Keesokan harinya,
kami bangun pukul 4.30 WIB kemudian shalat shubuh. Kami harus bergegas menuju
Hutan Mati untuk menikmati sunrise kemudian
dilanjutkan menuju Tegal Alun dan puncak, jika masih ada waktu. Tidak perlu membawa barang-barang
terlalu banyak karena tanjakan dari Hutan Mati menuju Tegal Alun cukup curam.
Eh dua orang sebelah kiri bikin ngiriii :p |
Satu yang khas dari Gunung Papandayan adalah Hutan Mati. Seperti namanya, hutan mati terdiri dari pohon-pohon cantigi yang telah mati terbakar akibat erupsi Gunung Papandayan pada tahun 2002. Hutan Mati terhampar luas dengan sisi timur langsung berhadapan dengan jurang. Maka, hati-hati jika ingin menikmati sunrise. Tetap waspada karena di tepi jurang ini tidak ada dinding pengaman, tetapi justru tebing yang rawan longsor.
Setelah sunrise-an |
Bete nggak sih liat beginian?? |
Meskipun Hutan
Mati terkesan mengerikan, kami mendapatkan sunrise
view of Papandayan yang sangat mengesankan. Namun sayang, aset Hutan Mati terkotori oleh tangan-tangan alay yang tidak bertanggung jawab. Dikira buku diary kali ya. Batu-batu di Hutan Mati dan sekitarnya dijadikan tempat curhat.
Note:
Alam ini milik kita bersama, bukan cuma milikmu yang
bisa kau utak-atik sesuka hatimu. Anak cucu kita berhak untuk menikmati alam
ini seperti ketika alam pertama kali diciptakan Tuhan.
Jangan terlalu
lama di Hutan Mati, karena edelweiss di Tegal Alun telah menanti. Dari Hutan
Mati, kami menyusuri jalur pendakian menuju puncak.
Menuju Tegal Alun |
Ow... Ternyata,
kami salah mengambil jalan. Jalan yang kami ambil adalah tanjakan yang sangat
curam dengan kemiringan 800. Silakan tonton video yang direkam oleh
Dheo berikut ini. Namun sebelumnya, maafkan kenarsisan Dheo. Fokuskan saja
pandangan Anda pada trek dan Gunung Cikuray yang berdiri kokoh di belakang
kami. Cekidot à https://drive.google.com/file/d/0B4Z9xlDew-WaN1prQ2NxS3YxbGM/view
Sumpah ane
ngakak di menit ke- 0.33:
Fadli: “eh
turunnya ada escalator harusnya ama lift”
Jojo: “belum ada
developer”.
(-___-“)
Para pemain video |
Saya tidak tahu
nama tanjakan ini. Padahal, ada beberapa gunung yang memiliki tanjakan yang
membuat para pendaki jengkel sehingga diberikan nama spesial, seperti: Tanjakan
Setan di Gunung Gede, Tanjakan Iblis di Gunung Salak, Tanjakan Penyesalan di
Gunung Cikuray, juga Tanjakan Bapak Tiri di Gunung Ciremai[1].
Karena tanjakan Papandayan ini mengharuskan dengkul ketemu dada, sudah
selayaknya tanjakan ini juga diberikan nama spesial. Silakan berkreasi :D
Note:
sebelum naik ke Tegal Alun, pastikan perbekalan makanan dan minuman Anda cukup
untuk satu rombongan karena di tanjakan ini tidak ada ‘bonus’ (tempat landai
untuk beristirahat). Pakai sepatu atau sandal gunung dengan alas yang kuat atau
keset karena tanjakan ini terdiri dari bebatuan. Bagi yang telapak tangannya
suka berkeringat, sangat dianjurkan untuk memakai sarung tangan agar tidak
licin saat memegang batu atau ranting pohon. Selain itu, sarung tangan juga
dapat mencegah luka akibat tergores ranting pohon yang kasar.
“No gain without pain”. Alhamdulillah, pain kami mendaki tanjakan yang belum
bernama ini telah berakhir seiring ditemukannya hutan rimbun dengan tanah yang
landai. Di depan sana ada cahaya terang yang kami pastikan itu bukan lagi hutan
rimbun, melainkan: TEGAL ALUN!!! Kami
berlari kencang ingin segera bertemu dengan Anaphalis javanica. Betapa girangnya kami,
seperti anak-anak yang berlari kencang karena layang-layangnya yang putus telah
ditemukan. Jangan lupa nyanyikan lagu “Edelweiss”:
“Edelweiss... Edelweiss... Bless
my homeland forever...”
Sepotong surga yang jatuh ke bumi |
Mendaki tanjakan
dengan durasi kurang lebih satu jam cukup menguras tenaga kami. Kami pun
mengeluarkan perbekalan dan memasak mie di pinggir danau tadah hujan. Karena
persediaan air sudah menipis, Blek, Mas Roni, dan Agung mencari mata air
terdekat.
Saat mereka sedang
mencari air, tiba-tiba kabut turun seolah tidak rela kecantikan edelweiss kami
nikmati dengan percuma. Jarak pandang hanya 5 meter! Rasa dingin menyengat
hingga tulang belikat. Kami pun khawatir dengan keselamatan Mas Roni, Blek, dan
Agung karena mereka tidak membawa senter. Apalagi, Mas Roni dan Mbak Efit
adalah pengantin baru. Paham dong bagaimana khawatirnya sang istri. Kami
berteriak memanggil nama-nama mereka, namun balasan tidak kunjung kami
dapatkan. Kami bingung, pergi mencari mereka atau tetap menunggu di sini. Tebe
dan Jojo pun hampir saja menyusul mereka, tetapi kami khawatir jika mereka pun
ikut hilang. Ya sudah, tunggu saja di sini sambil foto-foto bersama edelweiss.
Di balik fotografi yang fenomenal, ada fotografer yang pegal-pegal |
Note:
Tetap pakai jaket dan celana panjang saat di Tegal Alun karena kabut dingin sering turun secara tiba-tiba.
Cuma bisa mencium, ga bisa memetik. |
Note:
Jangan pernah memetik bunga Edelweiss yang tumbuh secara alami di sini, karena spesies Anaphalis javanica ini termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilindungi. Jika ingin memiliki bunga Edelweiss, beli saja di tempat budidaya Edelweiss oleh masyarakat, seperti di daerah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Beberapa menit
kemudian, alhamdulillah akhirnya mereka bertiga kembali. Kasihan, mereka belum
makan. Untunglah, kami menyisakan makanan untuk mereka dan mereka makan dengan
lahap.
Kami telah
mencapai Tegal Alun. Selanjutnya ke mana? Pulang. Lah?? Ga jadi muncak? Kami
memiliki banyak pertimbangan. Untuk mencapai puncak Papandayan dari Tegal Alun
dibutuhkan waktu 3-4 jam, sementara kami harus kembali ke Jakarta paling lambat
maghrib. Lagipula, puncak Papandayan tidak terlalu bagus untuk berfoto karena
diliputi oleh vegetasi hutan lebat.
Kami pun turun
gunung melalui pintu Tegal Alun yang lain. Ya, memang inilah jalur yang benar
untuk menuju Tegal Alun. Jalur ini lebih lebar sehingga tidak masalah jika kita
berpapasan dengan orang yang ingin naik atau turun, tidak seperti jalur kami
sebelumnya yang tidak memungkinkan pendaki untuk berpapasan.
Seharusnya lewat sini masuknya :D |
Kami turun
kembali ke camp di Pondok Saladah untuk berkemas pulang. Jangan lupa, bereskan
tenda dan jangan sampai ada sampah yang tersisa. Sampah kami lumayan banyak,
ada satu trashbag besar. Awalnya
sampah tersebut mau kami bawa turun gunung. Kami pun bertanya pada security
yang bertugas di Pondoh Saladah. Sampah boleh ditinggal di penampungan sampah.
Kami pikir, mungkin kenaikan harga masuk Papandayan dari 35 ribu menjadi 65 ribu itu sudah termasuk biaya
kebersihan. Semoga.
Jalur yang kami lalui berbeda ketika sudah berada di bawah Ghober Hut, yaitu jalur
lama. Jalur lama ini terbentang di pinggir kawah dengan lebar 1-3 meter
sehingga para porter motor dengan mudah melalui jalur ini.
Turun gunung!!
Selanjutnya, cerita tentang Tujuh Kurcaci, klik: Papandayan, Awal Sebuah Persahabatan (Part 3)
Turun gunung!!
Pantes aja mereka lama turun gunungnya. Foto-foto dulu :( |
Selanjutnya, cerita tentang Tujuh Kurcaci, klik: Papandayan, Awal Sebuah Persahabatan (Part 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar