Minggu, 01 Februari 2015

Praperadilan atas Penetapan Status Tersangka, Bisakah?



Hari ini, digelar sidang praperadilan atas penetapan status tersangka Budi Gunawan oleh KPK. Sidang ini mengundang pro-kontra karena mungkinkah penetapan status tersangka dapat diajukan praperadilan, mengingat hal tersebut tidak diatur dalam KUHAP?
Sebelum masuk kelas “Praperadilan” oleh Bapak Arif Setiawan di PKPA, saya berpendapat bahwa BG tidak bisa mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan atas penetapannya sebagai tersangka. Sebab, hal tersebut tidak diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP yang berbunyi:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.      Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas penetapan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.      Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.       Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Juga pasal 77 KUHAP yang berbunyi:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.      Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.      Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.

Menurut penasehat hukum BG, mereka mengajukan gugatan praperadilan karena dalam menentukan status tersangka, KPK kurang memperhatikan tata cara yang telah diatur dalam KUHAP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK tidak mengirimkan surat penetapan tersangka kepada BG, namun dipublikasikan melalui media.
Siapakah tersangka? Dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Penasehat Hukum BG pula, mereka mempertanyakan bukti permulaan apa yang digunakan oleh KPK dalam menetapkan BG sebagai tersangka.
Indonesia memakai sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu bahwa sumber hukum yang utama adalah peraturan perundang-undangan tertulis. Sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, kepastian hukum dan HAM lebih terjamin. Pemerintah tidak bisa seenaknya menjebloskan warga negaranya ke penjara tanpa ada aturannya. Seorang warga negara juga tidak bisa dipersalahkan dengan aturan yang belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Namun kekurangannya, jika ada hal yang mendesak untuk segera dilakukan sementara belum ada aturan tertulisnya, kita tidak bisa berbuat banyak. Di sini, fungsi hakim untuk menafsirkan undang-undang lebih banyak berperan. Hakim juga boleh mempertimbangkan yurisprudensi, meskipun bukan sumber hukum wajib di negara ini.
Hakim tidak boleh menjadi corong undang-undang. Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili  dengan alasan tidak ada hukumnya. Hakim juga harus menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab, hakim telah bersumpah dalam kepala putusannya: “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, sebagai wakil Tuhan di bumi, hakim harus bisa mempertimbangkan ketiga aspek hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Di dalam sistem hukum yang positivistik, hakim harus berpikir bagaimana agar putusannya adil bagi terdakwa, juga bagi masyarakat, meskipun aspek kepastian hukum sedikit mengganggunya.
 Penetapan status tersangka pada seseorang, pada dasarnya telah mengubah hidup seseorang. Penyidik juga sering tidak cermat dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka berdasarkan pada bukti permulaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa HAM-nya telah terlanggar. Seseorang yang biasanya bisa hidup bebas melakukan berbagai aktivitas pekerjaan, kini harus mendekam di balik jeruji besi sel tahanan. Seperti halnya yang terjadi pada BG dan BW. BG yang sebelumnya dicalonkan menjadi Kapolri harus menanggung malu akibat status tersangkanya. Akibatnya, masyarakat semakin meragukannya untuk bisa memimpin Polri. Pada BW, penetapan status tersangka menyebabkannya harus mengundurkan diri dari pimpinan KPK.
Sebenarnya, bisa saja BG dan BW membiarkan kasus yang menjerat mereka sampai pada tahap penuntutan di persidangan. Jika memang penetapan status tersangkanya tidak sah karena penuntut umum tidak memiliki alat bukti yang cukup, yang menyebabkan dakwaan penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, hakim harus memutus bebas. Namun, hal ini akan memakan waktu yang cukup lama, paling tidak tiga bulan. Adapun jika cukup dengan menggugat penetapan status tersangkanya ke sidang praperadilan, hanya cukup dengan 1 kali sidang.
Sidang praperadilan atas penetapan status tersangka yang menyalahi KUHAP ini pernah terjadi di PN Sleman dengan nomor perkara Per.01/Pra.Pid/2001/PN Slmn yang menerima gugatan penggugat atas penetapan status tersangkanya sehingga padanya tidak jadi diberlakukan status tersangka. Kemudian, putusan sidang praperadilan pada PN Jakarta Pusat atas kasus bioremediasi Chevron. Hakim juga menerima gugatan dari penggugat. Dengan kedua yurisprudensi tersebut, hakim dapat mempertimbangkan gugatan atas penetapan status tersangka selanjutnya.
Jika BG dan penasihat hukumnya berani mengajukan gugatan praperadilan, BW pun demikian. Kedua kasus tersebut harus menjadi perhatian bagi semua aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. KUHAP juga harus segera direvisi agar HAM setiap warga negara lebih terjamin.

4 komentar:

  1. Keep writing, sis. Tulisan Cipuk jadi bikin aku pengin tahu lbh dalam masalah hukum. You are the real "SH", ya. Cool... Banyak istilah akademis yang sptnya sangat penulis kuasai, tapi buat aku yang awam ini istilah2 itu masih berputar2 di kepala. Menunggu tulisan2 Cipuk berikutnya :)

    BalasHapus
  2. Makasih Uti :*
    Semoga terus bersemangat membagi ilmu :)

    BalasHapus
  3. klo tersangka boleh praperadilan ga? kaya surya dharma ali
    soalnya ada yang bialng boleh, karena praperadilan jug merupakan bagian dari hak tersangka, yah istilahnya walau udah diputuskan tapi buat tinjau ulang siapa tau keputusannya keliru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baca tulisan ini dengan seksama Mas hehe

      Hapus