myhealthybee.com |
Dalam tulisan
ini saya tidak akan menambah bumbu penyedap debat ibu rumah tangga vs ibu
bekerja dengan menunjukkan keunggulan-keunggulan menjadi ibu bekerja, apalagi
ingin memperjuangkan emansipasi seperti yang terus didengungkan oleh para
feminis. Saya hanya ingin menegaskan alasan saya harus menjadi ibu bekerja. Untuk
menambah penghasilan keluargakah? Ya, mungkin benar, namun tolonglah calon
suamiku – entah di mana dirimu – jangan anggap aku sebagai another family’s ATM. ATM keluarga tetaplah suami. Kewajiban untuk
mencari nafkah terletak pada suami. Dalam QS An Nisa’ ayat 34, Allah berfirman:
“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi
perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan
nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah mereka
yang taat (kepada Allah) dan memelihara diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kalian
khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Lalu jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Mahatinggi, Mahabesar.”
Jika penghasilan saya untuk menambah pundi-pundi tabungan keluarga,
izinkanlah hal tersebut atas inisiatif saya sendiri. Karena suami berkewajiban
menafkahi keluarga, uang suami juga merupakan uang istri. Uang istri adalah
uang istri hehehe :p.
Tidak perlu galau apalagi sombong, sisters. Ada sebuah kisah
yang dapat kita jadikan teladan, yaitu kisah seorang wanita bernama Zainab Ats Tsaqafiyyah, tentang
hukumnya seorang ibu bekerja. Zainab adalah seorang pengusaha sukses, bahkan
penghasilannya melebihi penghasilan suaminya, Abdullah ibn Mas’ud. Zainab galau karena dengan ikut menafkahi
suami dan anak, sedekahnya kepada orang lain berkurang. Zainab berkata pada
suaminya, “Sesungguhnya engkau dan anak kita telah menghalangiku untuk
bersedekah di jalan Allah. Tolong tanyakan pada Rasulullah, jika yang kulakukan
ini termasuk kebaikan, akan aku lanjutkan. Jika sebaliknya, aku akan berhenti
mengerjakannya.” Suaminya pun meminta agar Zainab sendiri yang bertanya
kepada Rasulullah. Rasulullah menjawab, “Nafkahilah mereka (anak dan suami),
sesungguhnya bagimu pahala yang engkau infakkan untuk mereka.”
Dalam sumber lain yang saya baca, Zainab berkata pada suaminya, “Engkau
adalah lelaki sederhana yang tidak memiliki banyak harta, sedangkan Rasulullah
memerintahkan kepada kaum wanita untuk bersedekah.” Zainab bertanya kepada
Rasulullah, kemudian jawaban Rasulullah adalah, “Jika sedekah kepada suami
atau anak yatim yang dipeliharanya, mereka mendapatkan dua pahala: pahala
kekerabatan dan pahala sedekah.”[1]
Dari kisah wanita teladan Zainab Ats Tsaqafiyyah tersebut, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa sejak zaman Nabi, perintah menafkahi keluarga ditujukan
pada suami. Apabila istri ikut menafkahi, perbuatan tersebut akan dihitung
sebagai pahala. Namun sekali lagi, istri bukan ATM utama keluarga, hehe.
Alasan lain saya ingin tetap melanjutkan profesi ini adalah karena
urusan publik. Seiring banyak hal yang bisa dilakukan oleh wanita untuk
berkiprah di ranah publik, banyak pula pro-kontra yang timbul. Namun, ingatlah
ketika seorang wanita sedang hamil, tentu ingin diperiksa oleh dokter kandungan
wanita. Ketika seorang murid membutuhkan ibu kedua di sekolahnya, tentu ingin diajar
oleh Ibu Guru. Ketika seorang wanita ingin mengadukan masalah pribadinya, tentu
ingin diselesaikan oleh konselor wanita, psikolog wanita, dan advokat wanita. Lebih
jauh, Undang-Undang telah mengamanahkan keterwakilan perempuan di parlemen dan
kepengurusan di partai politik sekurang-kurangnya 30%. Apakah wanita-wanita
bekerja tersebut tidak mempunyai keluarga? Tentu saja punya.
Di kantor saya, saya perhatikan ibu-ibu lebih cermat dalam hal
administrasi. Bapak-bapak lebih jago dalam hal teknis, namun sering kurang
teliti. Maka, peran ibu-ibu dibutuhkan untuk mengkoreksinya, mengingat
kementerian ini memegang amanah besar untuk mengelola uang rakyat. Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) di direktorat saya adalah seorang ibu yang teliti dan
tegas, bahkan berani menegur bapak-bapak yang laporan keuangannya kacau. Beliau
selalu mengingatkan bahwa kesalahan sekecil apapun dalam laporan keuangan dapat
diendus oleh indra penciuman BPK.
Dalil yang sering dipakai oleh para
IRT adalah QS Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
(bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah
shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya.”
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini
menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan, atau
kecuali dengan izin suaminya.[2]
Saya kemudian teringat pada kisah
seorang sahabat Rasulullah SAW [3]
yang akan berperang. Dia berpesan pada istrinya untuk tidak keluar rumah selama
berperang, apapun yang terjadi. Suatu ketika, seorang utusan memberi tahu
wanita tersebut bahwa ibunya sakit keras. Wanita tersebut menyampaikan pesan
pada sang utusan bahwa dirinya tidak dapat menjenguk ibunya karena dilarang
oleh suaminya untuk keluar rumah. Beberapa hari kemudian, sang utusan kembali
lagi dengan wajah sedih, memberi tahu bahwa ibunya telah meninggal dunia. Sang
wanita pun sedih. Mendengar kegalauan sang wanita, Rasulullah berkata bahwa
sang ibu telah berada di surga karena wanita tersebut menjaga amanah suaminya
untuk tetap berada di rumah selama dia berperang.
On the contrary,
izinkanlah saya untuk menerjemahkannya lebih luas, semoga tidak bertetangan
dengan ajaran Islam. Dalam potongan QS An Nisa’ ayat 34 seperti yang telah saya
sebutkan di atas: “Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan memelihara
diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)”, di manapun istri berada, di rumah ataupun di luar rumah, tetap bawa
nama baik dan kehormatan suami. Godaan di luar rumah memang jauh lebih banyak.
Kita akan berinteraksi dengan berbagai macam karakteristik manusia dan di
situlah tantangan yang harus kita hadapi.
Bagaimana dengan emansipasi? Lanjutkan baca: Saya Bekerja, Anda Berumah Tangga (3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar