Selasa, 28 Oktober 2014

Sesungguhnya, Batin Saya Menjerit




Hari ini, handphone saya tidak berhenti berdering. Banyak notifikasi dari Facebook yang masuk. Kebanyakan memberi respon atas postingan saya yang membagikan tulisan dari seorang blogger tentang keresahannya atas media abal-abal. Yang dirasakan oleh blogger tersebut cukup mewakili keresahan yang selama ini saya pendam. Maka, saya pun membagikan blog tersebut ke News Feed Facebook. Saya kira, itu hanyalah hal sepele. Ternyata respon yang masuk begitu luar biasa. Sekitar 40 orang memberi like, juga beberapa mengajak berdiskusi. Saya cuma mau curhat di sini. Izinkan saya nyampah ya, hehe.
Sejak Pemilu 2014, setiap membuka Facebook saya selalu perang batin. Saya bingung, sangat bingung, dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Berita apa saja bisa dibagikan, tidak peduli apakah itu bohong atau fakta. Seolah, Indonesia sedang terpecah belah menjadi dua, yaitu golongan capres nomer 1 dan capres nomer 2. Saya pun mengambil langkah, sekitar bulan Juni-Juli saya tidak membuka Facebook sama sekali. Saya hanya membagikan postingan melalui link Instagram. Saya lebih senang membuka Twitter. Paling tidak, Twitter lebih tenang. Analisis dari beberapa analis politik lebih cerdas daripada orang-orang yang berkeliaran di News Feed Facebook saya.

Ternyata, setelah KPU mengumumkan pemenang Pilpres, News Feed saya tetap tidak berhenti membicarakan aib pihak ini dan pihak itu. Ditambah lagi dengan isu-isu yang menyangkut SARA. Saya hanya bisa menyaring sebijak mungkin, mana yang perlu menjadi rujukan, mana yang tidak. Teman-teman Facebook saya benar-benar sedang terbelah. Ada yang pro capres nomer 1, pro capres nomer 2, pro ISIS, anti demokrasi, dan pro piknik. Haha, saya suka golongan yang terakhir.
Nah, yang menjadi perhatian saya, ada beberapa Fanpage yang sedang digandrungi, sebut saja J. Postingan dari J selalu menjadi rujukan. Saya pun menyaringnya. Memang, ada hal-hal yang benar, ada juga hal-hal yang kurang benar dan cenderung memecah belah. Maaf, sebelumnya saya tegaskan, saya tidak sedang membicarakan aib J. Namun karena beliau cukup terbuka terhadap kritik, izinkan saya mengomentari beliau.
Saya menyukai postingan dari J ketika beliau mengomentari baju ihram Jokowi yang salah. Ini membuka wawasan saya tentang pakaian ihram. Maklum, saya belum pernah umrah hehe. Juga, saya menyukai beberapa postingan lain yang cukup menambah wawasan saya. Namun (sekali lagi, semoga ini bukan ghibah), ada beberapa postingannya yang kurang tabayyun. Contohnya, ketika beliau mengomentari tentang larangan jilbab di Bali. Beliau terlalu membesar-besarkan isu tersebut, seolah Bali benar-benar tidak ramah pada pemakai jilbab. Apakah beliau tidak tabayyun ke masyarakat Bali?
Saya justru mengalami pengalaman di Bali yang menyenangkan sebagai seorang muslim dan pemakai jilbab, Pak J. Awal tahun 2013, saya ada kegiatan di Bali bersama teman-teman. Sehari sebelum kembali ke Jogja, saya dan Hurin yang masih tersisa di Bali karena baru terbang keesokan harinya, menyempatkan piknik ke Pantai Kuta. Teman-teman Hindu Bali saya memang baik hati. Mereka bersedia mengantarkan kami ke Kuta. Ketika kami mau naik motor, saya dan Hurin minta helm. Teman-teman Bali bilang, “ngga usah pake helm soalnya kalo udah pake jilbab, ngga wajib pake helm.” Ternyata, di Bali memang demikian aturannya. Siapapun yang memakai penutup kepala simbol agama, seperti kain udeng milik umat Hindu atau jilbab dan peci milik umat Islam, tidak wajib memakai helm. Hal ini merupakan bentuk toleransi dari masyarakat Bali terhadap semua pemeluk agama di Bali.
Kembali ke J, postingannya tentang jilbab Bali sudah terlalu melebar, ditambah dengan komentar-komentar pendukungnya. Yang membuat saya sedih, teman Hindu Bali saya merasa terdholimi oleh postingannya. Sebab faktanya, Bali tidak sejahat seperti yang dikatakan J. Selain itu, postingan J akhir-akhir ini juga lebih sering diwarnai dengan prasangka.
Kemudian, media lain yang disoroti oleh blogger yang saya ceritakan pada awal artikel ini, adalah SN dan PP. Saya dulu menyukai media itu. Saya banyak belajar ilmu agama dari sana. Namun, untuk pandangan politik, mereka tidak menjadi rujukan saya. Semakin lama, postingannya cenderung provokatif. Betapa menggelikan, judul berita kok panjang dengan kalimat yang argumentatif. Saya lihat dari SN, isinya menjelek-jelekkan Jokowi dan pemerintahan barunya. Gambar utamanya pun hanyalah gambar meme lelucon. Sungguh, SN sudah melenceng dari kode etik pers dan tujuan dari pers yaitu mencerdaskan masyarakat.
Saya tidak tahu siapa pemilik SN. Yang saya tahu, mereka adalah aktivis dakwah, sama seperti saya, sama seperti Anda juga. Ketika melihat sebuah kedholiman, wajib bagi kita untuk melawannya dengan tangan. Jika tidak bisa, lawan dengan mulut. Jika tidak bisa juga, lawan dengan hati (doa), namun ini adalah selemah-lemahnya usaha. Ya, media-media aktivis dakwah tersebut hadir untuk melawan kedholiman pemimpin dan calon pemimpin.
Namun, apa jadinya jika yang dibicarakan oleh media-media tersebut hanyalah hal-hal yang remeh-temeh? Misalnya, tentang aktivitas sehari-hari Jokowi atau kebohongan Jokowi tentang kodoknya yang mati. Apa bedanya dengan media infotainment? Pokoknya, semua yang dilakukan oleh Jokowi dan pemerintahan barunya selalu salah, dan yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih selalu benar.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” QS Al Hujurat (49) ayat 12.

Di sini, saya tidak sedang membela Jokowi. Pada Pilpres kemarin, saya lebih percaya kepada Prabowo untuk menjadi Presiden saya, dan PKS sebagai wakil saya di parlemen. Kewajiban saya sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam Pemilu sudah saya tunaikan. Selanjutnya, saya akan mengawal wakil saya jika mereka salah. Namun, capres pilihan saya kalah. Ya sudah, selama 5 tahun ke depan, saya akan berpresiden Jokowi. Kewajiban saya hanyalah tetap mendoakannya dan tetap berkontribusi dalam bidang saya. Saya juga tetap mengawal pemerintahan Jokowi – JK. Izinkan saya mengkritisi mereka jika mereka tidak seperti yang saya harapkan.
Sudahlah, tidak ada gunanya terus menghujat pemimpin yang bukan pilihan kita. Tetap berpikir jernih, berlaku adil, dan kendalikan nafsu. 

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS Al Maidah (5) ayat 8
.
Entahlah, apa yang dikatakan orang tentang saya karena postingan saya tadi (mungkin ditambah dengan curhatan ini). Apakah saya anggota jamaah yang bandel, tidak taat, sudah berpikiran liberal, I don’t care! Saya masih liqo’ dan insya Allah masih ingin liqo’. Saya hanya ingin perbaikan dari jamaah ini. Apa gunanya materi-materi liqo’ yang dibuat sedalam mungkin jika tidak diamalkan? Bukankah di liqo’ sudah diajarkan tentang menjaga aib sesama muslim, ketaatan pada pemimpin, juga hubungan kita terhadap lingkungan sosial kita? Jika memang ghibah diizinkan, tentu ada hal-hal yang harus kita ambil hikmahnya.
Saya sedih jika kita terpecah-belah seperti ini. Saya ingin Indonesia yang satu. Saya merindukan kehidupan masyarakat Madinah ketika dipimpin oleh Rasulullah saw. Semua agama hidup rukun berdampingan. Maksiat berkurang dan kaum muslimin bertambah kuat imannya. Banyak-banyaklah membaca buku Sejarah dan Geografi Indonesia. Kita akan menemukan betapa panjang perjalanan bangsa Indonesia ini menemukan kemerdekaannya. Lihatlah bagaimana Soekarno dkk memikirkan sistem politik apa yang terbaik untuk menyatukan semua golongan bangsa ini. Lihatlah betapa Allah telah menganugerahkan Indonesia yang wilayahnya terbentang maha luas dari Sabang sampai Merauke. Lihatlah betapa kayanya kebudayaan kita, betapa cantiknya kain batik kita, betapa merdu sasando kita.
Silakan berpikir apapun tentang diri saya. Tapi apakah Anda mengetahui bagaimana saya menangis di lantai sujud? Sesungguhnya batin saya menjerit! Saya lelah! Ingin rasanya men-deactivate  akun Facebook saya. Ingin rasanya kembali membaca shirah, riyadhus shalihin, atau bulughul maram. Betapa ceteknya ilmu agama yang saya miliki. Saya hanya ingin mengaji, bukan mencaci.
Saya juga tidak mengetahui bagaimana Pak J dan redaksi SN menangis di lantai sujud. Semoga kita termasuk golongan yang berserah diri kepada Allah. Mari sama-sama mendoakan agar negeri ini diberkahi Allah, seperti yang berikut ini:
Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”
Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy). Postingan dari Fanpage “Mahasiswa Muslim Gadjah Mada hari ini emang nyess banget!
Cukup ah nyampahnya. Sungguh, ini cuma curhatan sampah. Jangan jadikan artikel ini sebagai rujukan, hehe. Jangan bully saya lagi ya. Saya belum punya pundak buat bersandar nih, hehe. Terakhir, saya selalu ingat pesan KH Rahmat Abdullah:


Mohon maaf atas segala khilaf saya.

2 komentar:

  1. Once you hate a person,everything he/she does will always annoy you.
    Dan nampaknya,ini berlaku buat media2 tadi.

    BalasHapus