Sabtu, 12 Maret 2016

Bengkulu, Meniti Jejak Masa Lalu



Setiap orang pasti memiliki masa lalu, baik masa lalu yang indah maupun suram. Beruntung jika Anda memiliki masa lalu yang indah. Sebaliknya, jika masa lalu Anda suram, belajarlah darinya dan temukan masa depan yang cemerlang. Itu!

NO.. Saya tidak sedang menjadi motivator. Saya hanya ingin membagi cerita tentang ‘perjalanan sisipan’ (karena tujuan utamanya bukan untuk itu) saya ke Bengkulu yang penuh dengan tinggalan masa lalu.

Mendengar kata “Bengkulu”, pasti pikiran kita langsung terbang menuju bunga Rafflesia arnoldii. Memang benar. Bunga tersebut merupakan bunga raksasa langka yang hanya ada di Indonesia dan ditemukan secara tidak sengaja oleh Dr. Joseph Arnold dalam sebuah ekspedisi warga Inggris pada tahun 1818 di hutan tropis Bengkulu. Adapun pemimpin ekspedisi tersebut adalah Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, Gubernur-Letnan Hindia Belanda. Maka, bunga padma raksasa hasil temuan mereka diberi nama latin Rafflesia arnoldii. Bunga tersebut adalah salah satu bukti dari sekian jejak Inggris di Bengkulu. Tak hanya Inggris, Belanda dan Jepang pun meninggalkan jejak di Bengkulu. Beruntung, minggu lalu saya menyempatkan diri mengunjungi jejak-jejak tersebut.


Saya berangkat ke Bengkulu untuk suatu tugas, yaitu verifikasi ke perusahaan tambang batubara dan kelapa sawit yang mendapatkan hasil Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) hitam. Kami terbagi dalam dua tim. Tim pertama melakukan verifikasi pada tanggal 1 – 4 Maret, sedangkan tim kedua termasuk saya, melakukan verifikasi pada tanggal 2 – 4 Maret 2016. Kami turun di Bandara Fatmawati Bengkulu pukul 09.00 WIB. Rencana awalnya, setelah brunch kami langsung menuju BLH Provinsi Bengkulu untuk koordinasi. Ternyata, tim pertama sudah melakukannya dan kami bisa ke BLH Provinsi Bengkulu esok hari sebelum berangkat ke lapangan. Maka, hari pertama kami bebas tugas. Hari itu kami manfaatkan untuk jalan-jalan.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah rumah Ibu Negara pertama, Ibu Fatmawati Soekarno di Jalan Fatmawati No. 10. Letak rumah tersebut satu jalur dengan hotel tempat kami menginap, Hotel Amaris. Rumah Ibu Fatmawati sangat khas Bengkulu, terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung ala rumah Sumatera pada umumnya. Rumah tersebut berukuran minimalis, terdiri dari teras, ruang tamu, kamar tidur, ruang menjahit, gudang, dan toilet.

Rumah Fatmawati
Begitu masuk ruang tamu, kami disuguhkan foto Soekarno dan Fatmawati yang begitu menawan. Ruang tamu berisi kursi tamu, patung replika Fatmawati, foto-foto kenangan Soekarno dan Fatmawati, dan kliping berita tentang mereka.

Ruang depan
Ruang tidur cukup sederhana, berisi ranjang, meja rias, dan lemari.


Tempat yang cukup menarik perhatian saya adalah ruang menjahit. Di sinilah Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih dijahit pada bulan Oktober 1944 ketika Fatmawati sedang mengandung Guntur Soekarnoputra. Bendera tersebut pertama kali dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 di rumah kediaman Soekarno, Jalan Pegangsan Timur No. 56 Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi No. 1). Kini, bendera tersebut disimpan di Istana Negara.


Mesin jahit bersejarah

Tidak ada biaya masuk ke Rumah Fatmawati ini. Namun, di dekat buku tamu disediakan amplop untuk biaya pemeliharaan rumah yang dapat kita isi seikhlasnya.

Rumah kediaman Bung Karno selama pengasingan di Bengkulu

Setelah itu, kami bertolak ke Rumah Kediaman Bung Karno pada waktu pengasingan di Bengkulu tahun 1938 – 1942 yang tak jauh jauh dari Rumah Fatmawati. Halamannya luas, bentuk rumahnya simpel. Di dalamnya terdiri dari ruang tamu, ruang rapat, ruang menyimpan baju dan buku, serta kamar tidur. Pada teras belakang terdapat ruang makan dan lemari. Di halaman belakang terdapat deretan gudang dan ruang pembantu, serta terdapat sebuah sumur. Konon katanya, jika kita mencuci muka dengan air sumur tersebut, muka kita akan awet muda.

Gudang, ruang pembantu, dan sumur
Saya pun ditantang untuk mencobanya, tetapi saya menolak. Ah, muka saya kan sudah awet muda wkwkwk. Hehe, bukan. Alasan yang lebih logis adalah karena saat itu pukul 13.00 WIB dan matahari sedang bersinar sangat terik. Saya merasa kepanasan dan berkeringat. Jika saya mencuci muka pada saat itu juga, muka saya akan menjadi merah-merah. Nanti tidak jadi awet muda donk, hihi.

Berbicara tentang rumah pengasingan Bung Karno ini, sebelum didiami oleh Bung Karno, rumah ini adalah milik seorang pedagang dari China yang disewa oleh Belanda untuk mengasingkan Bung Karno di Bengkulu. Bengkulu dipilih untuk mengasingkan Bung Karno karena pada saat itu kota ini terpencil dan sulit dijangkau. Bung Karno sudah menikah dengan Inggit Garnasih saat menempati rumah ini. Hingga tahun 1943, Bung Karno bertemu dengan Fatmawati, putri seorang tokoh Muhammadiyah Bengkulu. Bung Karno jatuh hati padanya. Inggit Garnasih cemburu dan tidak mau dipoligami. Maka, mereka bercerai. Setelah itu, Bung Karno menikahi Fatmawati. Fatmawati lah istri yang menemaninya berjuang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Biaya masuk ke rumah Bung Karno selama pengasingan ini cukup murah, yaitu Rp 3.000,00.
Daftar harga tiket masuk
Tempat tidur Soekarno dan Inggit Garnasih

Kursi tamu

Berfoto bersama dua kasie saya
Kami melanjutkan perjalanan ke Benteng Marlborough (Fort Marlborough) pada sore hari. Ini adalah benteng yang didirikan oleh East India Company (EIC, kongsi dagang milik Inggris seperti VOC milik Belanda) pada tahun 1713 – 1719 di bawah pimpinan Gubernur Joseph Callet sebagai benteng pertahanan Inggris. Benteng ini merupakan salah satu benteng terkuat di Asia. Bangunannya yang kokoh masih terawat dan terjaga.

Bagian luar benteng
Gerbang dalam benteng

One of the strongest forts in Asia
Benteng ini terdiri dari ruang administrasi perdagangan, kantor utama EIC, gudang meriam, dan yang paling menyeramkan adalah penjara dan ruang interogasi Soekano. Dari benteng ini, kita bisa melihat Pantai Tapak Paderi yang menemani Samudera Hindia dengan keelokan teluk kecilnya. Banyak pula meriam tua yang dulu menjadi senjata andalan tentara Inggris.

Ruang interogasi Soekarno
View dari atas benteng
Bagian belakang benteng
Pantai Tapak Paderi

Bnker Jepang
Selain Benteng Marlborough, EIC juga membangun Benteng York (Fort York) di Bengkulu dan Benteng Anna (Fort Anne) di Mukomuko. Sayang, saya tidak sempat ke sana. Namun, saya menemukan bangunan bersejarah lain yang didirikan oleh bangsa lain, yaitu Bangsa Jepang, berupa bunker Jepang. Cukup berjalan kaki saja menuju bunker ini karena letaknya persis di seberang Benteng Marlborough. Bunker ini dibangun oleh tentara Jepang saat kekuasaan Indonesia jatuh ke tangan Jepang tahun 1942 hingga 1945.


Meskipun hanya sedikit tempat bersejarah yang bisa saya kunjungi di Bengkulu, perjalanan saya waktu itu cukup menunjukkan bukti untuk menambah pengetahuan bahwa Inggris, Belanda, dan Jepang pernah eksis di tanah Bengkulu. Dari mereka lah, nama “Bencoolen” terdengar. Dari mereka pula, bunga padma raksasa tersebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar