Jumat, 26 November 2010

Merapi: Antara Mitos dan Iman Kepada Allah

Alhamdulillah, Jogja telah kembali aman. Gunung Merapi tidak lagi mengamuk. Jarak aman diturunkan, dari 20 km menjadi 10 km. Sebagian pengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing. Namun, yang rumahnya hancur terkena awan panas, masih ada di barak pengungsian, belum bisa pulang. Duka Merapi ini tidak hanya mengundang trenyuh kasihan pada para korban dan pengungsi, tapi juga trenyuh pada kondisi keimanan umat Islam. (Ulasan di bawah telah dibuat penulis 3 minggu yang lalu, namun baru kali ini sempat diposting)

Allahu Akbar... Ya Allah, Engkau Maha Perkasa, Engkaulah pemilik alam raya ini. Merapi beraksi, mengeluarkan isi perutnya, membumihanguskan Desa Kinahrejo dan sekitarnya, menghujani abu sampai Samudera Hindia, bahkan sampai Jawa Barat! Penulis hanya percaya bahwa semua ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah kehendak Allah SWT. Penulis tidak percaya mitos-mitos yang berkembang, entah karena Kerajaan Merapi sedang hajatan atau sedang berselisih paham dengan Keraton Yogyakarta sehingga Merapi ingin mengobrak-abrik Keraton dengan cara hujan abu.

Memang, sudah menjadi kepercayaan orang Jawa, khususnya Yogyakarta, bahwa Yogyakarta ini dikuasai oleh 3 kerajaan, yaitu Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai sultannya saat ini, Kerajaan Laut Selatan dengan ratunya Nyi Roro Kidul, dan Kerajaan Merapi dengan rajanya Mbah Petruk. Adapun juru kuncinya yaitu Mbah Maridjan, kini telah tewas terserang awan panas Merapi saat letusan pertama, 26 Oktober 2010. Saat ini, Merapi sedang menunjukkan ‘hobi’nya, yaitu erupsi. Masyarakat yang sangat percaya mitos Jawa, menganggap bahwa aktivitas Merapi ini karena Keraton Merapi sedang mempunyai masalah dengan Keraton Yogyakarta sehingga ingin membalas dendam pada Sultan HB X. Banyak yang mengatakan bahwa Sultan HB X ini bukanlah Sultan, karena yang dianggap sebagai Sultan Yogyakarta adalah hanya sampai Sultan HB IX. Sultan kali ini bukan orang sakti karena tidak bisa memiliki anak laki-laki yang bisa dijadikan sebagai penerusnya kelak. Maka dari itu, Mbah Maridjan tidak mau tunduk pada Sultan HB X. Dia lebih tunduk pada Sultan HB IX karena yang mengangkatnya sebagai juru kunci Gunung Merapi adalah Sultan HB IX. Jika kondisi Gunung Merapi sudah membahayakan, Sulatan HB X mengingatkan Mbah Maridjan untuk segera turun mengungsi, namun Mbah Maridjan tidak menggubrisnya karena belum ada permintan dari Sultan HB IX. Padahal seperti yang kita ketahui, Sultan HB IX sudah meninggal. Jadi, Mbah Maridjan menunggu bisikan gaib dari Sultan HB IX. Can it? Mbah Maridjan pun hanya berdiam di rumahnya meski petugas-petugas tim SAR, TNI, relawan, dll mengingatkannya untuk segera mengungsi karena sebentar lagi Merapi akan meletus. Akibatnya, Mbah Maridjan pu tak dapat berbuat apa-apa saat awan panas menerjang daerah rumahnya. Saat ditemukan, dia sedang dalam posisi sujud di dapur rumahnya.

(Bersambung, akan diteruskan dengan tulisan yang lebih update)