Minggu, 28 Agustus 2016

Papandayan, Awal Sebuah Persahabatan (Part 3)

Bertemu Tujuh Kurcaci

Kata orang, jika kita bepergian ke suatu tempat dengan tujuan baik, kita akan dipertemukan dengan orang baik pula. Demikian halnya dengan pendakian kali ini. Seperti yang telah saya ceritakan di awal, saya kecewa dengan formasi naik gunung ini: 5 perempuan 1 laki-laki. Sungguh formasi yang tidak ideal untuk naik gunung. Saya sendiri tidak kuat untuk membawa beban yang terlalu berat, jadi saya menolak untuk membawa tenda. Padahal, kami harus membawa dua tenda. Akhirnya Alin bersedia untuk membawa tenda, tetapi rangkanya dibawa Mas Roni.

Ya sudah, nothing to lose aja. Insya Allah akan ada pertolongan Allah. Kami pun berangkat dengan pede, sampai akhirnya kami bertemu dengan tujuh laki-laki alumni BSI angkatan 2010 dan 2011 di mobil pick up dari Cisurupan menuju Camp David. Mereka adalah Blek, Jojo, Dheo, Tebe, Nana, Fadli, dan Agung. Kami pun akhirnya bergabung dengan mereka.

Setapak demi setapak lereng Gunung Papandayan kami daki. Mereka bertujuh terus menguatkan kami tanpa henti, terutama pada anggota yang baru naik gunung untuk pertama kali.

Papandayan, Awal Sebuah Persahabatan (Part 2)

Keesokan harinya, kami bangun pukul 4.30 WIB kemudian shalat shubuh. Kami harus bergegas menuju Hutan Mati untuk menikmati sunrise kemudian dilanjutkan menuju Tegal Alun dan puncak, jika masih ada waktu. Tidak perlu membawa barang-barang terlalu banyak karena tanjakan dari Hutan Mati menuju Tegal Alun cukup curam.

Eh dua orang sebelah kiri bikin ngiriii :p

Satu yang khas dari Gunung Papandayan adalah Hutan Mati. Seperti namanya, hutan mati terdiri dari pohon-pohon cantigi yang telah mati terbakar akibat erupsi Gunung Papandayan pada tahun 2002. Hutan Mati terhampar luas dengan sisi timur langsung berhadapan dengan jurang. Maka, hati-hati jika ingin menikmati sunrise. Tetap waspada karena di tepi jurang ini tidak ada dinding pengaman, tetapi justru tebing yang rawan longsor.

Papandayan, Awal Sebuah Persahabatan (Part 1)

Saya bosan naik lift. Saya ingin naik gunung!

Ketika diri ini sudah penat dengan berbagai kertas di meja kerja, layar laptop yang terus menyala, serta hiruk-pikuk kendaraan kota, hati-hati, dirimu sedang menyalakan sinyal untuk piknik, Cipuk!

Naik gunung, adalah sebaik-baik piknik. Naik gunung sudah menjadi wacana bersama teman-teman kantor dan teman-teman arisan Jabodetabek, namun tidak kunjung menemukan ujung, karena keputusannya menggantung.

Akhirnya, 17 Juli 2016, Alin mengajak saya untuk bergabung bersama rombongan teman fakultasnya naik Gunung Papandayan pada tanggal 22 – 24 Juli 2016. Equipments buat naik gunung sih sudah saya persiapkan jauh-jauh hari sejak ‘wacana’ naik gunung terdengar pertama kali. Maka, ketika panggilan naik gunung menjadi nyata, tanpa ragu saya bilang “iya”.