Rabu, 27 Oktober 2010

Hai Mahasiswa, Bergeraklah!


                Menjadi mahasiswa idealis, oportunis, atau pragmatis, adalah pilihan. Menjadi mahasiswa kupu-kupu, kunang-kunang, atau kura-kura, juga pilihan. Semua pilihan tersebut mempunyai tujuan masing-masing.
                Ketika seseorang telah memasuki bangku kuliah dan meninggalkan bangku sekolah, nama yang disandangnya pun telah berubah, dari siswa menjadi mahasiswa. Artinya, tugas yang disandangnya telah berubah. Masa sekolah adalah masa yang penuh dengan kesenangan. Yang ada di pikiran hanya belajar untuk menjadi juara kelas, olimpiade, dan suksesnya acara yang diorganisasi bersama teman-temannya. Namun, setelah menjadi mahasiswa, aktivitas tersebut harus lebih dikembangkan lagi.
Ambarukmo Plaza, selalu
jadi tempat favorit mahasiswa
untuk menghabiskan waktu, tenaga,
dan uang
                Tipe mahasiswa ada tiga, yaitu mahasiswa kupu-kupu, kunang-kunang, dan kura-kura. Kupu-kupu, berarti kuliah pulang, kuliah pulang. Setelah jam kuliah selesai, langsung pulang ke kos atau mampir dahulu ke perpustakaan meminjam buku. Yang ada di pikirannya adalah berbagai macam cara supaya IP-nya selalu cumlaude setiap semester dan lulus cepat dengan nilai istimewa. Ketika ada seorang mahasiswa memutuskan untuk menjadi mahasiswa bertipe ini, pilihan tersebut tidaklah salah karena dia mempunyai tujuan hidup yang jelas, yaitu lulus cepat dan langsung mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, mahasiswa seperti ini cenderung tertutup, tidak ingin melihat dunia luar, tidak peka terhadap situasi, dan hanya berjuang untuk dirinya sendiri tanpa pernah memberikan kontribusi yang berarti untuk kampusnya. Adapun mahasiswa bertipe kunang-kunang atau kuliah nangkring, kuliah nangkring, adalah mahasiswa yang suka bersenang-senang. Setelah jam kuliah selesai, dia langsung pergi ke mall, bioskop, nge-game, dan aktivitas hiburan lainnya. Yang ada dalam pikirannya adalah hanya ingin refreshing setiap hari karena kuliah yang dijalaninya terasa berat sehingga mencari pelampiasan pada hiburan dan konsumerisme. Mahasiswa yang bertipe seperti ini tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi dan sangat sukar untuk dinasehati. Kuliah hanya dianggap sebagai aktivitas harian yang tanpa makna. Terakhir, mahasiswa bertipe kura-kura atau kuliah rapat, kuliah rapat, adalah mahasiswa yang sangat peka terhadap situasi. Setelah jam kuliah selesai, dia menyempatkan diri untuk beroganisasi. Misalnya, berbagi pikiran dengan teman-temannya tentang isu yang sedang hangat, bermusyawarah untuk mengadakan sebuah acara yang bermanfaat, atau bergabung dengan pers mahasiswa untuk mengkritik kebijakan yang kurang bersahabat sekaligus menyuarakan kebenaran. Mahasiswa seperti ini lebih mudah untuk bersosialisasi dengan siapapun, tidak mementingkan dirinya sendiri karena merasa bahwa dia tidak hidup sendiri di dunia ini dan masih banyak problema yang harus dipikirkan bersama teman-teman.
                Saat ini, Indonesia sedang dalam kondisi terpuruk. Sebagai generasi muda pengubah bangsa, sudah menjadi tugas mahasiswa untuk lebih peka terhadap situasi. Generasi penerus bangsa sudah tidak dibutuhkan lagi oleh bangsa ini. Sebab, penerus bangsa berarti meneruskan keterpurukan bangsa ini. Aksi yang dibutuhkan adalah sebuah perubahan. Hal ini berarti harus lahir generasi pengubah bangsa.
                Usia mahasiswa adalah usia muda yang sangat potensial untuk melakukan perubahan karena dipenuhi oleh ide-ide cemerlang. Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dimulai dari perannya dalam kehidupan kampus. Anggap saja, kampus adalah bangsa yang harus dibenahi. Setiap kebijakan yang keluar dari pihak rektorat harus dikaji lebih dalam agar tidak terjadi kesalahpahaman dari berbagai pihak karena tidak setiap kebijakan pasti baik untuk mahasiswanya. Ketika ada sebuah kebijakan yang tidak menguntungkan banyak pihak apalagi masyarakat luas, mahasiswa harus berani memberikan masukan kepada rektoratnya untuk meninjau kembali kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan kajian dan membuat sebuah tulisan kritikan di media kampus atau media di luar kampus. Jika masalah tersebut sudah mencapai tingkat di atas ambang kewajaran, aksi turun ke jalan bisa dilakukan.
                Kampus yang memiliki mahasiswa dari berbagai penjuru negeri, pasti mempunyai pengaruh yang besar tehadap daerah sekitar, bahkan sampai negara. Maka, jika kampus tersebut mengeluarkan sebuah kebijakan yang tidak bisa diterima oleh masyarakat sekitar, mahasiswa harus bergerak, jangan hanya diam. Masyarakat luar kampus tidak mungkin bisa memprotes kebijakan tersebut, tetapi hanya terkena dampaknya. Jika bukan mahasiswa dan civitas akademika yang memperjuangkan nasib masyarakat, siapa lagi? Secara tidak langsung, masyarakat menitip pesan pada mahasiswa untuk melakukan suatu perubahan yang bisa berpengaruh pada masyarakat luas.
                Sangat disayangkan apabila mahasiswa hanya menghabiskan waktunya di bangku kuliah dan mall tanpa pernah merasakan serunya diskusi bersama teman-teman dan panasnya terik matahari saat aksi. Mahasiswa yang hanya berjuang untuk dirinya sendiri tidak mempunyai sesuatu yang bisa dipersembahkan untuk kampusnya. Maka, ketika memasuki dunia kerja, dia akan terkejut karena tidak mempunyai pengalaman organisasi. Berbeda dengan mahasiswa yang mempunyai pengalaman organisasi, pasti akan terbiasa menghadapi masalah dalam dunia kerja dan bisa berpikir lebih dewasa. Jangan biarkan usia yang potensial ini berlalu begitu saja. Mahasiswa dianugerahi intelektual yang luar biasa yang harus digunakan untuk kemajuan bangsa. Banyak hal yang harus dibenahi di sekitar kita. Jadilah mahasiswa ideal bertipe kura-kura, yang tidak hanya pintar berorganisasi, tetapi juga berprestasi.

Aksi pertamaku: 090909 di Gedung DPRD DIY, menuntut DPR segera menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor
Jangan tanya apa yang diberikan oleh kampus untukmu, tetapi tanyalah apa yang kamu berikan untuk kampusmu!

Sabtu, 09 Oktober 2010

Dari Praktisi Menjadi Akademisi (Part 2)

Menjadi dosen yang pintar secara akademis saja tidak cukup. Seorang dosen yang pintar secara materi ilmu namun tidak pintar menyampaikan ilmunya kepada mahasiswa, pasti akan banyak mahasiswanya yang mengeluh dan tidak ingin diajar oleh dosen yang seperti ini lagi. Maka, kemampuan secara emosional sangat dibutuhkan. Dosen favorit saya adalah ketika bisa menguasai kelas dengan baik, ngedhongi, selalu memancing diskusi, tidak membuat ngantuk dan bosan, dan memberi tugas yang mendidik. Contohnya, Bu Sandradini (PIH), Mas Eddy OS Hieriej (Hukum Pidana), Bu Enny Nurbaningsih (HTN), Pak Yulkarnain (Hukum Islam), Bu Eka (HI), dll yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Gaya mengajar mereka bisa saya contoh kelak. Selain itu, ilmu agama seorang dosen juga harus kuat. Jangan sampai materi yang kita sampaikan atau gaya penyampaian kita bertentangan dengan kaidah agama.

Memang, secara finansial, pendapatan seorang dosen masih kalah jauh jika dibandingkan dengan advokat, konsultan hukum di perusahaan, atau pejabat eselon di instansi tertentu. Namun, saya lebih senang bekerja dengan hati. Saya tidak suka diperbudak, maka saya tidak ingin bekerja di sebuah departemen atau perusahaan. Saya lebih senang bekerja bebas. Orang tua saya menyuruh saya untuk menjadi PNS. Pekerjaan PNS untuk orang hukum adalah dosen, pegawai Depkumham dan departemen lain, jaksa, polisi, dll. Maka, saya memutuskan untuk menjadi dosen. Semoga tidak ada alasan bagi orang tua saya untuk melarang keinginan saya, karena dosen adalah PNS. Sebelumnya, orang tua saya pernah melarang saya untuk menjadi advokat karena swasta sehingga menyuruh saya untuk mendaftar tes CPNS Depkumham. Sekali lagi, saya tidak ingin diperbudak, bekerja di bawah tekanan atasan. Dosen memang punya atasan, yaitu dekan dan rektor, namun tidak bekerja untuk mereka. Dosen bekerja untuk mahasiswa, demi tercapainya mahasiswa yang cerdas dan hebat. Tidak perlu khawatir akan menjadi dosen miskin. Asalkan menjadi dosen yang aktif, seperti melakukan penelitian, ikut legal drafting, ikut sebuah organisasi tertentu, menjadi pembicara di berbagai seminar, atau ditambah dengan berwirausaha, insya Allah kebutuhan sehari-hari akan tercukupi, bahkan bisa surplus. Tidak apa-apa bekerja dengan gaji pas-pasan asalkan sesuai passion kita, daripada gaji besar tetapi penuh tekanan dan kebosanan, dari pagi hingga malam bekerja itu-itu saja. Dan, kalaupun memang Allah menakdirkan saya untuk menjadi miskin, yang penting jiwa ini kaya amal dan kaya ilmu.

Cita-cita awal saya untuk menjadi ketua Komnasham juga mempunyai peluang untuk terlaksana. Siapa tahu, jika saya bisa menjadi seorang dosen yang hebat, banyak dukungan untuk menjadi ketua Komnasham. Pokoknya, menjadi apa saya nanti, saya mulai karir saya dari akademisi. Banyak petinggi suatu instansi negeri ini yang memulai karirnya dari akademisi, seperti: Budiono (Wakil Presiden RI), Sri Mulyani (Mantan Menteri Keuangan, anggota World Bank), Jimly Assiddiqie (Staf ahli Presiden, mantan Ketua MK), Busyro Muqoddas (Mantan Ketua KY), Amien Rais (Mantan Ketua MPR), dan masih banyak lagi, termasuk nama-nama yang telah saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Metro TV, TV One, dan beberapa media lain sering mengundang akademisi untuk menguak suatu kasus yang sedang hangat. Saya ingin seperti mereka!

Lingkungan belajar saya saat ini pun ikut mempengaruhi cita-cita saya. Saya kuliah di UGM, di kota pelajar, Yogyakarta. Namanya juga kota pelajar, pasti pendidikan akademik sangat dikejar di kota ini. FH UGM pun selalu menguatkan mahasiswanya pada asas-asas hukum. Jadi, teori sangat diperdalam di sini. Berbeda dengan FH UI, yang berada di Jakarta. Memang sudah kultur Jakarta yang penuh persaingan sehingga praktik lebih dikejar. Maka, banyak lulusan FH UGM yang menjadi akademisi, sedangkan lulusan FH UI menjadi praktisi.

Saat ini, saya sudah memasuki semester 3. Semester 5 nanti, insya Allah saya akan mengambil konsentrasi Hukum Tata Negara (HTN) karena saya suka hal-hal yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Apalagi, saya senang mengikuti perkembangan berita terkini. Berita yang berhubungan dengan HTN sering menjadi headline di berbagai media. Selain itu, hanya HTN yang bisa membuat saya semangat belajar. Maka, saya ingin menjadi dosen HTN di tempatku menggali ilmu hukum, FH UGM.

Jika saya menjadi dosen nanti, saya akan menanamkan semangat anti korupsi pada mahasiswa. Saya akan menerapkan aturan yang tegas pada setiap pelanggar ‘titip absen’ dan ketidakjujuran ujian karena menurut saya, kedua perilaku itu berpotensi pada tindakan haram korupsi di masa depan. Jika sekarang berani tidak jujur ketika kuliah, 10 tahun lagi berani korupsi berapa miliar?

Sekian cerita singkat tentang passionku. Semoga Allah meridhoi cita-citaku ini. Amin ..

Dari Praktisi Menjadi Akademisi (Part 1)

Waktu MCC, jadi Penasehat Hukum
Mengapa saya ingin masuk Fakultas Hukum? Karena saya ingin menjadi jaksa. Demikian asa saya ketika SMA, saat sedang dalam medan perjuangan untuk lulus UN dan lolos UM UGM. Beberapa bulan menjalani kuliah di Fakultas Hukum UGM, pikiran saya berubah, menjadi advokat dan Ketua Komnasham. Apalagi ketika menjalani MCC (Moot Court Competition), saya mendapat ‘tugas mulia’ untuk berperan sebagai penasehat hukum. Cita-cita saya untuk menjadi advokat semakin menjadi-jadi. Saya ingin menjadi advokat karena trenyuh pada nasib rakyat kecil yang masih buta hukum sehingga banyak yang menjadi korban dari mafia hukum dan para penegak hukum bodong. Di MCC itu, peran penasehat hukum yang saya mainkan adalah penasehat hukum probono, membela seorang tukang ojek yang terpaksa membunuh seseorang karena membela diri. Sikap seperti inilah yang ingin saya tunjukkan  ketika menjadi advokat nanti. Adapun cita-cita ingin menjadi ketua Komnasham adalah karena saya tidak begitu suka dengan Komnasham saat ini yang hanya seperti ‘macan ompong’. Komnasham tidak punya kewenangan untuk menuntut seorang pelanggar HAM di pengadilan. Berbeda halnya dengan KPK yang bisa menjadi penuntut umum di pengadilan tipikor. Maka dari itu, saya punya misi khusus di Komnasham untuk menjadikan Komnasham lebih baik lagi. Apalagi, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.


Orang-orang sekitar pun berpikir demikian. Ketika mereka bertanya tentang jurusan yang saya ambil, mereka pasti menebak saya akan menjadi jaksa, hakim, atau advokat. Memang, tiga profesi itu sangat identik dengan hukum. Mendengar kata hukum, pikiran masyarakat pasti tertuju kepada tiga profesi penegak hukum itu. Jika tiga profesi itu dijalankan oleh orang yang jujur, tegaklah keadilan. Sebaliknya, jika dijalankan oleh orang yang korup, runtuhlah keadilan. Jadi, orang hukum adalah penegak keadilan. Namun, seiring dengan maraknya kasus korupsi dan mafia peradilan, serta berkurangnya kepercayaan masyarakat pada para penegak hukum, saya mulai berpikir, sebaiknya hindari tiga profesi itu. Cita-cita saya pun beralih menjadi profesi yang sering dipandang sebelah mata karena tidak menguntungkan secara finansial. Namun, di tangan orang yang berprofesi inilah, calon-calon sarjana hukum dikembangkan. Ya, dia adalah: DOSEN!

Menurut saya, dosen adalah tugas yang sangat mulia karena bisa berbagi ilmu dengan mahasiswa dan bisa lebih memperdalam ilmu lagi. Saya adalah orang yang haus akan ilmu, selalu ingin tahu, dan ingin terus mengisi otak ini dengan wawasan. Saya tidak ingin ilmu yang saya dapatkan menguap begitu saja tanpa pernah saya tularkan ke orang lain. Selain itu, insya Allah dosen bersih dari korupsi. Bandingkan antara praktisi dan akademisi. Seorang praktisi sering lupa asas-asas hukum, namun seorang akademisi masih mengingat asas-asas hukum dan mata kuliah yang pernah diajarkan. Maka, ketika mengerjakan berkas MCC, kami lebih sering bertanya pada akademisi, bukan praktisi.

Saya kagum pada dosen-dosen FH UGM yang telah malang-melintang di media, seperti Denny Indrayana (Staf ahli Presiden), Fajrul Falakh (Pansel Ketua KPK), Sigit Riyanto (Anggota PBB), Zainal Arifin Mochtar (sering nongol di TV), Eddy OS Hiariej, Aminoto (proyek membuat undang-undang), dan masih banyak lagi bapak dan ibu dosen FH UGM yang mengawali karirnya dari akademisi menjadi orang yang hebat dan terkenal. Pendapat mereka sering diliput media, sering mengisi di berbagai seminar dan diskusi, dan yang menyenangkan adalah mendapatkan tiket untuk studi banding ke luar negeri. Namun, studi banding dosen dan anggota DPR berbeda. Dosen mengikuti studi banding ke luar negeri dengan terpercaya karena selain untuk kepentingan diri sendiri sebagai pemerkaya ilmu, juga untuk kepentingan kampus, mahasiswa, dan masyarakat luas. Adapun DPR, mengaku studi banding untuk kepentingan rakyat, namun laporan studi banding sama hasilnya seperti mencari data dari google. Rasanya, sia-sia mengeluarkan APBN untuk memberangkatkan anggota DPR ke luar negeri.

Freie Universitat Berlin
Untuk menjadi seorang dosen, haruslah pintar dari segi akademis, psikologis, dan emosional. Minimal, harus menempuh pendidikan sampai S2 dan menguasai bahasa Inggris aktif. Saya suka ini. Memang sudah menjadi cita-cita saya sejak kecil untuk bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya, minimal S2. Syukur, jika lebih dari itu. Saya sering menulis nama impian saya: Hj. Cipuk Wulan Adhasari, S.H., LL.M. Artinya, saya harus bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah S2 di luar negeri. Target saya, Jerman, Belanda, atau Perancis. Di sana, pendidikan hukumnya sangat bagus. Untuk kuliah S2, sudah bukan zamannya lagi masih meminta uang orang tua. Biarlah mereka bekerja untuk hari tua mereka, tidak perlu memikirkan biaya kuliah saya lagi. Adapun dosen-dosen di FH UGM, banyak yang telah menempuh pendidikan lebih dari S1. Maka, gelar pun bertebaran di depan dan belakang nama mereka. Syarat lain untuk menjadi dosen yang pintar secara akademis yaitu harus lulus cumlaude. Okay, saya merasa tertantang. Pokoknya, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.

Minggu, 03 Oktober 2010

Ketika Rakyat Bercermin

Ketika kita bercermin, bayangan yang tampak di cermin pastilah sama dengan diri kita. Seburuk, secantik, dan setampan apapun diri kita, seperti itulah yang tampak di cermin. Jika tidak, berarti bayangan yang tampak di cermin itu adalah hantu.

Demikian juga dengan anggota dewan. Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya mencerminkan rakyat karena mewakili seluruh rakyat Indonesia di Senayan. Sebagian rakyat Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan penuh dengan kesederhanaan sangat jauh berbeda dengan yang ditunjukkan oleh para wakil rakyat itu. Bukannya merakyat, mereka malah meminta pembangunan gedung DPR baru yang penuh fasilitas, terlalu sering pergi ke luar negeri dangan istilah "studi banding", terlalu mementingkan kepentingan golongan daripada rakyat, dan masih banyak kejelekan lain.

Karena bayangan rakyat berbeda, berarti DPR adalah.....HANTU!!



1 tahun pertama sejak pelantikan anggota DPR, DPD, MPR. Masih ada 4 tahun tersisa bagi mereka untuk mengubah diri mereka dari hantu menjadi manusia.