm dapat musibah yg sama. Bodohnya saya, saya udah transfr uang 5 juta lbih ke penipu. Saya trauma n gak tau mau ngapain lg skrg

    BalasHapus