Rabu, 27 Februari 2013

The Diary of Pelantara (5)


Day 7: Rabu, 20 Februari 2013

Agenda hari ini adalah wisata keliling Pulau Lombok. Kami harus berkumpul pukul 08.00. Wah, PHP nih panitia. Di rundown, kami akan berkeliling Pantai Kuta, Pantai Senggigi, Sade, Taman Nasional Gunung Rinjani. Ternyata Senggiginya dibatalkan. Coba tebak, naik apa kami keliling Lombok? Kami Genk Genbi sudah mengincar mau naik bis Pemkab Lombok Timur yang kursinya empuk dan ber-AC. Ternyata tidak. Kami adalah tim pertama yang berangkat, jadi kami harus naik mobil TNI-AL, persis seperti mobil patroli polisi. Ya sudah, yang penting ada AC-nya, alias Angin Cendela, hehe. Di mobil ini, ada satu pemandu dari panitia yang merupakan orang Lombok asli sehingga bisa menjadi tour guide kami, namanya Mbak Rizki.


   
Yeah, kami sampai juga di destinasi pertama, yaitu Pantai Kuta. Saya punya target, dalam sekali perjalanan ini, saya harus menyambangi dua Kuta: Kuta Lombok dan Kuta Bali. Hmmm, Pantai Kuta Lombok ini begitu asri, masih sepi. Yang bikin saya heran, pasirnya gede-gede, segede pakan ikan. Di sini saya juga membeli kain songket asli Lombok dengan hasil tawar-menawar: Rp 65.000,00, berkat bantuan Shiva yang anak Lombok asli. Saya menang untuk kain songket. Oh, ternyata tidak! Hurin mengalahkanku dengan angka Rp 60.000,00.

Baju ijo: Khairi. Sebelah kiri saya: Ana, Genbi UGM

Berangkat lagi yuk ke tujuan selanjutnya: Desa Sade, tempat pembuatan kain songket tenun. Di sini, banyak rumah adat Lombok, yang berdinding kayu, beratap rumbai. Ada satu ruangan di rumah-rumah ini yang unik. Lantainya bersih banget, wangi lagi. Tahukah Anda bagaimana membersihkannya? Pakai kotoran sapi! What??? Yes, that’s the fact! Saya membeli kain sarung tenun Lombok di sini dengan penawaran Rp 35.000,00. Saya pun membeli 2 buah. Sampai mobil, oh ternyata ada yang mengalahkan saya. Nia berhasil membeli kain sarung seharga Rp 50.000,00 dapat 2 buah. Waaahhh...

Bersama Habib, Genbi Undiksha

Lanjut lagi, tujuan selanjutnya adalah Otak Kokok, yang termasuk Taman Nasional Gunung Rinjani. Jaraknya cukup jauh, harus ditempuh sekitar 2 jam. Nah, pada satu jam pertama, tiba-tiba ada teman kami, sebut saja namanya Novan, kuliah di UNY, asalnya Palembang, berpindah tempat duduk yang semula di belakang, ke depan. Kami heran dengan tingkahnya. Dia seperti akan meminta sopir mobil untuk berhenti. Waduh, susah juga memberhentikan mobil TNI. Kenceng banget! Dia pun semakin gelisah. Ada apa sih? Banyak yang bertanya. “kebelet pipis”, katanya. Masya Allah, kenapa nggak pipis tadi waktu masih di Sade? Sudah, katanya, tapi sekarang kebelet lagi. Ya sudah, dengan keisengan cowok-cowok Genbi, mereka menyodorkan botol air mineral kosong. Padahal, di bagian depan ada cewek-cewek: Taris, Mei, dan Nia. Akhirnya cowok-cowok membantunya menutupinya dengan kain songket Uda Budi dan handuk merah Habib. Cewek-cewek diminta untuk menutup mata. Tapi Novan masih ogah. Alasannya, muat nggak botolnya? Oh my God!!!! Dia pun antara ya dan tidak untuk menerima bantuan cowok-cowok. Kalau harus ditahan, Otak Kokok masih satu jam lagi. Kalau pipis di sini, hancur sudah reputasinya!

-no comments-

Novan masih dengan muka gelisahnya menahan pipis. Oh, cepatlah mobil ini berhenti, please!! Akhirnya, Novan memutuskan untuk tetap menahan pipis sampai tiba di Otak Kokok. Tolong kasih jalan buat Novan biar bisa turun duluan! Novan pun lari ke toilet begitu turun dari mobil.

Sampai di Otak Kokok, hujan deras. Tiba-tiba saya di-SMS oleh Presiden Mahasiswa saya, Yanuar, untuk mengumpulkan anak Advokasi sore ini juga, ada aduan dari PKL Pujale. Ya Allah, lindungilah teman-teman saya di UGM.

Cuaca sudah tidak mendukung lagi buat jalan-jalan, kami masuk mobil lagi. Mobil TNI tidak tertutup dengan sempurna karena jendelanya terbuka. Jadilah banjir di lantai mobil. Pada saat kami pulang pun, hujan masih cukup deras. Sebelum turun hujan, lantai mobil bisa digunakan untuk duduk bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Tapi karena lantainya banjir, ya sudah, cowok-cowok sebaiknya berdiri saja. Otak Kokok ada di dataran tinggi, sehingga jalannya naik-turun, berkelok-kelok. Kami masih bingung bagaimana caranya mengeluarkan air banjir yang kotor di lantai mobil ini. Semoga ada tanjakan sehingga air banjirnya bisa mengalir ke pintu kelar. Dan benar! Ketika tanjakan, airnya mau keluar. Eh, balik lagi. Kami semua mengangkat kaki ketika air mengalir di bawah kami. Apa yang dilakukan cowok-cowok yang berdiri? Mereka bergelantungan di pegangan mobil! Horeee..airnya mau keluar lagi. Eh, balik lagi. Setiap kali kami harus mengangkat kaki, kami cekakakan. Yeee...

Peristiwa banjir mobil sudah berakhir, air banjir sudah mulai banyak yang keluar. Tapi hujan masih belum reda juga. Nah, di sepanjang jalan pulang ini, kami merasa, ini tanggal berapa sih, lagi musim kawin apa ya? Ada di suatu daerah yg sedang pesta pernikahan. Ada sepasang pengantin yang diikuti oleh pager ayu dan pager bagus (kalau adat Jawa), kemudian di belakangnya ada sekelompok pemuda yang njoget-njoget dangdut koplo. Kata Habib dan Indra yang anak Lombok, acara ini adalah ketika si pengantin laki-laki mendatangi rumah pengantin perempuan. Sepanjang jalan ini, total ada 5 acara pernikahan ini. Berarti kami menemukan 5 pasangan pengantin baru. Oya, di mobil kami, ada spanduk dari BKKBN “Dua anak lebih baik”. Yeah, sekalian iklan ya buat Mas dan Mbak pengantin baru.

Capek? Ya, tapi seru. Nyatanya, anak-anak pramuka masih tetap semangat menampilkan pertunjukan istimewanya. Malam ini yang tampil dari Jawa Tengah, Lampung II, Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Banten. Yang paling membuat kami takjub adalah penampilan dari Banten dengan menampilkan debus.

Saya juga belum capek bercerita. Tanggung ah, keburu jadi sampah di dada.

Next: Selamat tinggal, Lombok! Klik:
http://cipukoya.blogspot.com/2013/02/the-diary-of-pelantara-6.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar