Minggu lalu,
Hakim Sarpin Rizaldi telah mengetok palu tanda sidang praperadilan Budi Gunawan
telah diputus. Putusannya adalah mengabulkan gugatan Budi Gunawan tentang diperkenannya
sidang praperadilan untuk memutus tentang sah/tidaknya penetapan status
tersangka. Hakim Sarpin juga memutus bahwa penetapan status tersangka oleh KPK kepada
BG tidak sah.
Putusan
tersebut menjadi perbincangan hangat di kalangan siapapun yang pernah belajar
Ilmu Hukum. Seperti yang sudah saya tuliskan di artikel sebelumnya (Baca: PraperadilanAtas Status Tersangka, Bolehkah?), sebenarnya KUHAP tidak mengatur tugas sidang
praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan status tersangka. Lalu,
bagaimana jika ada pihak yang meminta hakim untuk mengujinya? Maka, mengikuti
hukum progresif, hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan
alasan tidak ada hukumnya. Hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di
masyarakat.
Ya, saya
sepakat jika Hakim Sarpin tidak boleh menolak mengadili gugatan praperadilan Budi
Gunawan melawan KPK. Namun, saya juga mendukung penetapan tersangka kepada BG
oleh KPK telah sah menurut hukum. Saya memprediksi putusannya adalah menyatakan
bahwa praperadilan tersebut dapat memeriksa sah atau tidaknya penetapan status
tersangka. Sementara KPK telah sah dalam menetapkan status tersangka kepada BG.
Saya juga pernah menulis status di Path, yang perlu kita kawal dari sidang
praperadilan BG ini bukan soal keanehan praperadilan yang memeriksa sah atau
tidaknya status tersangka, tetapi hakim yang memeriksa perkara ini, yaitu
Sarpin Rizaldi, yang pernah dilaporkan ke KY sebanyak 8x karena suap dan
melanggar kode etik hakim.
Dan benarlah,
putusan yang dibuat oleh hakim Sarpin seorang diri tersebut sangat mengejutkan.
Memang, Hakim Sarpin tidak menolak untuk mengadili perkara gugatan praperadilan
tersebut , tetapi bagaimana bisa, penetapan tersangka BG oleh KPK yang sudah
berdasarkan dua alat bukti dinyatakan tidak sah. Tentu saja, hal ini menimbulkan
masalah baru, yaitu KPK tidak mungkin mengeluarkan SP3 (Surat Perintah
Penghentian Penyidikan) sebab dalam penyidikan perkara tindak pidana korusi
oleh KPK tidak ada penghentian penyidikan. Hal ini memang diatur secara khusus
demikian, sebab korupsi merupakan kejahatan luar biasa, maka harus diberantas
dengan cara yang luar biasa pula. Solusi bagi KPK adalah mengajukan PK ke MA,
seperti yang pernah terjadi dalam kasus praperadilan bioremediasi Chevron.
Yang menarik untuk
dikritisi dalam kasus ini adalah ‘keunikan’ Hakim Sarpin yang ditunjuk menjadi
hakim pemeriksa perkara ini. Hakim Sarpin yang pernah dilaporkan ke KY karena
menerima suap, justru ditunjuk untuk mengadili praperadilan penetapan tersangka
karena kasus korupsi. Bukan berarti suudzon, tetapi dalam dunia hukum, hal-hal
yang membuat resah masyarakat sebaiknya dihindari. Penunjukan hakim saja tidak
bisa sembarangan, contohnya hakim harus menolak mengadili jika pihak-pihak yang
berperkara memiliki hubungan persaudaraan atau kekerabatan dengannya. Demikian
juga dalam mengadili kasus korupsi. Penunjukan hakim-hakim yang mengadili kasus
korusi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus bersih dari track record buruk korupsi. Apalagi
dalam hal ini, penunjukan hakim tunggal untuk memeriksa praperadilan penetapan
tersangka kasus korupsi. Maka, seharusnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan memilih hakim yang mempunyai track
record baik. Pengalaman tidak bisa berbohong. Ia bisa menentukan arah
berpikir manusia.
Selain ‘keunikan’
di atas yang sudah saya prediksi sebelumnya, terdapat hal-hal lain yang tidak
saya sangka akan terjadi, yaitu persidangannya sudah membahas pokok perkara. Biasanya,
sidang praperadilan hanya berlangsung satu atau dua hari karena hanya memeriksa
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian
penuntutan, dan permintaan ganti rugi atau rehabilitasi. Hal-hal tersebut tentu
belum membahas tentang pokok perkara, tetapi hanya hal-hal yang menyebabkan
seseorang terampas HAM-nya demi tegaknya hukum dan keadilan. Sidang
Praperadilan mirip sidang kasus perdata yang hanya mencari kebenaran formil.
Adapun untuk membahas pokok perkara, diperiksa lebih lanjut dengan mencari
kebenaran materiil. Hakim yang memeriksa pun lebih dari dua orang. Hal ini
dimungkinkan karena dalam memutuskan suatu kasus, diperlukan musyawarah hakim
yang berjumlah ganjil. Jika hanya satu orang, sangat rawan terjadi
penyelewengan karena hakim hanyalah seorang manusia yang bisa alpa.
Namun, seperti
yang kita lihat dalam kasus praperadilan BG, Hakim Sarpin seorang diri sudah
menyentuh pokok perkara, dengan dihadirkannya saksi Hasto Kristyanto yang
ditanyai soal Abraham Samad. Apa hubungannya Hasto dengan penetapan tersangka
BG? Apakah pihak BG merasa bahwa Abraham Samad, pimpinan KPK, mempunyai dendam
pribadi dengan BG sehingga BG dijadikan tersangka? Seharusnya, pihak BG cukup
menghadirkan alat bukti yang berhubungan dengan penetapan status tersangka,
atau ahli dari akademisi Hukum Pidana. Jika ternyata Hasto yang tidak ada
hubungannya dengan persidangan ini dihadirkan, seharusnya Hakim Sarpin bisa
menilai sendiri siapa saja saksi yang tidak relevan. Ya, inilah kekurangannya
jika hakim yang memeriksa hanya seorang diri. Dia tidak bisa mendapatkan
masukan dari hakim lain yang juga ikut memeriksa perkara.
Itulah
rasionya hakim praperadilan adalah hakim tunggal. Namanya juga “pra”, yang berarti sebelum. Sidang praperadilan tidak boleh menyentuh pokok perkara.
Jika sudah menyentuh pokok perkara, pembahasannya bisa panjang. Dalam
memutuskan suatu perkara, yang paling penting adalah dua alat bukti dan satu
keyakinan hakim. Satu keyakinan hakim ini tentu saja didapatkan dari proses
musyawarah hakim. Jika ada seorang hakim yang salah, dua hakim yang lainnya
bisa membenarkan.
Jangan
bandingkan persidangan di Indonesia dengan Amerika yang hanya menggunakan hakim
tunggal dalam memeriksa perkara. Sistem hukum kedua negara tersebut jelas
berbeda. Indonesia menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu sistem
hukum yang mendasarkan pada peraturan hukum yang tertulis, sedangkan Amerika
Serikat menggunakan sistem hukum Anglo Saxon yang mendasarkan pada kebiasaan
dan yurisprudensi.
Meskipun tidak
wajib, hakim di Indonesia boleh mengikuti yurisprudensi. Maka, hal inilah yang
dikhawatirkan banyak pihak akan diikuti oleh hakim-hakim selanjutnya jika ada tersangka
yang menggugat penetapan status tersangkanya padahal tidak diatur dalam KUHAP. Dan
benar saja, ada salah satu tersangka kasus korupsi dana haji, yaitu Surya
Dharma Ali, menggugat penetapan status tersangkanya untuk disidangkan dalam
praperadilan. Padahal, SDA sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak pertengahan
tahun lalu. Bagaimana jalannya sidang praperadilan SDA nanti? Apakah akan sama
dengan sidang peradilan BG yang ‘nyentrik’? Semoga virus “sarpinisme” tidak
merajalela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar