wall.alphacoders.com |
Telah tiba suatu masa ketika telinga sangat sensitif terhadap pesan
Whatsapp yang baru datang, tetapi pura-pura budeg ketika suara adzan berkumandang.
Ya, itu terjadi
pada awal bulan Syawal ini. Sebagian orang telah lupa bahwa mereka baru saja
menyelesaikan puasa selama 30 hari di Bulan Ramadhan. Pada Bulan Ramadhan, kita
menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah, seperti: puasa, tilawah, shalat
wajib, rawatib plus tarawih, juga ditambah dengan shalat witir.Sedekah pun tak
luput dari tangan.
Telinga kita
sangat sensitif dengan suara adzan, terutama adzan shubuh dan maghrib. Kita pun
segera menyambut panggilan-Nya. Mungkin hanya orang aneh yang mengabaikan adzan
maghrib. Tapi kini, telinga kita seakan disumpal kain tebal setelah Sang
Ramadhan undur diri.
Mengapa
demikian? Mari kita maknai kembali hakikat dari puasa selama 30 hari di Bulan
Ramadhan. Seperti Diklat Prajabatan bagi CPNS, Ramadhan adalah masa aktualisasi
penerapan nilai-nilai dasar. Pada saat Diklat Prajabatan,CPNS belajar teori
tentang nilai-nilai dasar Akuntabilitas, Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen
Mutu, dan Anti Korupsi (ANEKA) kemudian dipraktikkan pada saat off campus atau masa aktualisasi. Masa
aktualisasi adalah masa percobaan dan pelatihan agar CPNS terbiasa menjalankan
nilai-nilai dasar ANEKA ketika sudah diangkat menjadi PNS.
Demikian halnya
dengan ibadah. Kita belajar tentang teori beribadah secara keseluruhan. Kita
latih diri kita dengan menerapkan teori beribadah: puasa dengan sempurna sejak
fajar hingga senja, memperbanyak dan memperbaiki kualitas shalat, menghindari
hal-hal yang tidak bermanfaat seperti menggunjing orang lain, menjaga nafsu,
serta menghindari maksiat. Kita terapkan teori-teori tersebut saat Bulan
Ramadhan agar terbiasa dengan ibadah secara syumul setelah Sang Ramadhan undur
diri.
Jika ada yang
merasa bahwa ketika beribadah masih kurang nyamanatau kurang nge-feel sehingga merasa berat saat
beribadah pada Bulan Ramadhan dan kembali kepada kebiasaan buruknya setelah
Sang Ramadhan undur diri, ingatlah bahwa hal tersebut adalah ujian: sejauh mana
kita menyertakan iman dalam ibadah. Jika tidak, ibadah akan terasa kering.
Ujian iman adalah ibadah. Puasa dilaksanakan tidak hanya sebatas formalitas,
tetapi harus dilandasi dengan semangat iman, seperti yang diperintahkan dalam QS.
Al Baqarah ayat 183.
Pada saat
berpuasa, iman seperti lidah bagi makanan. Jika kita makan dengan lidah yang
dilakban, bagaimana rasanya? Orang yang melaksanakan puasa tanpa iman akan cepat
mengeluh karena lapar. Sebaliknya, orang yang berpuasa dengan berbekal iman
akan ikhlas menjalankannya sampai adzan maghrib. Selain itu, puasa yang
dilandasi oleh iman akan mengantarkan kita pada hasil dan maksud. Contoh hasil
adalah tertunaikannya syarat dan rukun dengan baik. Selanjutnya, hasil akan
mengajak kita kepada maksud. Contohnya, banyak orang yang menunaikan shalat
tetapi masih melakukan maksiat. Bukankah shalat itu mencegah perbuatan keji dan
mungkar? Maka sebaiknya, kita harus benar-benar memahami tujuan dan teori-teori
dalam beribadah, serta harus kita pratikkan secara syumul.[1]
Jadi, sudah
sejauh mana kita menyertakan iman dalam berpuasa di Bulan Ramadhan, akan
terlihat setelah Sang Ramadhan undur diri. Jika CPNS melaksanakan aktualisasi
dengan terpaksa namun menginginkan hasil “Sangat Memuaskan”, bisa jadi mereka
akan melakukan kecurangan pada saat aktualisasi. Akibatnya, pada saat sudah
diangkat menjadi PNS, mereka enggan untuk menerapkan nilai-nilai dasar ANEKA
sehingga kualitas birokrasi pemerintahan tidak akan berubah menjadi lebih baik.
Demikian halnya dengan Bulan Ramadhan. Jika kita menjalankan ibadah di Bulan
Ramadhan tanpa dilandasi dengan iman, kita masih tetap bergelayut dengan
kebiasaan buruk kita setelah Sang Ramadhan undur diri.
Andai
bulan-bulan Hijriyah dapat berbicara, pasti Bulan Syawal akan protes karena semangat
ibadah kita menurun pada bulan ini (Silakan baca tulisan saya tentang
kecemburuan Syawal di: “Kisah Si Sya’ban, Si Ramadhan, dan Si Syawal”). Ayolah,
perbaiki lagi niat kita dalam beribadah kepada Allah, yaitu menyertakan iman
dalam setiap ibadah kita. PR besar kita adalah setelah menghidupkan Ramadhan
adalah: meramadhankan hidup.
Tulisan ini
ditulis bukan untuk menggurui, tetapi sebagai pengingat Penulis jika futur.
Mohon maaf lahir
batin. Taqabalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum.
Ditulis di Srandakan, 1 Syawal 1437 H,
bertepatan dengan hari kelahiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar