Memasuki Bulan
April, wanita Indonesia siap untuk menyambut Hari Kartini. Banyak yang memesan
kebaya untuk mempercantik diri. Hari itu juga lekat dengan kata “emansipasi”. Namun bagi saya, Hari
Kartini menimbulkan kegundahan tersendiri.
Sudah hampir
setahun saya bekerja di Jakarta. Kesibukan di kementerian ini membuat
orang-orang terdekat saya bertanya dengan pertanyaan mainstream, you know lah itu
apa. Banyak yang menyarankan agar jangan terlalu larut dalam pekerjaan sehingga
melupakan momen penting dalam hidup: pernikahan.
Iya, tentu saja saya tetap memikirkannya.
dreamatico.com |
Dalam masa
penantian ini, saya teringat pada perdebatan lama yang tidak kunjung ada
habisnya, yang membuat para jomblowati ikut gelisah memikirkan masa depannya.
Topik debat tersebut yaitu tentang ibu rumah tangga (IRT) vs ibu bekerja (IB).
Masing-masing pihak mempunyai pendapat yang tidak bisa dikatakan salah. IRT
adalah profesi yang paling mulia dari segala profesi apapun. Ibu akan selalu
dekat dengan anak-anaknya, melihat perkembangan mereka, dan mengontrol
pergaulan mereka agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Plus, fakta bahwa teman-teman saya yang
sejak menikah memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga semakin membuat masa
penantian saya berubah menjadi sedikit goyah: “mungkinkah masih ada ikhwan
shalih yang mau menikah dengan PNS yang sibuk, sering keluar kota, mengurusi
seabrek urusan lingkungan hidup dan kehutanan Indonesia?”
Perdebatan itu
masih sering saya temukan di media sosial. Pernah suatu ketika di sebuah grup
Whatsapp yang saya ikuti, ada seorang IRT yang membanggakan aktivitas IRT.
Padahal, dalam grup tersebut ada seorang PNS yang bisa membagi waktunya antara
pekerjaan dan keluarga. Akhirnya, Ibu PNS tersebut keluar grup. Saya juga
pernah didebat di BBM ketika saya menulis status tentang kekaguman saya pada IB
yang setiap hari memompa ASI-nya untuk persedian si kecil di rumah ketika
dirinya pergi bekerja. Orang tersebut berkata, “Yang paling baik bagi seorang
ibu itu ya ngga usah bekerja. Inget dulu waktu masih nunggu jodoh, mintanya
sampe nangis-nangis sama Allah, pas dikasih anugerah anak kok ditinggal kerja?!” Moms, please! Stop that annoying endless
debate! Why don’t you just respect each other?
Adapun dalam
grup lain yang beranggotakan akhwat-akhwat kece dari UGM 2009 (:p), alhamdulillah,
sejauh ini grup tersebut tidak mempermasalahkan masa depan kita nanti akan
menjadi working mom atau staying-at-home mom. Kami justru saling
memberi tips jika pada akhirnya nanti kita akan menjadi ibu bekerja – hal yang
sangat berbeda dengan grup yang saya sebutkan sebelumnya. Pesan dari seorang
teman dalam grup tersebut yang saat ini menjadi ibu rumah tangga setelah
menikah, yaitu apapun pilihan yang diambil, hal tersebut adalah pilihan yang
sesuai dengan kemampuan kita. Jika memang mampu bekerja sambil mengurus
keluarga, silakan lakukan. Jika tidak, menjadi ibu rumah tangga bukanlah
pilihan yang salah.
Sejak lolosnya
saya di tes CPNS 2014, saya langsung berpikir, “Oke, aku akan menjadi ibu bekerja
di Jakarta. Bismillah.” Keputusan saya sudah bulat dan tidak akan saya ubah. Namun,
dengan banyaknya berita anak-anak yang terjerumus ke dalam pergaulan yang
salah, pelecehan seksual, atau mengidap penyakit-penyakit tertentu yang
membutuhkan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya, niat saya sedikit
goyah. Should I resign?
Di luar sana
banyak PNS wanita yang memutuskan untuk keluar dari profesi PNS karena ingin
fokus mengurus keluarga. Ada sedikit kegundahan dalam hati saya antara ingin fokus
berumah tangga atau mewujudkan cita-cita orang tua. Mereka ingin anak
terakhinya menjadi PNS karena kedua anak sebelumnya gagal menjadi PNS. Saya pun
mencoba mengikuti tes CPNS 2014 dan resign
dari LBH Yogyakarta. Setelah tes, saya hanya bisa pasrahkan semua pada
Allah. Sungguh, saya tidak berharap lebih. Doa yang saya panjatkan terus saat
itu hanyalah, “Ya Allah, jika ini memang
rezekiku, maka berikanlah padaku.”. Dan ternyata, memang benar ini adalah
ladang rezeki dan pahala saya.
Kementerian atau
lembaga negara lain cukup ketat dalam penerimaan tes CPNS dan pengaturan
kepegawaiannya. Mereka mengancam akan memberikan penalti bagi CPNS atau PNS
yang mengundurkan diri. Sejauh yang saya tahu, KLHK tidak memberikan ancaman
penalti, jadi aman kalo mau resign,
hehe. Namun bagi saya, lolosnya saya menjadi CPNS adalah amanah yang besar dari
Allah dan Indonesia. Kementerian ini mengurusi banyak urusan umat. Allah tidak
akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Insya Allah,
saya bisa mengemban urusan ini. Sementara itu, Negara telah menyediakan
anggaran sedemikian besar untuk belanja pegawai. Jika salah seorang pegawai
mengundurkan diri, anggaran yang seharusnya dibelanjakan untuk menggaji PNS tersebut
akan menjadi sia-sia dan rawan untuk diselewengkan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. Maka, manfaatkanlah kesempatan ini. Baik, saya tidak perlu resign.
Bagaimana Islam memandang ibu yang bekerja? Lanjutkan baca: Saya Bekerja, Anda Berumah Tangga (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar