Senin, 18 Januari 2010

Di Manakah Etika Anggota DPR?

Minggu-minggu terakhir ini, jika kita menonton berita di media elektronik atau media cetak, kita pasti disuguhi sinetron anggota DPR yang menjadi anggota Pansus Century. Bukan karena mereka ganteng-ganteng dan cantik-cantik layaknya pemain sinetron kejar tayang, atau punya joke kocak yang bikin kita ngakak dan jadi pemain figuran di sinetron, tapi karena sifat mereka yang bikin kita mengelus dada. Bahkan, jika kita mencermati sikap mereka, kita mungkin bisa ikutan terbawa emosi juga.

Minggu lalu, ada dua orang anggota DPR yang berdebat saat rapat Pansus Century. Tentu tahu donk, teman-teman. Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbun. Oh iya, tadi kan aku ngomongin sinetron, Ruhut Sitompul ini juga mantan pemain sinetron, haha. Pas dech. Gilak, kata-kata Ruhut Sitompul ini benar-benar tidak pantas diucapkan pada saat rapat di DPR. Padahal, rapat ini terbuka untuk umum, jadi masyarakat Indonesia menyaksikan. Masalah Ruhut vs Gayus ini berawal dari sikap Ruhut yang tidak suka cara Gayus memimpin sidang karena terlalu memberikan banyak waktu bertanya untuk Partai Demokrat. Kemudian, Ruhut melontarkan kata-kata kotor. Sebenarnya, Gayus menanggapinya biasa saja, tapi mungkin dia gerah juga kali ya, kemudian bilang, “Diam kau,” Ruhut tidak mau diam, malah membalas, “Diam kau bangsat!” Ooops... Misuh dia, haha..

Kemudian, ketika Jusuf Kalla, Sri Mulyani, Budiono, dan Robert Tantular menjadi saksi di rapat pansus Century pun, menjadi bahan kerasnya sikap anggota DPR yang menjadi anggota Pansus Century tersebut. Mereka bertanya kepada saksi-saksi itu dengan nada keras, lantang, tetapi menyinggung hati para saksi, seolah saksi-saksi itu adalah pesakitan di persidangan. Padahal, mereka hanya sebagai saksi di rapat pansus itu dan dimintai keterangan saja. Rapat pansus Century itu bukan pengadilan dan saksi-saksi itu bukan terdakwanya. Mereka seharusnya membedakan hal tersebut dan ‘asas praduga tak bersalah’ harus digunakan. Memang, tujuan Pansus Century menghadirkan saksi adalah untuk dimintai keterangan dan bukti-bukti yang terkait dengan Bank Century sedetil-detilnya. Akan tetapi, mereka juga harus mempertimbangkan etika atau kesopanan dalam berbicara. Ingat, kaidah sosial tidak hanya kaidah hukum saja, tetapi juga ada kaidah kesopanan, kesusilaan, dan agama.

Menurut saya, saksi yang paling kasihan adalah Jusuf Kalla. Lagi-lagi Ruhut Sitompul berulah. Ruhut bertanya dengan suara lantang dan kata-katanya membuat warga Makassar tersinggung. Ketika JK agak tidak nyaman dengan pertanyaan yang diajukan Ruhut, Ruhut pun berkata,”Daeng jangan marah dulu donk.” JK hanya tersenyum. Lho, yang marah itu siapa, Bang Ruhut? Bukannya Anda sendiri ya? Hehe.. Akan tetapi, ketika anggota Pansus menghadirkan Robert Tantular sebagai saksi, saya sepakat dengan mereka. Robert Tantular memang harus ditanya dengan tegas karena memang jawabannya bertele-tele.

Hari ini, Pansus Century DPR menghadirkan saksi Darmin Nasution (mantan Dirjen Pajak), Ahmad Fuad Rahmany (Ketua Bapepam), dan Marsilam Simanjuntak (Mantan Ketua UKP3R). Apakah mereka masih menggunakan etika? Sepertinya belum. Tadi ada juga, doh siapa tu namanya lupa, juga masih bernada memojokkan sang saksi. Yach, memang, yang dibutuhkan dari Pansus Century bukan masalah etikanya, tetapi keberhasilan mereka dalam mengungkap kebenaran dari kasus Century yang semakin belibet ini.

Berbicara tentang etika, setiap orang harus mempunyai etika masing-masing. Indonesia mempunyai beragam suku bangsa, tentu mempunyai budaya yang berbeda-beda. Etika yang diterapkan di suku A belum tentu berlaku untuk suku B. Jadi, kita harus menghargai etika orang lain yang berbeda suku. Gedung DPR di Senayan berisi orang-orang yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sehingga anggota DPR terpilih juga terdiri dari berbagai suku bangsa. Maka dari itu, di manapun dan kapanpun, etika dan sikap mau menghargai harus selalu dijaga. Tentunya kita tidak mau bukan, jika sikap wakil rakyat yang kasar itu disebut sebagai cerminan dari seluruh rakyat Indonesia yang sesungguhnya? Tidak lah. Anggota DPR yang beretika buruk hanya beberapa. Ini berarti, rakyat Indonesia yang bertika buruk juga hanya beberapa. Masih banyak orang baik di DPR, berarti masih banyak juga orang baik di Indonesia. Yang masih menjadi pertanyaan saya, sikap rendahnya etika anggota DPR itu merupakan cerminan pribadi atau partai?

Saya mencermati kinerja anggota DPR 2009-2014 sejak mereka melakukan gladi bersih pelantikan. Pada saat gladi bersih itu, ada beberapa anggota DPR yang tertidur. Jika teman-teman menonton Metro TV saat itu, mereka dikritik oleh Metro TV, dibuat joke lucu. Mungkin Bang One TVOne juga, tapi saya tidak menonton TVOne. Itu baru gladi bersih. Bagaimana dengan hari-H pelantikannya? Berlangsung hikmat sich, tetapi ada hal yang paling tidak disukai oleh warga Indonesia, terutama warga Sumatra Barat. Hari pelantikan anggota DPR, 1 Oktober 2009, adalah hari kedua pasca terjadinya gempa Sumatra Barat. Seharusnya, jika mereka bijak, dalam pelantikan itu, disinggung tentang gempa Sumbar dan mengucapkan bela sungkawa. Kenyataannya, hal itu sama sekali tidak disinggung sepatah katapun. Adapun seperti yang kita tahu, pelantikan anggota DPR 2009-2014 menghabiskan uang negara sebesar 46 M. Bukan uang yang sedikit untuk sebuah pelantikan yang hanya berlangsung sehari. Berhari-hari jika dihitung bersama persiapan dll. Sebenarnya, biaya pelantikan itu bisa diminamalisasi dan sebagian disisihkan untuk korban gempa Sumbar yang benar-benar membutuhkan banyak dana untuk rekonstruksi. Memangnya, habis buat apa sich uang sebanyak itu? Dari informasi yang saya tahu, anggaran pelantikan itu kebanyakan untuk jas dan konsumsi. Yach, kita aja, kalau ngadain pensi, nggak lebih dari 200 juta kan? Kecuali kalau ngundang Avenged Sevenfold, hehe.. Okelah, untuk pejabat eselon seperti mereka, harga segitu pantas. Anggap saja demikian.

Setelah pelantikan, saya kurang mencermati kinerja mereka lagi sampai melihat berita tentang Maruarar Sirait, anggota DPR dari Fraksi PDIP, mengusulkan diadakannya angket Century untuk membongkar kasus Bank Century. Ya, seperti angin yang menyegarkan bumi yang telah terkena dampak global warming. Dia berusaha mencari dukungan dari semua anggota DPR. Bahkan, ada anggota DPR yang di depan pintu pun dimintai tanda tangan. Akan tetapi, anggota dari Fraksi Partai Demokrat tidak mau menandatanganinya. Mereka ingin menunggu hasil audit BPK dulu. Akhirnya, semua anggota DPR pun sepakat untuk membentuk sebuah panitia khusus (pansus) dan setelah melalui pro-kontra, dipilihlah ketua pansusnya, yaitu Idrus Marham dari Fraksi Partai Golkar. Idrus mengundang pro-kontra publik karena dia berasal dari partai yang berkoalisi dengan pemerintah. Ditakutkan, dia akan menghambat proses pengungkapan kasus Bank Century. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kinerja Pansus Century membaik dengan menghadirkan saksi-saksi terkait, sampai kita mengetahui jalannya rapat Pansus Century yang membuat warga Indonesia merasa kecewa dengan wakil mereka di Senayan karena etikanya.

Jadi, yang bisa saya sarankan untuk Pansus Century, gali terus kebenaran, tetapi tolong perhatikan etika berbicara. Dan untuk para saksi yang dihadirkan, jangan takut pada Pansus Century. Kalau kalian benar, ungkapkan saja. Tuhan Maha Mengetahui siapa yang benar. Dan harapan kita, masyarakat Indonesia, semoga kasus Century segera berakhir dan Indonesia bisa menata kembali kehidupannya sesuai cita-cita Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar