Minggu, 25 Januari 2015

Sudah Layakkah KPK Dibubarkan?



Pada pergantian tahun 2009-2010, kita dihebohkan dengan kasus perseteruan antara Polri dengan KPK yang diistilahkan dengan kasus “Cicak vs Buaya”. Kasus ini cukup menyedot perhatian rakyat Indonesia karena kasus ini sangat erat dengan agenda corruptors fight back. Penetapan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua KPK sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri terkesan dipaksakan. Akhirnya, Kejaksaan Agung memberikan depoonering atau mengesampingkan  perkara demi kepentingan umum.

Entah kebetulan atau tidak, kasus yang serupa dengan “Cicak vs Buaya” di atas terulang kembali saat ini. Namun kali ini, ditambah satu tokoh lagi yang ikut bertarung melawan cicak, yaitu si banteng. Diawali dari penetapan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan gratifikasi dan rekening yang tidak wajar. Kemudian, beredar gambar Abraham Samad berfoto mesra dengan Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira. Namun, setelah dicek, ternyata foto tersebut hasil editan alias fitnah. Kemudian, pada hari Kamis, 22 Januari 2015, Abraham Samad dilaporkan oleh Plt. Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto karena sebenarnya Abraham Samad pernah meminta kepada capres Jokowi untuk mendampinginya sebagai cawapres. Belum ada kebenaran dari berita ini.

Sehari setelahnya, berita mengejutkan kembali hadir. Pimpinan KPK yang lain, Bambang Widjojanto, ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri atas laporan dari Sugianto Sabran, mantan anggota DPR dari PDIP, saat sedang mengantarkan anaknya ke sekolah. Kemudian, BW ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Pasal 242 KUHP tentang pemberian kesaksian palsu saat menjadi kuasa hukum atas kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat. Hari berikutnya, Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Kuasa Hukum PT Desy Timber atas tuduhan kepemilikan saham secara ilegal.

Penggembosan roda laju KPK dalam memberantas korupsi mulai dilakukan satu demi satu. Total, sudah 4 dari 5 pimpinan KPK yang terancam mundur dari jabatannya: Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Adnan Pandu Praja, yang tengah ditargetkan untuk dilawan melalui upaya hukum, serta Busyro Muqoddas yang akan diganti tahun ini karena masa jabatannya berakhir. Sehingga, pimpinan KPK yang masih ‘aman’ hanyalah Zulkarnain.

Bisa dibayangkan, jika KPK kehilangan pimpinannya, usaha pemberantasan korupsi akan menjadi terhambat. Contohnya, dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, kelima pimpinan KPK harus menyetujuinya. Jika tidak, rawan dipermasalahkan. Sama seperti halnya dengan penetapan tersangka kepada Budi Gunawan yang hanya ditandatangani oleh 4 pimpinan KPK.

Sebenarnya, rencana pelemahan terhadap institusi KPK telah dilakukan berkali-kali oleh berbagai pihak. Mulai dari pelemahan melalui revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, proses seleksi pimpinan KPK yang diikuti oleh penegak hukum yang pernah terlibat kasus korupsi dan advokat-advokat yang pernah mendampingi tersangka korupsi, intervensi dari berbagai institusi, lambatnya pergantian pimpinan KPK yang masa jabatannya akan segera habis, serta yang paling frontal adalah tekanan dari berbagai pihak yang menyuarakan ingin membubarkan KPK.

Berbagai lapisan masyarakat telah turun ke jalan menyuarakan aspirasinya untuk menyelamatkan KPK. Namun, ada pula yang menganggap bahwa KPK harus dibubarkan. Sungguh miris mendengar kalimat tersebut. Kemarin, sudah ada berita tentang salah satu organisasi kemahasiswaan yang menyatakan sikap ingin membubarkan KPK. Begitu membaca berita tersebut, saya langsung berkata, “itu yang bikin press release ada anak hukumnya nggak?” Jika ada, saya ingin mencari tahu di universitas mana dia belajar Ilmu Hukum, berapa IPK-nya, dosen mana yang telah merasukinya pikirannya untuk membubarkan KPK. Jika ternyata pikiran untuk membubarkan KPK datang dari pihak di luar Fakultas Hukum tempat dia belajar, sebaiknya mahasiswa tersebut keluar saja dari Fakultas Hukum (jika masih menjadi mahasiswa), atau melepaskan gelar Sarjana Hukumnya (jika sudah lulus) karena Ilmu Hukum yang telah dia pelajari tidak ada gunanya.

Saya ingin mencoba menjelaskan pentingnya KPK bagi Negara Republik Indonesia. Jika salah, mohon dikoreksi.

Struktur Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945



Dari bagan di atas terlihat bahwa KPK ‘hanyalah’ state auxiliary institution. Artinya, tanpa lembaga-lembaga yang berbentuk state auxiliary institution pun, tugas-tugas negara masih dapat dijalankan. Namun, kita perlu mengetahui sebab komisi-komisi tersebut lahir. Komisi-komisi independen tersebut lahir karena diharapkan bisa menyelesaikan tugas-tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh lembaga sebelumnya yang seharusnya dapat menyelesaikannya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh posisi lembaga-lembaga sebelumnya yang tidak independen sehingga tidak mungkin menyelesaikan kasus yang melibatkan lembaga di atasnya.

Sebagai contoh, KPK. Dalam konsideran UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, disebutkan:
a.bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Dari konsideran di atas sudah cukup jelas, bahwa lembaga sebelumnya yang diberi wewenang untuk memberantas korupsi, yaitu Polri dan Kejaksaan belum dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Hal ini juga disebabkan oleh posisi ketatanegaraan Polri yang berada di bawah Presiden dan sebagai alat negara, serta Kejaksaan yang bisa diposisikan sebagai pengacara negara. Posisi ketidakmandirian Polri dan Kejaksaan inilah yang membuat pemberantasan korupsi tidak dapat berjalan efektif. Sebenarnya, masih banyak kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi negara yang harus diselesaikan. Namun, Polri dan Kejaksaan kurang berani menyentuhnya.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Maka, penyelesaiannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Tindak pidana korupsi yang sebelumnya hanya diselesaikan dengan cara biasa dengan KUHP, kini dikhususkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diperkuat dengan UU No. 20 Tahun 2001. Penegak hukum yang menyelesaikan kasus korupsi juga harus penegak hukum yang luar biasa. Dia tidak boleh berada di bawah lembaga kepresidenan, tetapi harus mandiri. Oleh sebab itu dibentuklah KPK.

KPK diberi kewenangan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, seperti melakukan koordinasi dan supervisi, serta melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Termasuk dalam kewenangan khusus tersebut adalah KPK berhak melakukan penahanan, penyitaan, dan penyadapan. Dalam melaksanakan tugasnya pun, KPK harus bebas dari intervensi pihak manapun. Bahkan, ada usul dari seorang pakar hukum, bahwa pimpinan KPK harus diberi hak imunitas, yaitu hak bebas dari tuntutan pidana selama menjabat sebagai pimpinan KPK. Namun, usul ini cukup mengundang pro-kontra karena bisa jadi pisau bermata dua.

Sebagian besar orang yang menginginkan KPK bubar hanya berdasarkan pada asumsi bahwa KPK telah dikuasai kepentingan politik, seperti pesanan oleh pihak tertentu menyelesaikan kasus tertentu terlebih dulu atau mengesampingkannya. Dugaan mereka makin diperkuat dengan adanya laporan dari Hasto bahwa Abraham Samad telah bermain dalam politik praktis.

Entah benar atau tidak kabar tersebut, tentu terlalu emosi jika langsung menuntut supaya KPK dibubarkan. Ya, memang, KPK bukanlah barisan malaikat yang harus selalu dibela. Ibarat ingin membasmi tikus di lumbung padi. Yang harus kita lakukan adalah membunuh tikusnya saja, jangan bakar seisi lumbung. Sebab, kita masih membutuhkan padi untuk makan. Jika KPK dibubarkan, bisakah kita mengembalikan penyelesaian kasus korupsi kepada Polri dan Kejaksaan? Padahal, di dalam tubuh Polri dan Kejaksaan sendiri juga masih berlindung oknum-oknum korup.

Adapun soal kasus yang menimpa Bambang Widjojanto, saya menemukan keanehan. Insya Allah akan saya tulis di lain waktu.

Tidak pernah ragu, saya masih ingin berteriak: Save KPK!!

2 komentar:

  1. kalau negara sudah dikuasai kepentingan politik tertentu,jadi negara juga harus bubar gitu? :v

    BalasHapus