Sabtu, 10 Agustus 2013

Kisah Si Sya'ban, Si Ramadhan, dan Si Syawal




Bulan Ramadhan telah berakhir. Pemuda kampung meramaikan malam takbiran dengan keliling kampung dengan membawa oncor. Semua orang bersuka ria mengumandangkan takbir. Pada pagi harinya, warga kampung itu shalat Ied berjamaah di lapangan kemudian dilanjutkan dengan acara syawalan di balai desa.  

Suasana cukup mengharukan di syawalan itu. Semua orang saling berjabat tangan, berpelukan, dan mengakui kesalahan masing-masing. Tidak ada rasa dendam, iri, bahkan dengki yang tersisa. Yang tersisa hanyalah senyum penuh ketulusan.

Kini hari kemenangan telah tiba. Umat Islam di seluruh dunia merayakannya. Setiap orang berbuka, menikmati ketupat, opor ayam, sirup, dan kue kering. Sanak famili datang silih berganti. Di akhir perjumpaan, yang lebih tua memberikan ‘salam tempel’ kepada yang lebih muda.


Tak terkecuali pada tiga bersaudara yang sudah yatim piatu di kampung itu, Sya’ban, Ramadhan, dan Syawal. Tiga bersaudara ini selalu memakmurkan masjid setiap hari, meskipun kesibukan sekolah selalu membersamainya.

Selesai syawalan, biasanya, tiga bersaudara itu selalu bersilaturahmi ke rumah nenek dan kakeknya yang berbeda kampung. Namun, suasana Idul Fitri tahun ini agak berbeda. Selesai shalat maghrib berjamaah di masjid, Syawal si anak termuda  menangis. Kedua kakaknya heran dan mencoba menghiburnya. Tidak biasanya Syawal menangis. Meskipun masih berumur 10 tahun, Syawal termasuk anak yang jarang menangis. Justru, dia suka menghibur teman-temannya karena kecerdasannya.

“Mengapa kamu menangis, adikku?” Sya’ban, anak tertua menghiburnya.
Syawal mengeluarkan air mata semakin banyak.
“Loh, apa yang terjadi, Syawal?” Ramadhan juga mencoba menghiburnya.
Syawal malah menangis semakin terisak.
“Baik, coba Dik, kamu tenangkan diri dulu, dan ceritakan pada kami apa yang membuatmu menangis. Barangkali, kami bisa membantumu.” Sya’ban memberikan segelas air putih dan memeluk adiknya.

Syawal pun meminum air putih tersebut, kemudian terdiam beberapa detik. Akhirnya, dia mencoba menjelaskan sebab dia menangis.
“Kak, ini kan hari raya Umat Islam. Tapi kenapa sih, banyak orang yang tidak merayakannya seperti hari raya Umat Islam?”
“Maksudmu, Dik?” Ramadhan menyela dengan penuh keheranan.

“Kita bertiga lahir di bulan yang penuh kemuliaan, sehingga orang tua kita memberi nama sesuai bulan kelahiran kita. Andaikata kita bertiga adalah bulan-bulan itu, aku pasti akan menjadi bulan yang paling banyak iri pada kalian, Kak, terutama bulan Ramadhan.” jawab Syawal.

“Ketika datang bulan Sya’ban, orang-orang beramai-ramai mempersiapkan targetan-targetan yang akan dilaksanakan saat bulan Ramadhan nanti. Mereka memperbanyak amalan ibadah, shalat malam, sedekah, terus berpuasa sampai menyisakan satu hari sebelum Ramadhan. Bahkan, ada juga yang belum tuntas utang puasanya tahun lalu, sehingga orang-orang membayarnya di bulan Sya’ban. Ada juga yang menghidupkan malam nishfu Sya’ban, meskipun ada yang berbeda pendapat tentangnya. Pokoknya, apapun ibadah dilakukan sebagai warming up Ramadhan.

“Ketika datang bulan puasa Ramadhan, sungguh Allah telah memuliakannya. Segala ibadah yang dilakukan pada bulan itu, dilipatgandakan pahalanya. Pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka ditutup, setan dibelenggu. Allah memberikan ampunan seluas-luasnya pada setiap hamba-Nya di bulan itu. Masjid yang biasanya sepi ramai kembali, sedangkan tempat hiburan penuh maksiat berhenti. Orang-orang rajin shalat berjamaah lima waktu. Yang paling ramai tentu shalat maghrib sambil berbuka bersama dan shalat isya’ yang dilanjutkan dengan tarawih. Orang-orang juga rela bangun sebelum shubuh untuk qiyamul lail dan  bersantap sahur. Pada 10 hari terakhir Ramadhan pun, orang-orang rela tidak tidur karena i’tikaf di masjid. Mereka memperbanyak shalat malam, berdoa, bershalawat, dan tilawah, bahkan sampai ada yang khatam lebih dari 5 kali sebulan. Kita juga diuntungkan. Sebagai yatim piatu, kita mendapatkan zakat dan sedekah dari siapa saja.”

“Tapi kini, di bulan Syawal ini..” Syawal diam sejenak, kemudian melanjutkan bicaranya.
“Mana ada orang yang mau pergi ke masjid? Mana ada orang yang memberikan sedekah pada kita? Mana ada orang yang terus tilawah sampai khatam 5 kali sebulan? Mana ada orang yang mau bangun di sepertiga malam terakhir? Yang kulihat, orang-orang justru sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka pergi ke pusat perbelanjaan membeli baju baru, kue-kue lezat, hape canggih, sampai stok uang di semua ATM habis. Ada pula yang meramaikan pasar malam, berjoget ria dengan penyanyi dangdut berbaju minim. Tempat hiburan markasnya maksiat dibuka kembali. Ada pula perempuan-perempuan yang berbaju tertutup ketika Ramadhan, akhirnya dibuka lagi setelah Ramadhan. Ada pula sepasang kekasih yang rela berpuasa khalwat ketika Ramadhan, kemudian kembali berduaan setelah lebaran. Mereka meramaikan pantai, taman kota, atau villa di lereng gunung sana, entah apa yang mereka lakukan. Bukankah Idul Fitri itu menghapuskan dosa-dosa kita yang telah lalu, sehingga kita seperti terlahir kembali setelah Idul Fitri? Tetapi mengapa orang-orang malah mencari dosa lagi? Bahkan, ada juga orang yang bermaaf-maafan dengan tujuan melebur khilaf, malah saling berjabat tangan dan berpelukan pada nonmahramnya. Bukankah itu akan menambah dosa lagi? Rasulullah saja lebih memilih ditusuk dengan pasak dari besi daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.”

“Mengapa Kak, mengapa seperti ini? Apakah orang-orang sudah capek memaksimalkan ibadah selama sebulan?” Air mata Syawal mengalir semakin deras.

Sya’ban dan Ramadhan memeluk Syawal erat-erat.
Sebagai kakak tertua, Sya’ban angkat bicara,“Dik, Kakak sangat mengapresiasi kecerdasanmu melihat realita dalam masyarakat kita. Padahal, anak seumuranmu ini biasanya ikut bersenang-senang di pasar malam sana. Ya, memang begitulah dunia. Ia penuh dengan tipu daya. Kamu tahu, pesan Rasulullah tentang perumpamaan kenikmatan dunia dan akhirat?”

Syawal menggeleng. “Lupa, Kak.”

“Baik. Misalnya kamu ke pantai. Celupkan jari telunjuk ke air laut. Angkat telunjukmu dan biarkan apa yang terjadi pada air di telunjukmu itu. Pasti air itu akan menetes dan mengering terkena sinar matahari. Namun, bandingkan dengan air di laut itu. Kapan ia akan mengering? Begitulah, kenikmatan dunia itu seperti air laut di telunjukmu tadi, sedangkan kenikmatan surga adalah air laut yang tidak akan pernah habis tadi.”

“Mungkin, saudara-saudara kita itu lupa bahwa kenikmatan yang mereka peroleh sesaat hanyalah titipan Allah. Mereka terlalu senang mendapatkan salam tempel yang banyak dari Pakde-Budenya sehingga segala barang yang diinginkan dibelinya. Mereka lupa caranya bersyukur, jadi lupa akan hak saudaranya yang sebenarnya lebih membutuhkan. Adapun orang-orang di pasar malam itu, atau sepasang kekasih di villa sana, mungkin mereka lupa akan kematian. Biasanya, orang akan mati dalam keadaan yang dia cintai. Tentu kita tidak mau kan, mati dalam keadaan cinta akan nikmat dunia?” Sya’ban melanjutkan.

“Wah Dik, terima kasih atas keirianmu pada Bulan Ramadhan, hehe. Orang-orang semangat beribadah pada bulan Ramadhan karena berpegang pada janji Allah yaitu jaminan dilipatgandakannya pahala hingga berakhir surga. Bandingkan dengan bulan lain, apakah juga terdapat janji Allah akan dilipatgandakannya pahala? Sebenarnya ada, bahkan banyak sekali. Namun, karena malasnya mereka mencari ilmu, mereka tidak tahu bahwa bidadari-bidadari surga itu sebenarnya menanti kehadiran manusia. Namun, manusianya sendiri enggan mencari tahu bagaimana cara memasuki surga itu. Mereka juga menganggap bahwa menghidupkan Ramadhan saja sudah cukup. Padahal, yang paling penting adalah meramadhan hidup. Anggap saja semua bulan adalah Bulan Ramadhan, sehingga kita selalu bersemangat dalam ibadah dan bertegas diri menjauhi kemaksiatan.” Ramadhan menambahkan.

“Bagaimana Dik? Sudah ya, tidak perlu bersedih hati melihat realita masyarakat kini. Coba kita ingatkan mereka. Minimal, kita mulai dari teman terdekat kita. Kita ingatkan dengan tangan kita. Jika tidak mempan, dengan  lisan kita. Jika tidak mempan lagi, dengan hati kita. Kita doakan mereka supaya mereka segera menyadari dan kembali meramaikan masjid ini.” Sahut Sya’ban.

“Eh, waktu Isya’ sebentar lagi tiba. Ayo siapa ini yang adzan? Saya, Kak Sya’ban, atau kamu, Dik Syawal?” Ramadhan mengingatkan. “Oya, jangan lupa ya, besok mulai puasa Syawal yuk. Meski cuma enam hari, pahalanya seperti kita berpuasa setahun penuh. Masya Allah.”

“Aku aja Kak, yang adzan!” Syawal bangkit dari duduknya dan mengusap air matanya.


Srandakan, 4 Syawal 1434 H


Tidak ada komentar:

Posting Komentar