Kamis, 15 Agustus 2013

Menanti Sikap tegas dari SBY

Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono

Sejak konflik yang tersulut di Mesir bulan Juni lalu hingga berakhir kudeta pada Presiden Mesir yang sah, Muhammad Mursi, dunia ramai mendukung dan menolak kudeta. Apalagi, kudeta tersebut telah memakan ribuan korban meninggal dan luka-luka. Sebagian besar masyarakat dunia yang paham akan demokrasi dan kemanusiaan pasti menolak kudeta tersebut dan mengecam tindakan brutal militer Mesir pada rakyatnya.


Tak pelak, banyak negara yang menarik mundur duta besarnya untuk Mesir. Adapun yang paling lantang untuk menentang kudeta tersebut adalah Turki. Presiden Turki, Abdullah Ghul dan Perdana Menterinya Recep Thayyib Erdogan kerap berpidato dengan semangat berapi-api untuk tidak mengakui pemerintahan Mesir hasil kudeta. Bahkan, ketika El Baradei, salah satu tokoh di balik kudeta Mesir ingin berkunjung ke Turki, Erdogan langsung menolaknya. Bagi Turki, pemerintah Mesir yang sah adalah pemerintah sebelumnya yang dipimpin oleh Muhammad Mursi.

Keberanian Ghul dan Erdogan memimpin Turki untuk tidak mengakui pemerintah hasil kudeta Mesir patut diacungi jempol. Sebab, pemimpin negara-negara tetangganya, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Israel mengucapkan selamat atas terpilihnya Adly Mansour sebagai presiden baru dan pemerintah barunya pasca kudeta. Apalagi, Turki saat ini masih berada dalam bayang-bayang sekulerisme. Untungnya, pemimpin negara ini merupakan muslim yang taat dan selalu berjuang untuk menghapuskan sekulerisme.

Bandingkan dengan Indonesia. Berdasarkan survey penduduk tahun 2011, Indonesia menjadi negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Adapun sebagian besarnya adalah beragama Islam. Maka, bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Maka, ketika saudara seimannya di Mesir dibantai, sudah selayaknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia juga melakukan hal serupa seperti pemimpin Turki. Bahkan, harus lebih garang lagi dari Turki. Misalnya, menarik duta dan konsulnya di Mesir, melakukan protes melalui Kedubes Mesir di Indonesia, atau memberikan bantuan uang, makanan, dan obat-obatan ke Mesir.

Indonesia juga berhutang budi pada Mesir. 68 tahun lalu, setelah Indonesia merdeka, Mesir merupakan negara pertama yang mengucapkan selamat dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Selain itu, pada awal tahun 2005, Muhammad Mursi datang jauh-jauh dari Mesir hanya untuk mengunjungi korban Tsunami Aceh dan memberikan bantuan lengkap. Sampai hari ini, Mursi masih ditahan militer Mesir dan dicekal tidak boleh pergi ke luar negeri. Hari ini pula, dua hari menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia, SBY belum juga menyatakan sikap tegasnya. SBY hanya mengutarakan keprihatiannya atas banyaknya korban dan memberikan usul win-win solution di Twitter. Oh Bapak, kami menginginkan yang lebih dari itu!

Tentu kita masih ingat ketika akhir tahun lalu, SBY dan istrinya pergi ke London, Inggris, untuk menerima penghargaan dari Ratu Elizabeth II. Penghargaan itu adalah “Knight Grand Cross in the Order of Bath” atau “Ksatria Salib Agung”. Penghargaan ini diberikan kepada SBY atas jasanya dalam membela jamaah Ahmadiyah. Pada waktu itu, banyak pro-kontra dari masyarakat, mengingat SBY adalah seorang muslim dan pemimpin negara berpenduduk mayoritas muslim, tetapi menerima gelar tersebut.

Entah apa yang terjadi dengan SBY saat ini. Mengapa beliau tidak berani tegas mengecam tindakan brutal militer Mesir dan tidak mengakui pemerintah hasil kudeta Mesir? Sebagai orang yang seharusnya berhutang budi pada Mursi karena telah mengunjungi korban Tsunami Aceh, apalagi saat itu SBY telah menjadi presiden Indonesia, SBY lantang berbicara pada dunia. “Bebaskan Mursi!” Saya memimpikan SBY berpidato dengan keras mengatakan dua kata itu di Istana Negara dengan disiarkan secara langsung oleh semua stasiun TV.
Mursi ketika mengunjungi korban Tsunami Aceh

Sungguh tidak pantas jika SBY mendapatkan gelar “Knight Grand Cross in the Order of Bath” karena membela Ahmadiyah. Sebaliknya, SBY takut membela muslim Mesir yang sudah jelas akidahnya. Apakah seperti ini watak seorang ksatria?

Baiklah, terpaksa saya harus membandingkan presiden Indonesia saat ini dengan presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Pada saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962-1966, Bung Karno dengan tegas mengatakan, “Ganyang Malaysia!”. Sebab, Bung Karno percaya pada kekuatan dan fasilitas yang dimiliki militer Indonesia. Kini, militer Indonesia sudah semakin maju. Bahkan, anggaran untuk pertahanan ditingkatkan sejak awal kepemimpinan jilid duanya. Jadi, jika SBY harus berpidato untuk menolak pemerintah hasil kudeta militer Mesir, SBY tidak perlu takut karena Tentara Nasional Indonesia siap melindungi Jenderal Bintang Empat ini.

Namun, SBY tetaplah SBY. Soekarno tetaplah Soekarno. Mereka memiliki gaya kepemimpinan masing-masing. Meskipun begitu, saat ini sikap nyata dari Presiden Indonesia untuk Mesir sangat ditunggu. Saya berharap, pada pidato kebangsaan 16 Agustus nanti, di samping menyoroti masalah dalam negeri, SBY juga menyelipkan doa untuk korban kejahatan kemanusiaan di Mesir dan sikap lantangnya menolak pemerintahan Mesir hasil kudeta. Ini merupakan salah satu ciri sikap politik luar negeri bebas aktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar