Hari ini,
digelar sidang praperadilan atas penetapan status tersangka Budi Gunawan oleh
KPK. Sidang ini mengundang pro-kontra karena mungkinkah penetapan status
tersangka dapat diajukan praperadilan, mengingat hal tersebut tidak diatur
dalam KUHAP?
Sebelum masuk
kelas “Praperadilan” oleh Bapak Arif Setiawan di PKPA, saya berpendapat bahwa
BG tidak bisa mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan atas penetapannya
sebagai tersangka. Sebab, hal tersebut tidak diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP
yang berbunyi:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan
negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas penetapan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi
oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan.
Juga pasal 77
KUHAP yang berbunyi:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa
dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
Ganti kerugian
atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan dan penuntutan.
Menurut
penasehat hukum BG, mereka mengajukan gugatan praperadilan karena dalam
menentukan status tersangka, KPK kurang memperhatikan tata cara yang telah
diatur dalam KUHAP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK tidak
mengirimkan surat penetapan tersangka kepada BG, namun dipublikasikan melalui
media.
Siapakah
tersangka? Dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Penasehat
Hukum BG pula, mereka mempertanyakan bukti permulaan apa yang digunakan oleh
KPK dalam menetapkan BG sebagai tersangka.
Indonesia
memakai sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu bahwa sumber hukum yang utama
adalah peraturan perundang-undangan tertulis. Sistem ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya, kepastian hukum dan HAM lebih terjamin. Pemerintah
tidak bisa seenaknya menjebloskan warga negaranya ke penjara tanpa ada
aturannya. Seorang warga negara juga tidak bisa dipersalahkan dengan aturan
yang belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelumnya. Namun kekurangannya, jika ada hal yang mendesak untuk segera
dilakukan sementara belum ada aturan tertulisnya, kita tidak bisa berbuat
banyak. Di sini, fungsi hakim untuk menafsirkan undang-undang lebih banyak
berperan. Hakim juga boleh mempertimbangkan yurisprudensi, meskipun bukan
sumber hukum wajib di negara ini.
Hakim tidak
boleh menjadi corong undang-undang. Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili dengan alasan tidak ada hukumnya. Hakim juga harus menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab, hakim telah bersumpah dalam kepala
putusannya: “Demi keadilan berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, sebagai wakil Tuhan di bumi, hakim harus
bisa mempertimbangkan ketiga aspek hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan. Di dalam sistem hukum yang positivistik, hakim harus berpikir
bagaimana agar putusannya adil bagi terdakwa, juga bagi masyarakat, meskipun
aspek kepastian hukum sedikit mengganggunya.
Penetapan status tersangka pada seseorang,
pada dasarnya telah mengubah hidup seseorang. Penyidik juga sering tidak cermat dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka berdasarkan pada bukti permulaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa
HAM-nya telah terlanggar. Seseorang yang biasanya bisa hidup bebas melakukan
berbagai aktivitas pekerjaan, kini harus mendekam di balik jeruji besi sel tahanan.
Seperti halnya yang terjadi pada BG dan BW. BG yang sebelumnya dicalonkan
menjadi Kapolri harus menanggung malu akibat status tersangkanya. Akibatnya,
masyarakat semakin meragukannya untuk bisa memimpin Polri. Pada BW, penetapan
status tersangka menyebabkannya harus mengundurkan diri dari pimpinan KPK.
Sebenarnya,
bisa saja BG dan BW membiarkan kasus yang menjerat mereka sampai pada tahap
penuntutan di persidangan. Jika memang penetapan status tersangkanya tidak sah
karena penuntut umum tidak memiliki alat bukti yang cukup, yang menyebabkan
dakwaan penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, hakim harus
memutus bebas. Namun, hal ini akan memakan waktu yang cukup lama, paling tidak
tiga bulan. Adapun jika cukup dengan menggugat penetapan status tersangkanya ke
sidang praperadilan, hanya cukup dengan 1 kali sidang.
Sidang
praperadilan atas penetapan status tersangka yang menyalahi KUHAP ini pernah
terjadi di PN Sleman dengan nomor perkara Per.01/Pra.Pid/2001/PN Slmn yang
menerima gugatan penggugat atas penetapan status tersangkanya sehingga padanya
tidak jadi diberlakukan status tersangka. Kemudian, putusan sidang praperadilan
pada PN Jakarta Pusat atas kasus bioremediasi Chevron. Hakim juga menerima
gugatan dari penggugat. Dengan kedua yurisprudensi tersebut, hakim dapat
mempertimbangkan gugatan atas penetapan status tersangka selanjutnya.
Jika BG dan
penasihat hukumnya berani mengajukan gugatan praperadilan, BW pun demikian.
Kedua kasus tersebut harus menjadi perhatian bagi semua aparat penegak hukum
untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. KUHAP
juga harus segera direvisi agar HAM setiap warga negara lebih terjamin.
Keep writing, sis. Tulisan Cipuk jadi bikin aku pengin tahu lbh dalam masalah hukum. You are the real "SH", ya. Cool... Banyak istilah akademis yang sptnya sangat penulis kuasai, tapi buat aku yang awam ini istilah2 itu masih berputar2 di kepala. Menunggu tulisan2 Cipuk berikutnya :)
BalasHapusMakasih Uti :*
BalasHapusSemoga terus bersemangat membagi ilmu :)
klo tersangka boleh praperadilan ga? kaya surya dharma ali
BalasHapussoalnya ada yang bialng boleh, karena praperadilan jug merupakan bagian dari hak tersangka, yah istilahnya walau udah diputuskan tapi buat tinjau ulang siapa tau keputusannya keliru
Baca tulisan ini dengan seksama Mas hehe
Hapus