Introduction
Finally..
Now my destiny can begin
Though we will have our differences
Something strange and new is happening
Finally..
Now my life doesn’t seem so bad
It’s the best that I’ve ever had
Give my love to him finally..
Masih teringat jelas ketika pertama kali saya mendengar lagu “Finally” dari Fergie ini. Kala itu, saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA, ketika sedang galau memikirkan siapa yang akan menjadi pangeran surgaku nanti. Kira-kira kapan ada waktu yang tepat untuk kembali meresapi lagu ini, terutama di bagian “give my love to him finally”? Saya tidak ingin mempersembahkan lagu ini untuk sembarang lelaki, hanya kepada suami saja. Semoga, suatu hari nanti akan datang masa itu.
Alhamdulillah.. 12 November 2016, seorang lelaki bernama Cahyono Yulianto berani mengikrarkan qabul di hadapan ayah saya. Maka, sejak hari itu, tanggung jawab ayah untuk mendidik dan melindungi saya telah beralih kepadanya. Maka dari itu pula, I give my love to him finally..
Menikah bukanlah perkara yang mudah. Menikah juga bukanlah akhir dari perjuangan. Ia hanya satu dari sekian pencapaian dalam hidup untuk menuju pencapaian sempurna: surga! Setelah menikah, saya merasakan banyak nikmat Allah yang luar biasa, seolah jalan menuju surga selangkah lebih mudah. Maka dari itu, setiap manusia perindu surga harus mengusahakan terealisasinya QS An Naba’ ayat 8:
“Dan Kami menciptakan kamu berpasang-pasangan.”
Memperjuangkan pernikahan bukan hanya urusan laki-laki, pun demikian dengan perempuan. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita tentang perjuangan saya dan suami saya pra dan pasca menikah.
Masa Galau
“Cogito ergo sum.” Pernah mendengar quote ini? Ya, itu adalah kata-kata terkenal dari filsuf Prancis, Descartes, yang artinya: “Aku galau berpikir, maka aku ada”.
Bagi manusia yang belum jelas masa depannya, galau pasti ada. Itulah bukti eksistensi dirinya. Allah adalah Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Segalanya sangat mungkin bagi Allah. Suatu hal yang telah kita rencanakan dengan baik, pasti akan diberi sedikit ujian atau bahkan peringatan oleh Allah bahwa hal tersebut tidak baik bagi kita.
Demikian halnya dengan cinta. Sebelum bertemu dengan jodoh yang telah dipilih oleh Allah, setiap insan pasti akan dihadapkan dengan berbagai ujian. Bagi yang masih berpegang teguh untuk tidak berpacaran sebelum menikah, tentu ujiannya semakin berat.
Ya, di era digital ini, lebih mudah mencari pacar daripada mencari suami/istri. Mencari pacar tidak membutuhkan ilmu. Siapapun yang merasa saling tertarik, silakan saja sambangi, kenalan, pedekate pake sedikit gombalan, tembak, jadian deh. Tidak perlu juga meminta restu Allah dan orang tuanya untuk memacari si gebetan. Sebab, pencapaian terbesar dalam pacaran adalah melepaskan diri dari status sendirian alias jomblo. Enak lah, setiap pagi ada yang menyapa, membisikkan kata cinta, juga membelikan bunga. Maka, ujian kepada seseorang yang menginginkan hidup berdua tetapi tidak mampu menahan gejolak di dada meskipun belum siap menikah, terasa lebih ringan. Ujian-ujian kesendirian mampu diatasi dengan mudah.
Jomblo? Ah ngenes! Ke mana-mana sendiri, ngapa-ngapain sendiri, tidur pun sendiri. Betapa beratnya ujian hidup seorang jomblo yang menginginkan hadirnya pasangan hidup dengan cara yang diridhoi Allah. Jelas, di saat teman-temannya bisa selfie bersama pacarnya dengan bebas, dia lebih memilih menahan pandangan juga kemaluan sambil terus meyakinkan dirinya bahwa suatu saat nanti Allah akan menghadirkan seseorang yang tepat pada waktu yang tepat.
Masa galau saya pun tidak berjalan dengan mudah. Saya menyebut masa galau adalah ketika saya mulai berpikir tentang pernikahan, yaitu pada tahun keempat kuliah. Allah memberikan ujian untuk menguji seberapa kuat iman hamba-Nya, dan setiap ujian akan disesuaikan dengan sesuatu yang disukainya. Saya menyukai jalan hidup yang diridhoi Allah. Saya menginginkan ikhwan shalih untuk menjadi suami saya. Maka, pada hal ini Allah menyisipkan ujian-Nya.
Didatangkanlah sederet ikhwan untuk saya jadikan pertimbangan. Ada yang siap menikah tetapi sifatnya begini begitu, ibadahnya begini begitu. Ada yang belum siap menikah tetapi segalanya tampak indah. Duhai hati, jagalah sejenak. Duhai raga, bangunlah untuk istikharah. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang mampu membuat saya benar-benar yakin.
Saya hampir berputus asa. Astaghfirullah, umurku sudah 25+, sudah berpenghasilan sendiri, tetapi mengapa masih sendiri?
Menjelang Ramadhan 1437 H, saya benar-benar mensterilkan hati dan meningkatkan kualitas ibadah saya. Namun, rasanya kurang cukup. Saya harus malafadzkan doa khusus seperti ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ زَوْجًا طَيِّبًا وَيَكُوْنُ صَاحِبًا لِى فِى الدِّيْنِ وَالدُنْيَا وَالْأَخِرَة
Artinya: “Ya Robb, berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia dan akhirat.”
Saat itu saya benar-benar pasrah. Wajar bila kabar teman-teman menikah membuat saya gundah. Tetapi saya tidak mau menikah hanya karena teman-teman sudah melaksanakannya. Saya luruskan niat lagi, pokoknya saya mencari "Mr. Right Man", bukan "Mr. Right Now".
Akhirnya pada suatu hari setelah berakhirnya Ramadhan 1437 H, seorang kawan lama Pelantara II, Waryin Pepy dan istrinya, Mbak Ranti, menjodohkan saya dengan Mas Cahyo. Mas Cahyo adalah roommate Pepy ketika asrama di Pondok Pesantren Takwinul Mubalighin (PPTM) Jogja. Saya sih percaya dengan Pepy karena teman sekamar selama 2 tahun pasti mengenal betul kekurangan dan kelebihannya. Pepy juga pasti telah mempertimbangkan segala hal yang dirasa cocok dengan kepribadian saya. Namun Pepy menyampaikan pesan dari Mas Cahyo bahwa saat ini Mas Cahyo masih menjadi karyawan kontrak di PT KI, sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang otomotif. Adapun kepastian diangkat atau tidaknya menjadi karyawan tetap akan diumumkan pada bulan Oktober. Sementara itu, bulan Oktober akan menjadi bulan paling sibuk bagi kami, jika kami jadi menikah.
Saya pun memikirkannya betul-betul. Saya selipkan nama Mas Cahyo dalam shalat istikharah saya. Sambil menunggu jawaban dari Allah, saya sibukkan diri dengan hal-hal positif. Soal status Mas Cahyo sebagai karyawan kontrak atau tetap di PT KI, bagi saya itu tidak masalah. Jika memang rezeki Mas Cahyo di PT KI, alhamdulillah. Jika tidak, ladang rezeki dari Allah masih terbuka lebar.
Masa Ta’aruf dan Khitbah
Ciri-ciri bahwa Allah menunjukkan jawaban yang benar adalah semakin dipermudahnya langkah kita menuju hal tersebut. Ternyata memang benar. Guru ngaji Mas Cahyo di Cikarang menghubungi saya untuk dita’arufkan dengan Mas Cahyo. Saya pun meminta guru ngaji saya untuk menemani saya. Kemudian kami bertukar CV melalui email guru ngaji Mas Cahyo. Kami pun mempelajari CV masing-masing. Jika mantap, ta’aruf akan lanjut pada sesi tatap muka. Jika tidak, cukup sampai di sini. Hapus CV-nya agar tidak teringat kembali.
Ternyata, kami berdua sama-sama mantap untuk melanjutkan pada tahap tatap muka. Maka, dipilihlah tanggal 17 Agustus 2016 untuk bertemu di sebuah tempat di Tanah Abang dengan ditemani guru ngaji masing-masing. Dalam forum tersebut, kami dipersilakan untuk saling melihat wajah (tapi saya cuma melihatnya sepintas. Asli maluuuu banget, Mas :p). Kemudian kami saling bertukar pertanyaan penting seputar kehidupan setelah menikah. Saya bertanya, “Apakah Mas Cahyo mengizinkah saya bekerja?”
Beliau menjawab, “Mengizinkan, tapi tidak mewajibkan.”
Aaaaakkk... Saya suka jawaban ini! He’s the one!! Jadi ingat pengakuan Song Il Kook tentang pertemuan pertama kali dengan istrinya. Mereka bertemu pada hari ulang tahun kemerdekaan Korea Selatan, seperti saya dan Mas Cahyo yang bertemu pertama kali pada hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Song Il Kook pun langsung mantap berkata dalam hati, “She’s the one! My life had been liberated”. Saya juga, rasanya hati saya telah merdeka!
Sepulang dari forum ta’aruf tersebut, kami dipersilakan untuk saling bertanya melalui whatsapp tentang teknis pernikahan. Namun, kami merasa berbahaya jika hanya berdua. Kami pun membentuk grup WA dengan Pepy dan Mbak Ranti. Adapun saat itu, orang tua Mas Cahyo telah berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Maka, lamaran dan pernikahan kami akan dilangsungkan setelah mereka kembali ke tanah air, bulan Oktober 2016. Ketika diskusi tentang teknis pernikahan antara saya dan Mas Cahyo dirasa cukup, kami memutuskan untuk pause komunikasi pada akhir Agustus sampai awal Oktober. Hal ini dimaksudkan agar kami tidak membuang waktu yang berlebihan untuk berbicara yang tidak perlu karena kami belum halal. Waktu tunggu itu kami manfaatkan untuk menjaga hati masing-masing. Kata-kata yang selalu saya ingat darinya adalah:
“Jodoh itu datangnya dari Allah, maka jemputlah dengan cara Allah.”
Forum kembali dibuka oleh moderator kami, Pepy dan Mbak Ranti, pada akhir September 2016 karena orang tua Mas Cahyo sebentar lagi kembali ke Sukoharjo. Kami pun berdiskusi tentang rencana khitbah/lamaran. Akhirnya, khitbah dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2016 secara sederhana. Mas Cahyo beserta keluarga besarnya datang ke rumah saya untuk meminta izin menikahi saya. Dalam forum tersebut, diputuskan bahwa pernikahan akan dilangsungkan pada tanggal 12 November 2016. Wah, betapa singkat waktu persiapannya. Tetapi kami yakin, ibadah pernikahan yang dilandasi dengan ikhtiar syar’i akan dipermudah jalannya.
Ujian Menjelang Hari-H
Tiga minggu menjelang hari-H, Allah memberikan sedikit ujian untuk menguji niat kami menikah. Apakah kami menikah benar-benar untuk ibadah? Apakah kami menikah hanya untuk mencari kesenangan dunia? Apakah kami menikah hanya untuk melampiaskan hal-hal yang selama ini ditahan? Katanya jalan semakin dipermudah, kok ini dipersulit?
Mas Cahyo terpaksa mengirim pesan WA secara pribadi:
“Assalamu’alaikum
‘Afwan, kabar ga mengenakkan.
Aku..
Cahyono Yulianto
Sudah dinyatakan utk tidak diangkat sbg karyawan tetap di PT KI
Per tanggal hari ini.
‘Afwan ya ukh Cipuk.
Pasti anti kecewa berat ma aku.”
Seketika, air mata saya tumpah. Undangan sudah disebar. Dekor, rias, souvenir, pengisi hiburan, sudah dipesan. Setan pasti sedang menertawakan kami dan membisikkan sesuatu: “Cipuk, yakin masih mau sama Cahyo? Tuh liat temen-temenmu, nikahnya sama cowok yang udah mapan.”
Astaghfirullah.. Astaghfirullahal ’adzim. Saya pun menjawab:
“Wa’alaikumussalam.
Tetep semangat Mas.
Gapapa, rezeki Allah luas. Trs gmn Mas, mau cari dmn lagi.
Hope for the best and prepare for the worst.
Klo emang ini keputusan Allah, mau gmn lagi. Kita cm menjalankan scenario-Nya kan.
Istighfar aja. Mgkn kita lagi ditegur. Ini ujian awal pernikahan kita. Ikhtiar lebih giat lagi. I will always be by your side, Mas. Aku udah janji sama diriku sendiri buat mendampingimu sampai surga."
Tentu ada rasa tidak enak hati dalam dada Mas Cahyo, terutama pada keluarga saya. Saya terus meyakinkannya bahwa saya akan menjelaskannya secara baik-baik. Alhamdulillah, keluarga saya mau menerimanya kok.
Mas Cahyo menambahkan:
“Tetep maisyah adalah kewajibanku.
Anti pokoknya jangan sampai menjadi tulang punggung. Karena anti adalah tulang rusuk.”
... :’( (makin meleleh)
Pokoknya tidak ada yang dapat menghalangi kami untuk melaksanakan ibadah terpanjang ini. Sekali lagi luruskan niat, yaitu menuju surga. Kami ingin memberikan teladan kepada siapa saja, bahwa menikah tidak melulu soal mapan atau tidaknya calon pengantin. Apa jadinya jika dua insan yang belum mapan ingin menikah? Sampai kapan harus menunggu mapan? Keburu setan-setan bergentayangan menggoda dua sejoli untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan setelah menikah. Juga keburu si calon ditelikung orang lain. *eh
Orang tua saya juga seperti itu. Di awal pernikahan mereka, modal hanya sejengkal. Apalagi saat ibu mengandung saya, hidup juga masih pas-pasan. Namun, saya dan kakak-kakak saya mengerti arti dari perjuangan hidup.
Rezeki bisa dicari bersama-sama. Apalagi saya, alhamdulillah per bulan November 2016, saya telah diangkat sebagai PNS di KLHK. Artinya, insya Allah pintu rezeki masih ada, sembari menunggu Mas Cahyo mendapatkan pekerjaan baru.
Hari Pernikahan
Alhamdulillah. Pada tanggal 12 November 2016, kami telah sah menjadi pasangan suami-istri. Akad nikah dilangsungkan di halaman rumah saya yang kebetulan ada lapangan voli nganggur. Sengaja keluarga saya tidak memesan gedung pernikahan. Selain lebih hemat budget, menyelenggarakan pernikahan di rumah bisa mendekatkan keluarga kami dengan para tetangga dan keluarga besar. Mereka datang membantu memasak, menyiapkan pernak-pernik, dll. Sudah menjadi kebiasaan di kampung saya bahwa sebelum hari-H pernikahan, rumah mempelai perempuan diramaikan oleh kegiatan seperti kenduri dan ‘nyumbang’. Maka, akan lebih praktis jika panggung pelaminan dan kursi-kursi tamunya dipasang di rumah saja. Tamu akan datang ke rumah, sembari ibu-ibu menyiapkan makanannya dan Muda-Mudi Srandakan menyajikannya. Suasana hangat dan akrab akan lebih terjalin, serta lebih praktis tanpa wira-wiri antara gedung dan rumah.
Serangkaian prosesi pernikahan kami usahakan se-syar’i mungkin. Saya menjelaskannya kepada keluarga secara baik-baik. Contohnya, untuk hiburan pada saat resepsi, kami ingin menghadirkan pengisi panggung laki-laki yang menyanyikan lagu-lagu berlirik positif secara akustik, bukan penyanyi perempuan yang bergoyang megal-megol menyanyikan dangdut koplo. Namun saya sedikit kecolongan pada H-1, saat acara ‘nyumbang’. Maka, saya meminimalisasi kecolongannya dengan menghadirkan perempuan yang berjilbab dan menutup aurat, serta dilarang menyanyikan lagu yang berlirik negatif. Saya juga tetap mengenakan khimar yang menutup dada, meskipun dalam balutan pakaian adat Jogja. Tujuan saya adalah menggabungkan budaya Jogja dan Islam.
Acara akad nikah dimulai pukul 08.00 WIB, diawali dengan pembacaan tilawah dan sari tilawahnya oleh teman Mas Cahyo, Ginanjar, yang juga imam Masjid Al Mujahiddin UNY. Berbagai macam rasa berkecamuk saat ikrar ijab dan qabul terucap. This is the day that changes everything. Mulai hari ini, Mas Cahyo telah menjadi imamku. Semua tanggung jawab ayahku untuk membimbingku telah beralih kepadanya.
Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan resepsi. Kami mengundang pengasuh PPTM, Alm. Ustadz Didik Purwodarsono, untuk memberikan tausyiahnya tentang pernikahan. Acara resepsi selesai pada pukul 13.00 WIB.
Keesokan harinya, kami boyongan atau ngunduh mantu ke rumah Mas Cahyo di Sukoharjo, disertai oleh tetangga dan keluarga besar saya.
Mumpung masih cuti dan Mas Cahyo belum ada panggilan kerja, saatnya bulan madu. Kami memilih destinasi wisata di ujung timur Pulau Sumatra, Pulau Pahawang, dengan naik motor. Kok bisa? Alhamdulillah, seru sekali. Tapi saya tidak akan menuliskannya pada artikel ini. Insya Allah akan saya ceritakan tersendiri.
Ketika kehidupan pernikahan kami telah berjalan kurang lebih tiga minggu, ujian kembali datang kepada kami. Mas Cahyo mengeluh sakit perut dan demam tinggi. Sudah berobat ke dua klinik tetapi tidak kunjung membaik. Akhirnya, saya pun mengantarnya ke RS Mitra Keluarga Bekasi Timur. Ternyata, Mas Cahyo menderita typus. Sedih sekali saat itu. Pengantin baru yang seharusnya bersenang-senang, malah nginep di RS seminggu. Tapi tidak apa-apa. Ini adalah cara Allah menumbuhkan benih-benih cinta di antara kami berdua. Dulu kami tidak pernah pacaran, akhirnya Allah mengizinkan kami berduaan saja di rumah sakit. Allah juga meminta saya untuk bersabar sembari menunjukkan cara berbakti kepada suami dalam berbagai kondisi.
Alhamdulillah, saya bersyukur menikah dengannya, seorang laki-laki yang selalu mengingatkan pada kebaikan, juga memberi nasihat sesuai syari’at. Berbagai ujian telah kami lalui bersama. Suka-duka menjadi makanan kami sehari-hari. Kami ingin terus bersama, tidak hanya sehidup semati, tetapi juga sehidup sejannati. Aamiin.
Saat tulisan ini diselesaikan, pernikahan kami telah berjalan tujuh tahun dan telah dikaruniai dua orang anak. Mohon doanya, semoga kami selalu sakinah, mawadah, dan penuh barokah. Tak pernah menyesal aku menikah denganmu, Mas Cahyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar