Banyak kita jumpai contoh yang tidak baik tentang ibu bekerja di luar rumah,
seperti: berpakaian nyentrik dan bendandan menor untuk menarik perhatian, menggoda
laki-laki lain, atau berduaan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya.
Kasus-kasus perselingkuhan dengan rekan kerja pun sering kita dengar. Untuk
itu, Allah telah memerintahkan kita untuk menutup aurat dan menyembunyikan
perhiasan agar kita tidak mudah diganggu[1]
karena Allah telah menjaga kita[2].
Jangan sampai kita bertingkah seperti kaum jahiliyah[3].
Yang paling penting dari keterlibatan kita di ranah publik adalah adanya urusan
umat yang menuntut peran aktif kita.
pinterest.com |
Seorang teman pun pernah mendebat saya
tentang keinginan saya menjadi Ibu bekerja. Katanya, saya bisa saja berkata
seperti ini karena saya belum mengalami. Bagaimana tips dan trik menjadi Ibu
Bekerja yang luar biasa? Ada ilmunya sendiri. Daripada kembali berdebat dan
mengacaukan sistem pertahanan otak saya, sambutan KH. Ghazali Mukri dalam buku
“Pernak-Pernik Rumah Tangga Islami” karangan Ustadz Cahyadi Takariawan sangat
menarik untuk disimak:
“Keluarga adalah institusi
pertama bagi upaya pendidikan politik bagi anak-anak. Artinya, pada konteks
perkembangan peradaban modern pun, peran domestik bukanlah peran yang akan
disepelekan. Mengurus rumah tangga adalah dakwah. Hanya saja, pilihan peran ini
haruslah dengan penuh kepahaman dan kesadaran, bukan karena adanya ‘eksploitasi
dalil’ untuk sesuatu yang diatasnamakan Islam. Ketika seorang muslimah memilih
peran ini sebagai pilihan sadar, kendati bergelar master atau doktor, tak
seorang pun berhak melecehkannya.
Demikian juga ketika
dakwah menuntut optimalisasi peran mereka pada sektor publik, lalu seorang
istri muslimah berkiprah di luar rumah – tanpa meninggalkan peran utama mereka
di rumah – sebagai pilihan sadar, tak layak pula dilecehkan kepergiannya.
Adalah amat menarik jawaban surat Aisyah ra. atas surat yang dikirim Ummu
Salamah ra., “Tak ada celanya aku tinggal
di rumah, tetapi yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikan manusia.” Akan
menjadi cela memang, apabila keluarnya mereka dari rumah semata-mata dalam konteks
aktualisasi potensi diri, atau dengan bahasa klise: emansipasi, bukan dalam konteks kemaslahatan umat.”
Note: jangan membela emansipasi jika tidak
tahu ilmunya. Kita berjuang di ranah publik bukan untuk meminta
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi karena ranah publik
menginginkan kehadiran perempuan. Kembali pada tafsir QS Al Ahzab ayat 33 bahwa
wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suaminya, maka carilah
suami yang mengizinkan istrinya bekerja, hehehe..
Jadi, lebih indah jika saling
menghargai satu sama lain, bukan? Jika saya memutuskan untuk menjadi ibu
bekerja, semoga saya tidak menjadi istri yang nusyuz seperti kekhawatiran dalam
QS An Nisa ayat 34. Ingat selalu hadits berikut ini:
“Dan wanita adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagai refreshing untuk penutup, saya tertarik dengan
percakapan Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris perempuan pertama, ketika
dilamar oleh Dennis Thatcher, “I will never be one of those women who stays
silent and pretty on her husband or separated alone in the kitchen doing the
washing up for that matter. One’s life must matter, Denis. More than cooking
and cleaning and the children. One’s life must mean more than that. I cannot
die washing up the tea cup.” Dan jawaban Denis adalah “that’s why I want
to marry you.”[4] Ouch…
Boleh nih dipraktekin kalo dilamar besok :p
Margaret Thatcher, the first female prime minister of UK. - wikipedia.com |
[1]
QS Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31
[2]
QS An Nisa ayat 34
[3]
QS Al Ahzab ayat 33
[4]
Percakapan dalam film “The Iron Lady”. Entah benar atau tidak percakapan ini dalam dunia
nyata Margaret Thatcher, namun dari sumber yang saya baca, Margaret dan
suaminya saling mencintai. Bahkan ketika Denis meninggal, Margaret sering
berhalusinasi suaminya masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar