Pemberantasan Mafia Hukum[1]
Oleh Cipuk Wulan Adhasari[2]
Disampaikan pada diskusi Muslimah HTI, Sabtu, 5 Februari 2011 di Maskam UGM
Definisi Mafia Hukum, Korupsi, dan Money Laundering (Pencucian Uang)
Menurut Wakil Jaksa Agung RI, Darmono, mafia hukum adalah semua tindakan oleh orang perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Jadi, mafia hukum tidak hanya bergerak untuk penegak hukum saja, tetapi juga pejabat publik, pegawai administrasi negara yang bertugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Korupsi adalah tindakan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugian keuangan negara atau perekonomian negara.[3] Korupsi bisa berupa suap-menyuap, gratifikasi (pemberian imbalan), dan penggelapan.
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.[4] Jadi, pencucian uang ini menghalalkan uang yang haram.
Sistem Hukum untuk Memberantas Mafia Hukum
Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), Indonesia adalah negara hukum. Artinya, negara Indonesia tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat), tetapi berdasarkan hukum (rechtstaat). Negara hukum menjadikan hukum sebagai panglima, segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan terciptanya pemerintah yang bersih dan berwibawa. Negara hukum terdiri dari dua macam, yaitu Rechtstaat dan Rule of Law. Rechtstaat berkembang di negara Eropa Kontinental, sedangkan Rule of Law berkembang di negara Anglo Saxon (Amerika). Ciri-ciri Rechtstaat adalah:
1. Constitution Based on Human Right, Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Separation of Power, Pembagian Kekuasaan
3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Adapun ciri-ciri dari Rule of Law adalah:
1. Supremacy of Law, teori kedaulatan hukum, yang mempunyai kekuasaan tertinggi adalah hukum
2. Equality Before the Law, persamaan di hadapan hukum
3. Due Process of Law, segala tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.[5]
Menurut Lawrence Friedman, sistem hukum dibedakan menjadi tiga, yaitu substansi hukum, budaya hukum, dan struktur hukum. Substansi hukum (idea) dan penerapannya (realita) ditentukan oleh budaya hukum. Adapun struktur hukum adalah organisasi pembentuk peraturan hukum dan penegaknya. Secara subtansi hukum, untuk memberantas mafia hukum, Indonesia telah mempunyai UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kemudian, dikeluarkan lagi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini disempurnakan pada tahun 2001 dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang semacam ini baru dibuat setelah reformasi karena masyarakat menginginkan reformasi secara menyeluruh di berbagai bidang untuk memberantas KKN. Hal ini sangat susah dilakukan ketika pemerintahan Presiden Soeharto.
Kemudian dari struktur hukum, Indonesia telah memiliki Kepolisian dan Kejaksaan. Polisi bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jaksa bertugas untuk melakukan penuntutan. Namun, kedua institusi penegak hukum ini dirasa belum melaksanakan tugasnya dengan baik untuk memberantas korupsi. Maka, dibentuklah KPK, lembaga yang independen dan ad hoc yang khusus menangani kasus korupsi. Kemudian, ada juga Pengadilan Tipikor di 8 kota besar di Indonesia. Presiden SBY juga telah membentuk Satgas Pemberantasan Hukum yang bertugas selama 2 tahun. Namun, Indonesia masih lemah dari segi budaya hukum. Indonesia masih bertipe paternalistik (dalam bahasa Jawa, ewuh-pakewuh). Selain itu, masyarakat Indonesia juga lemah dari segi iman.
Fakta Mafia Hukum di Indonesia
Sistem peradilan di Indonesia telah banyak dimasuki oleh mafia. Dalam menjalankan aksinya, mafia ini sangat lihai. Mereka bisa mengubah Berita Acara pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan, mengubah surat dakwaan Penuntut Umum yang akan disidangkan, melakukan negosiasi antara penasihat hukum terdakwa, penuntut umum, penyidik, dan hakim, agar terdakwa divonis bebas. Jika si mafia hukum divonis bersalah, dia masih bisa bergerak, yaitu bisa menyuap petugas LP agar membebaskannya atau memperbagus penjaranya.
Seperti dalam kasus Gayus Tambunan ketika disidang di PN Tangerang, Maret 2010. Dia menyuap ketua tim jaksa peneliti kasusnya, Cirus Sinaga. Kemudian, Gayus juga menyuap hakim Muhtadi Asnun, dengan imbalan mobil Honda Jazz. Mereka merekayasa perkara Gayus agar divonis bebas. Sebenarnya, Gayus melakukan korupsi dan pencucian uang sehingga masuk dalam pidana khusus. Namun, Jaksa Cirus mendakwanya dengan pasal penggelapan karena dia adalah jaksa pidana umum. Maka, sesuai Hukum Acara Pidana, jika dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti, putusannya adalah bebas. Jika perkara bukan merupakan perkara pidana, putusannya lepas. Jika terbukti, dipidana. Setelah mendapat vonis bebas dari PN Tangerang tersebut, Gayus bebas melenggang ke mana-mana.
Kemudian, ada juga kasus Artalyta Suryani (Ayin). Ayin adalah terdakwa kasus BLBI. Kemudian, dia menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar Rp 6 M. Namun, aksinya ini dipergoki oleh KPK. Urip tertangkap tangan ketika sedang mengendarai mobil, terdapat uang dollar AS senilai Rp 6 M. Ayin akhirnya divonis 5 tahun penjara dan Urip 15 tahun penjara.
Sebenarnya, kedua kasus di atas hanyalah kasus kecil dari sekian banyak kasus mafia hukum. Gayus Tambunan hanyalah pegawai Ditjen Pajak golongan III A. Karena kecilnya pangkat yang dimilikinya, Gayus tidak bisa melakukan tindakan mafia pajak sedemikian pintarnya jika tidak dibantu oleh atasannya. Banyak atasan Gayus yang menerima suap dari perusahaan-perusahaan pengemplang pajak dan nominalnya pun tentu lebih besar. Maka dari itu, ketika Gayus disidang di PN Jakarta Selatan, dia memberikan keterangan bahwa dia bisa bisa menangkap koruptor kelas hiu jika diangkat menjadi staf ahli KPK, Polri, atau Kejaksaan Agung. Adapun Artalyta, hanyalah seorang wanita. Masih banyak pria yang bisa melakukan korupsi dan praktik mafia hukum dengan lebih lihai.
Upaya Pemerintah dalam Pemberantasan Mafia Hukum
Indonesia mempunyai trisula penegak hukum, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Ketiganya kini telah mempunyai pemimpin baru. Tindakan nyata dari ketiga pemimpin baru tersebut sangat dinanti oleh masyarakat. Polri merupakan alat negara yang berfungsi untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Tanpa Polri, di negara ini tidak bisa tercipta keamanan dan ketertiban. Kejaksaan Agung melakukan tugas di bidang penuntutan sehingga harus dipisahkan dari struktur ketatanegaraan RI. Selama ini, Kejaksaan Agung berada di bawah kekuasaan eksekutif. Berdasarkan Pasal 19 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Jaksa Agung dipilih berdasarkan hak prerogatif Presiden sehingga Jaksa Agung masuk dalam jajaran kabinet pemerintah yang sedang berkuasa. Menurut saya, lebih baik Kejaksaan Agung dipisahkan dari struktur kabinet dan menjadi lembaga yang independen agar bisa melakukan penuntutan kepada pihak manapun tanpa pandang bulu. Kemudian, sebaiknya Jaksa Agung dipilih dengan fit and proper test di DPR, seperti pemilihan Ketua KPK, BPK, Gubernur BI, dsb. Adapun KPK, dibentuk karena ketidakpercayaan publik atas dua lembaga hukum sebelumnya. Dari awal pembentukannya, KPK adalah lembaga yang mandiri dan ad hoc.
Adapun dari pihak pemerintah (eksekutif), SBY telah membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Sesuai janji kampanyenya, SBY akan akan menyelesaikan kasus korupsi dan mafia hukum dalam waktu secepatnya. Ketika bergulir kasus Cicak vs Buaya, SBY membentuk Tim 8 yang bertugas untuk meneliti kasus tersebut dalam waktu 2 minggu. Kemudian, SBY mengeluarkan Keppres No. 37 Tahun 2009 untuk membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH). Satgas berfungsi untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan supervisi terhadap lembaga penegak hukum. Dalam menjalankan tugasnya, Satgas membaginya dalam tiga tahapan, yaitu:
1. Jangka pendek, 3 bulan. Pemetaan modus operandi mafia hukum
2. Jangka menengah, 1 tahun. Pelembagaan transparansi melalui pemuatan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan
3. Jangka panjang, 2 tahun. Reformasi birokrasi melalui pembenahan sistem regenerasi, rekruitmen, dan remunerasi.
Namun, hambatan tersulit yang dihadapi Satgas adalah melakukan “tangkap tangan”. Maka, selama ini Satgas terkenal lunak dalam memberantas mafia hukum. Lihatlah ketika Satgas menjemput Gayus di Singapura atau ketika Satgas mengunjungi sel mewah Artalyta Suryani. Satgas juga bukan lembaga Pro Justicia sebab tidak memiliki kewenangan menyelidik, menyidik atau menuntut.
Setelah Gayus divonis dalam perkaranya yang kedua, yaitu ketika disidang di PN Jakarta Selatan oleh Hakim Albertina Ho dkk, SBY mengeluarkan Inpres untuk menyelesaikan kasus Gayus dan mafia hukum lainnya. Inpres ini berisi 12 butir.
1. Kepada Kepolisian RI, Kejaksaan, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Hukum dan HAM, saya instruksikan untuk mempercepat dan menuntaskan kasus hukum Gayus Tambunan.
2. Tingkatkan sinergi antar-penegak hukum dengan melibatkan PPATK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. KPK lebih dilibatkan dan dapat didorong melakukan pemeriksaan yang belum ditangani Polri.
3. Kita lakukan audit kinerja dan audit keuangan terhadap lembaga penegak hukum yang memiliki kaitan dengan kasus Gayus Tambunan. Saat ini, ditengarai adanya penyimpangan di lembaga-lembaga itu, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan Dirjen Pajak. Saya berharap hal yang sama dilakukan kepada lembaga penegak hukum yang tak di bawah Presiden.
4. Penegakan hukum agar dijalankan secara adil dan tidak pandang bulu. Sebanyak 149 perusahaan yang disebut ada kaitan pajak, manakala dari hasil penyelidikan ada bukti permulaan yang cukup, dalam arti juga melakukan pelanggaran, tentu perlu dilakukan pemeriksaan.
5. Guna meningkatkan efektivitas, saya berpendapat, metode pembuktian terbaik dapat dilakukan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
6. Saya instruksikan untuk mengamankan dan mengembalikan aset negara, termasuk dilakukan perampasan terhadap uang yang diduga didapat dari hasil korupsi.
7. Berikan tindakan sanksi administrasi dan disiplin, di samping hukum, bagi yang dinyatakan bersalah, kepada semua pejabat yang nyata-nyata melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Hal ini termasuk mutasi dan pencopotan. Hal ini dapat dilakukan dalam waktu satu minggu ke depan
8. Bagi organisasi atau lembaga yang pejabatnya melakukan penyimpangan, perlu dilakukan penataan. Atas hal ini, diberikan waktu satu bulan.
9. Kita akan melakukan peninjauan dan perbaikan serius terhadap sistem kerja dan aturan yang memiliki celah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan kejahatan serupa.
10. Saya ingin mendapatkan laporan secara berkala data kemajuan penuntasan kasus hukum Gayus Tambunan, termasuk pelaksanaan inpres setiap dua minggu.
11. Saya juga instruksikan untuk menjelaskan dan mengumumkan kepada masyarakat luas tentang kemajuan penanganan kasus Gayus Tambunan secara berkala agar masyarakat dapat mengikuti apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh jajaran penegak hukum atau unsur pemerintah terkait.
12. Terkait hal ini, saya menugasi Wakil Presiden Boediono untuk memimpin kegiatan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap pelaksanaan instruksi Presiden dengan dibantu Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Dari kedua belas butir Inpres tersebut, terlihat banyak kelemahan, yaitu tidak ada sanksi jika Inpres tersebut tidak dilaksanakan. Yang ada hanyalah sanksi administrasi, yaitu sanksi yang diberikan oleh atasan kepada bawahan. Seperti yang kita tahu, masyarakat Indonesia bersifat paternalistik sehingga pada realitanya, sanksi administrasi bukanlah sanksi yang cukup efektif. Kemudian, Inpres ini lebih menitikberatkan pada Gayus, padahal masih banyak kasus mafia hukum yang harus segera ditangani. Kemudian, pada butir ke-12, SBY memerintahkan kepada Wapres Budiono untuk mengawasi jalannya Inpres tersebut. Seperti yang kita tahu, Budiono sendiri terlibat kasus bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 T sehingga masyarakat meragukan integritasnya. Inpres ini juga dinilai biasa saja tanpa ada perbaikan dalam koordinasi kewenangan dari penegak hukum yang menangani kasus tersebut. Namun, yang patut diacungi jempol dari inpres ini adalah penerapan metode pembuktian terbalik. Metode pembuktian terbalik adalah Penuntut Umum tidak dibebani tugas untuk melakukan penuntutan, namun terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Metode ini sangat efektif jika dilakukan dalam Pengadilan Tipikor.
Analisis Terkait Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Mafia Hukum yang Terkesan Sulit Diatasi
Mafia hukum bisa bergerak sesuka hati karena memang sistem hukum Indonesia lemah. Sistem hukum Indonesia adalah bawaan dari Belanda semasa penjajahan. Sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu sistem hukum yang sumber hukum terbesarnya berasal dari undang-undang atau peraturan tertulis. Berbeda dengan Amerika, sistem hukum di sana adalah Anglo Saxon: lebih mengandalkan yurisprudensi, yaitu putusan hakim terdahulu mengikat hakim selanjutnya dalam perkara yang sama. Sistem hukum Eropa Kontinental memiliki kelemahan. Sebab, undang-undang tidak fleksibel dengan perkembangan zaman, seperti kata adagium het recht hink achter de feiten aan. Hukum selalu terpincang-pincang mengikuti perkembangan zaman. Undang-undang yang dibuat manusia tidak pernah lengkap sehingga sering terjadi kekosongan hukum. Kekosongan hukum inilah yang dimanfaatkan oleh para mafia hukum dibantu pengacaranya.
Hukum positif Indonesia tentang Hukum Acara Pidana juga mengandung banyak kelemahan. Ketika terjadi kekosongan hukum, hakim harus memutus berdasarkan keyakinannya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat karena hakim bukan corong undang-undang (la bouche de lalai). Namun, hakim tetap harus memperhatikan fakta-fakta yang terbukti di persidangan. Jika tidak terbukti, hakim tidak bisa memutus hal-hal yang terbukti di luar persidangan. Hal-hal yang terbukti di dalam persidangan ini akan dimasukkan ke dalam putusan akhir, yang berisi “hal-hal yang meringankan” dan “hal-hal yang memberatkan”. Ketika mafia hukum berhasil menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan dirinya di persidangan, dia bisa diputus bebas.
Penegakan hukum yang baik juga harus ada sinergi antara politik dan hukum. Hukum tanpa politik, tidak bisa dilaksanakan sebab hukum membutuhkan tindakan dari penegaknya dan para penguasa untuk mengeluarkan undang-undang atau kebijakan. Sebaliknya, politik tanpa hukum akan sewenang-wenang sebab penguasa merasa tidak mempunyai batas untuk melakukan sesuatu. Namun, yang terjadi saat ini adalah politik terlalu berkuasa atas hukum. Biarkan hukum mengalir tanpa ada campur tangan dari pihak manapun, namun tindakan hukum harus selalu didukung oleh politik. Contohnya, ketika ada sebagian anggota DPR yang menolak memasukkan metode pembuktian terbalik untuk memberantas korupsi. Atau ketika anggota Komisi III DPR menolak kehadiran dua orang pimpinan KPK, Bibit dan Chandra dalam Rapat Dengar Pendapat perkembangan penyelesaian kasus Century karena status tersangka yang melekat pada keduanya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa politik tidak mendukung hukum.
Pemberantasan mafia hukum di Indonesia juga terlihat garang di awal, melempem di akhir. Seperti kasus Artalyta yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi. Kemudian, dia divonis 5 tahun penjara. Namun, 5 tahun penjara ini tidak bersifat mutlak sebab masih dikurangi dengan masa tahanan dan remisi umum dan khusus. Remisi umum adalah ketika ada hari besar keagamaan, remisi khusus adalah ketika ada hal-hal yang memang mengharuskannya keluar dari penjara. Jika seorang narapidana telah menjalani 2/3 masa hukuman dan berkelakuan baik selama di penjara, dia bisa dibebaskan bersyarat. Artinya, ketika sudah bebas, dia masih mendapat pembinaan di daerah tempat tinggalnya. Memang, fungsi hukum pidana tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga memberikan pendidikan kepada pelaku agar dapat diterima kembali dalam masyarakat. Maka, di penjara ada pendidikan keterampilan dan budi pekerti. Namun, dalam contoh kasus Artalyta, ketika di penjara dia menjadikan penjaranya seperti hotel berbintang. Setahun kemudian, dia mendapatkan bebas bersyarat karena telah menjalani 2/3 masa hukuman. Memang, secara prosedur hukum benar, tetapi secara moral tidak benar.
Solusi
Solusi yang saya tawarkan untuk memberantas mafia hukum antara lain:
1. Mulai dari diri sendiri
Perkuat iman dan takwa serta kesadaran hukum. Setiap orang harus melek hukum. Setiap orang harus mengerti bahwa perbuatan korupsi dan mafia hukum pasti ada pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat.
Pendidikan moral dan agama sangat penting. Busyro Muqoddas pernah mencetuskan “Pendekatan Prophetic” atau tindakan kenabian, yaitu tindakan-tindakan hukum kita harus seperti yang diajarkan Nabi.
2. Dari pemerintah
a. Berikan ancaman sanksi yang tegas bagi para koruptor dan mafia hukum
Contoh Korea dan China, hukuman pelaku korupsi adalah hukuman mati.
Hukum Islam harus ikut membantu pemberantasan korupsi dan mafia hukum karena hukuman dari hukum Islam cukup berat
b. Hilangkan remisi, abolisi, grasi.
Apa gunanya jika sudah dihukum berat, tetapi ketika di penjara mendapat remisi? Tidak ada ampunan bagi koruptor dan mafia hukum yang memang terbukti secara sah dan meyakinkan!
c. Segera adakan perubahan KUHAP dan KUHP.
Saat ini, DPR sedang menyiapkan RUU untuk memperbaiki KUHP yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
3. Dari masyarakat
Sebagai infrastruktur politik, masyarakat bisa ikut berperan serta dalam pemberantasan mafia hukum, dengan cara ikut mengawasi jalannya pemerintahan, antara lain dengan cara tidak memilih kembali parpol yang buruk.
Beberapa waktu yang lalu, 100 tokoh di Indonesia mendirikan GERAM HUKUM Gerakan Anti Mafia Hukum), yaitu sebuah deklarasi untuk menolak secara penuh mafia hukum.
Kemudian, para tokoh agama dari 5 agama di Indonesia ikut bersuara, meskipun banyak pihak yang menentang mereka. Namun, tindakan para tokoh agama ini bukanlah sebuah tindakan provokatif, melainkan hanya sebagai kritik untuk pemerintah agar berbenah diri.
085228908855
cipukoya@yahoo.com
@Cipukoya
[1] Disampaikan pada saat diskusi Kemuslimahan Hizbut Tahrir di Masjid Kampus UGM, Sabtu, 5 Februari 2011
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum UGM 2009, Sekjend KMFH 2011
[3] Pengertian korupsi yang dapat disimpulkan dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[4] Pasal 1 butir 1 UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar