Saya bosan naik
lift. Saya ingin naik gunung!
Ketika diri ini
sudah penat dengan berbagai kertas di meja kerja, layar laptop yang terus
menyala, serta hiruk-pikuk kendaraan kota, hati-hati, dirimu sedang menyalakan sinyal
untuk piknik, Cipuk!
Naik gunung,
adalah sebaik-baik piknik. Naik gunung sudah menjadi wacana bersama teman-teman
kantor dan teman-teman arisan Jabodetabek, namun tidak kunjung menemukan ujung,
karena keputusannya menggantung.
Akhirnya, 17
Juli 2016, Alin mengajak saya untuk bergabung bersama rombongan teman
fakultasnya naik Gunung Papandayan pada tanggal 22 – 24 Juli 2016. Equipments buat naik gunung sih sudah
saya persiapkan jauh-jauh hari sejak ‘wacana’ naik gunung terdengar pertama
kali. Maka, ketika panggilan naik gunung menjadi nyata, tanpa ragu saya bilang
“iya”.
Sebagai
persiapannya, kami membuat grup Whatsapp. Betapa kagetnya saya ketika
cowok-cowok satu per satu mengundurkan diri dari rombongan dengan berbagai
alasan. Kini, tinggal satu laki-laki yang bertahan: Mas Roni. Saya pun
menyatakan kekhawatiran saya karena menurut pengalaman ketika naik gunung
bersama teman-teman THA, jumlah cowok harus lebih besar daripada jumlah cewek.
Cowok harus berfungsi sebagai leader dan
sweeper. Posisi ini sangat dibutuhkan
ketika jalan malam. Bagaimana jika hanya ada satu orang cowok? Mas Roni pun
akan menjawab akan mencari rombongan lain, seperti pengalaman naik gunungnya
sebelumnya. Akhirnya, berangkatlah kami pada Jumat malam, 22 Juli 2016, dengan
anggota: 4 cewek tanpa tanggungan (Cipuk,
Alin, Meissha, dan Devi) plus 2
orang suami istri (Mas Roni dan Mbak Efit).
Kami berkumpul
di pool bus Primajasa Cililitan jurusan Garut dan berangkat pukul 20.30 WIB.
Kami sampai di Terminal Guntur Garut pada Sabtu pagi, pukul 2.30 WIB. Sampai
terminal, kami menuju tempat persewaan alat-alat outdoor yang cukup dekat
dengan terminal untuk menyewa beberapa peralatan yang tidak kami bawa. Setiap
akhir pekan, terminal Garut selalu ramai oleh orang-orang yang ingin naik gunung
karena Kabupaten Garut memiliki tiga gunung favorit untuk didaki, yaitu Gunung
Papandayan, Gunung Cikuray, dan Gunung Guntur. Maka ketika sopir angkot melihat
rombongan yang menggendong tas carrier, mereka langsung bertanya tentang tujuan
pendakian kami. Setiap tujuan pendakian akan diantar dengan angkot yang
berbeda.
Untuk pendakian
menuju Gunung Papandayan, kami diantar dengan angkot warna biru-putih sampai
Alun-Alun Cisurupan. Kemudian, kami berpindah naik mobil pick up yang diisi
oleh 17 penumpang menuju Camp David. Di mobil pick up, kami berkenalan dengan
rombongan lain, yaitu dua pasang pacar, sebut saja A dan B, juga C dan D, kemudian
rombongan 7 cowok alumni BSI: Rizki alias Blek,
Jojo, Dheo, Agung, Fadli, Teuku Bahagia alias Tebe, serta sang fotografer Nasuha
alias Nana (cerita tentang mereka
akan saya ceritakan di akhir). Rombongan saya pun memutuskan untuk bergabung
bersama rombongan mereka.
Formasi awal, ki-ka atas: Mas Roni, C, Cipuk, Mbak Efit, D, Devi, Alin, Meissha, Agung, Blek, Jojo, Tebe. Ki-ka bawah: Fadhli, Nana, Dheo |
Setelah sampai
di Camp David, kami shalat shubuh dan sarapan, kemudian berkumpul untuk briefing sebelum pendakian. Kami
menghitung jumlah anggota dalam satu rombongan, terhitung ada 15 orang, tanpa
pasangan A dan B. Sekarang, jalur pendakian Papandayan memiliki jalur pendakian
yang baru. Jalur pendakian lama sedang diperbaiki oleh PT. Asri Indah Lestari
dan hanya digunakan untuk turun gunung. Untuk naik gunung, kami melalui jalur
baru yang lebih jauh karena memutar hutan, tetapi lebih aman dari efek langsung
belerang di kawah Papandayan. Trek jalur pendakian yang baru ini cukup mudah
karena banyak ‘bonus’ (tempat landai untuk beristirahat). Selain itu, sepanjang
jalan cukup rimbun oleh naungan pohon-pohon. Sebaliknya, untuk jalur pendakian
yang lama, kita akan langsung terpapar matahari, tercium bau belerang lagi.
Pada saat berjalan
dari Camp David menuju jalan di atas kawah, kami kehilangan pasangan C dan D.
Kami sudah bertanya kepada rombongan lain apakah melihat cowok dan cewek dengan
ciri-ciri seperti ini dan itu, namun tidak ada yang melihat. Dugaan kami,
mereka berdua sudah naik mendahului kami namun tidak pamit dengan kami. Saya
mengkhawatirkan si cewek karena tidak memakai outfit standar naik gunung. Dia
justru memakai gamis, sendal jepit dan tas backpack biasa. Ya sudah, cukup 13
orang saja, semoga tidak ada yang meninggalkan rombongan lagi.
Note:
Pastikan jumlah anggota yang naik gunung = jumlah anggota yang turun
gunung. Untuk menjaganya, ingat betul orang yang ada di depan dan belakangmu.
Jika ingin meninggalkan rombongan, izin dulu dengan rombongan.
Di atas kawah |
Pendakian kami
lanjutkan dengan melewati jalan di atas kawah. Betapa kagetnya saya, di jalur
pendakian banyak orang jualan. Lebih kaget lagi, di jalur pendakian ada jalur
buat motoran! Jika mendaki melalui jalur motor, akan terasa lama. Maka, kami
memutuskan untuk melewati jalur shortcut
menuju Ghober hut. Yeah, naik gunung itu nggak seru kalo nggak lewat shortcut. Setelah sampai Ghober Hut,
kami beristirahat sebentar sambil makan cilok. Apa?? Makan cilok di gunung??
Iya, ada yang jualan cilok di Ghober Hut. Itulah keajaiban Papandayan.
Makan cilok di Ghober Hut |
Kira-kira pukul
10.30 WIB, kami melanjutkan pendakian menuju Pondok Saladah, tempat ngecamp. Tempat
ini menjadi tempat ngecamp terakhir sebelum menuju puncak. Tempatnya luas dan
landai, sehingga dapat menampung ratusan dome.
Kita juga akan dimanjakan dengan wanginya bunga edelweiss. Namun semakin
bertambah kaget saya, karena di tempat ini penjualnya lebih banyak. Saya jadi
ingat ketika SD, saya mengadakan kemah pramuka satu kecamatan di lapangan Kedungbule.
Kami mendirikan tenda, namun tetap saja, di pinggir lapangan terdapat banyak
warung sehingga kami tidak benar-benar belajar survival.
Namun kami tidak
tergiur dengan warung-warung tersebut karena perbekalan kami sudah cukup untuk
bertahan hidup. Kami berprinsip: “naik gunung itu susah, jadi makannya ga usah
dibikin susah”. Hal yang paling seru ketika naik gunung adalah makan bersama
dalam satu wadah. Alhamdulillah, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?
Kami memutuskan
untuk summit attack esok hari karena
untuk menuju puncak dibutuhkan waktu sedikitnya enam jam. Dikhawatirkan, kami
akan sampai puncak saat hari sudah gelap. Baiklah, kami beristirahat sambil
menunggu cuaca tidak terlalu panas untuk menikmati keindahan Hutan Mati. Jarak
antara Pondok Saladah dan Hutan Mati tidak terlalu jauh, hanya setengah jam.
Namun sayang, ketika kami sampai di Hutan Mati, awan hitam datang di atas kami
dan berubah menjadi rintik hujan yang membasahi. Baiklah, kami akan kembali ke
Hutan Mati esok hari.
Pasukan berjas hujan warna-warni |
Apa yang terjadi keesokan harinya? Lanjutkan baca: Papandayan, Awal Sebuah Persahabatan (Part 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar