Kamis, 28 Februari 2013

The Diary of Pelantara (6)

Day 8: Kamis, 21 Februari 2013

Kami mendapatkan instruksi untuk segera packing karena ternyata jadwal kepulangan kami maju sehari. Rencana di rundown adalah hari Jumat kami meninggalkan Lombok. Saya sendiri tidak tahu apa alasannya, padahal saya sudah semakin betah di sini, meski menahan panas cuaca. Dari TNI, jadwal kepulangannya nanti malam, namun barang-barang harus segera dibawa ke kapal pukul 11.00. Malam ini akan ditutup dengan api unggun dan penampilan kontingen tersisa, termasuk DIY.


Siang ini banyak waktu yang nganggur. Ya sudah, jalan-jalan aja cari oleh-oleh di pinggir pantai. Barang-barang juga sudah kami masukkan di koper dan ransel. Saatnya merobohkan tenda. Kamipun berlindung ke panggung utama sambil menunggu malam tiba.

Akang Oki baru saja dihubungi oleh pihak TNI kalau Genbi boleh masuk ke KRI siang ini, daripada di daratan nganggur nggak ada kerjaan. Ya sudah, kami menurut saja. Tapi kemudian, panitia memerintahkan kami untuk tetap di sini bersama anak-anak Pramuka ikut upacara penutupan. Ya sudah, sekali lagi, kami ikut saja.

Tiba-tiba, sekitar pukul 14.00, angin berhembus sangat kencang. Entah kenapa, angin kencang ini baru bertiup di hari terakhir kami di Lombok. Apakah Lombok sedang menangisi rencana kepergian kami? Wah, serius ini, anginnya sangat kencang sampai tenda-tenda penjual di pinggir pantai ada yang terbang. Demikian juga dengan panggung utama. Spanduk backdrop pun hampir terbang. Mengerikan memang.

Angin kencang berhembus. Tadi pagi, di belakang tenda itu masih ada tenda penjual. Tapi bubar gara2 angin kencang

Panggung utama sebelum angin kencang

Sore hari, kami istirahat warung di luar lapangan perkemahan, ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Di sana ada temennya Uda Budi dari UIN Suka yang tinggal di Lombok Timur, bernama Rahmat, membawakan serabi asin Lombok dan makanan manis apa itu namanya. Dia datang bersama ibunya. Ternyata, dari hasil perbincangan, Rahmat dan keluarganya ini adalah orang asli Jogja. Orang tua Rahmat ditugaskan di Lombok Timur sejak tahun 1986. Terima kasih Rahmat dan Ibu atas makanannya. Tak lupa, kami juga sangat berterima kasih kepada keluarga Indra dan Shiva yang telah banyak membantu dalam perkemahan ini, seperti meminjamkan karpet, memberi makanan, dll.

Bersama kontingen dari Gorontalo. Beautiful gown!


Malam hari, kami menonton api unggun dan penampilan tersisa dari kontingen yang belum tampil, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan DIY. Jawa Timur nih nyeremin. Mereka menampilkan reog sampai kesurupan. Adapun DIY menampilkan tari kreasi modern bertema kuliner. Mereka membawakan makanan dari Jogja untuk penonton. Sip, kreatif juga. Nah, dari penampilan semua kontingen, saya menyimpulkan bahwa memang tari Jogja itu paling halus di antara daerah lain. Yeah, orang Jogja memang alus-alus ya, hehe.

Kontingen DIY sehabis tampil

Pukul 22.00, acara pentas seni selesai, kami langsung disuruh untuk kumpul di tengah lapangan untuk persiapan kembali ke KRI. Sama seperti saat turun dari kapal, kami harus berbaris per kontingen agar lebih tertata naik LCVP-nya. Lihatlah kontingen yang baru saja tampil. Mereka masih mengenakan kostum adat dan harus segera berbaris untuk naik KRI. Saya pikir, ini sungguh tidak manusiawi, naik KRI tengah malam. Kenapa sih nggak tadi siang aja? Ngeri juga membayangkan bagaimana naik LCVP di tengah malam yang gelap. Angin laut pun lumayan kencang. Masih ada juga beberapa tenda yang belum dibongkar, seperti tenda panitia dan panggung utama. Wah, bisa-bisa jam 3.00 baru berangkat nih KRI-nya.

Kami pun berbaris dengan rapi per kontingen di lapangan utama, bersiap menunggu giliran naik KRI. Kontingen Genbi ada di tengah barisan, jadi sepertinya masih cukup lama kami menunggu giliran. Sampai pukul 23.00 lewat pun barisan sebelum kami belum habis. Ngantuk? Tentu saja. Tapi untung ada hiburannya. Di sebelah kanan barisan kami ada kontingen dari Gorontalo. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya saat kami menunggu giliran turun dari kapal, kontingen Gorontalo ini kembali menghibur dengan dipimpin oleh pembinanya yang mirip Sule. Mereka nyanyi-nyanyi yel mereka dengan kompak, nyanyi lagu pramuka, main tebak-tebakan, pokoknya jangan sampai ada yang ngantuk dan bosan. Saya salut dengan Mas Pembina yang mirip Sule ini. Pinter banget beliau mengangkat mood anak didiknya.

Ini nih lagu dari kontingen Gorontalo yang unik menurut kami:
cinta lokasi di bumi di perkemahan
mungkinkah cintaku sebatas patok tenda
tenda dibongkar, sayonara cinta...

Akhirnya, giliran kami untuk naik LCVP. Waduh, ngeri banget, man! Ini tidak seperti saat kami pertama kali turun dari LCVP ke daratan Lombok dengan turun di dermaga yang landai. Lha ini, kami benar-benar seperti turun masuk sumur. Dermaga tempat kami naik LCVP ini lebih tinggi dari laut. Kapal LCVP menunggu di bawahnya. Maka, ada TNI telah membuatkan tangga bantuan dari tali dan bambu untuk turun dari dermaga ke LCVP tersebut. Kami harus ekstra hati-hati ketika menuruni tangga. Kepleset sedikit, bisa nyemplung laut. Serius!

Kapal LCVP rombongan saya sudah penuh, dan kami pun meluncur ke KRI. Alhamdulillah, merapat lagi ke KRI pukul 00.00. Kami pun diminta untuk menempati tempat tidur seperti saat berangkat. Yang cowok? Tank deck lagi, haha.

Mau menikmati laut lagi? The Diary of Pelantara (7). Klik:
http://cipukoya.blogspot.com/2013/02/the-diary-of-pelantara-7.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar