Jumat, 29 Januari 2016

Palu, Mutiara Indah yang Belum Terasah



Tiga bulan yang lalu, saya mengunjungi Palu karena sebuah tugas, yaitu mendampingi Prof. Alvi Syahrin, Prof. Tan Kamello, dan Prof. Asep Warlan Yusuf yang akan menjadi ahli pada sidang kasus pencemaran lingkungan PT Pusaka Jaya Palu Power, juga bersama Bu Rini sebagai senior saya. Saya ditugaskan oleh Bu Rini untuk memesankan tiket pesawat dan hotel. Subhanallah, betapa susahnya mencari tiket Garuda Indonesia dan hotel bintang empat untuk para ahli. Emang ada acara apa sih di Palu? Ooohh.. Sail Tomini. Kabarnya, Pak Presiden akan menginap di Hotel Mercure. Maka dari itu, hotel-hotel yang ditawarkan di internet sudah penuh.
Dengan sedikit trik, kami berangkat dalam dua tim. Tim pertama, Bu Rini dan Prof. Alvi berangkat dahulu dengan Citilink yang transit di Makassar pada Hari Rabu, 16 September 2015. Sedangkan tim lain, saya, Prof. Tan dan istrinya (beliau mengajak istrinya karena baru saja operasi), serta Prof. Asep berangkat naik Lion Air keesokan harinya. Alhamdulillah, untuk hotelnya, kami mendapatkan tempat di Hotel Grand Duta berkat bantuan dari pegawai BLH Kota Palu.
17 September 2015, saya bangun pukul 2.30 WIB karena pesawat berangkat pukul 5.00 WIB. Segera saya bergegas ke kantor yang tidak jauh dari kos saya untuk dijemput oleh Pak Agus. Kami langsung menuju Hotel Ibis Soetta tempat Prof. Asep dan Prof. Tan beserta istri menginap sementara di sana. Sungguh, jadwal pesawat paling gasik adalah jadwal yang selama ini berusaha saya hindari. Namun, kekecewaan saya berubah menjadi senyum ketika pesawat sudah berada di atas Teluk Palu.
Masya Allah. Saya mengucap dzikir dalam hati ketika melihat barisan bukit di sebelah kanan jendela pesawat saya. Indah sekali. Saya melihat ke bawah, laut yang memantulkan sinar matahari berkilauan indah seperti mutiara. Saya tengok ke jendela sebelah kiri, bukit yang berjajar tidak kalah mempesonanya dengan bukit di sebelah kanan. Oh iya, saya baru ingat. Teluk Palu berbentuk seperti huruf U, dengan barisan bukit di kedua sisinya. Adapun Bandara Mutiara Sis Al Jufri berada di bawah huruf U tersebut. Ah, pintar sekali penata kota Palu zaman dahulu memilih lokasi ini.
Itulah sebabnya bandara ini dinamakan “Mutiara” oleh Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Ketika Soekarno pertama kali terbang ke Palu pada malam hari, beliau melihat Teluk Palu berkilauan indah memantulkan sinar bintang-bintang bagaikan mutiara. Sejak saat itu, Kota Palu terkenal dengan julukan “Mutiara Khatulistiwa”. Adapun penambahan nama “Sis Al Jufri” bertujuan untuk mengenang jasa seorang ulama yang telah berjasa menyebarkan agama Islam, yaitu Al Habib Sayyied Idrus Bin Salim Al Jufri.
Sampai di bandara, kami langsung menuju hotel. Sepanjang perjalanan, kami disambut dengan banyaknya baliho dan umbul-umbul “Sail Tomini”. Ah, if I had joined that event. Pasti lebih seru daripada Pelantara.

Baliho Sail Tomini ada di sepanjang jalan

Untuk perjalanan pertama ke Palu, mungkin kota ini masih asing bagi saya. Tata kotanya masih biasa saja. Tidak ada tempat yang menarik mata untuk memandangnya. Apalagi, saya masih mengantuk karena penerbangan paling pagi. Namun, pupil mata saya membesar ketika sudah tiba di jalan di tepi Teluk Palu. Masya Allah, indahnya teluk ini dari dekat. Namun sedikit disayangkan, mengapa tata pantainya seperti ini? Tak banyak pohon rindang ditanam di sekitar pantai, justru warung-warung sederhana banyak menghiasi.
Setelah melewati jembatan Palu Empat yang dipagar warna kuning dan melengkung indah, kami sampai di Hotel Grand Duta, terletak ujung Teluk Palu. Kebetulan, saya mendapatkan kamar di lantai empat yang langsung menghadap Teluk Palu.

Teluk Palu dari kamar hotel

Setelah bersih-bersih diri dan istirahat sebentar, kami bergerak menuju ke PN Kota Palu tempat PT Pusaka Jaya Palu Power disidangkan. Sepanjang perjalanan, sopir kami bercerita tentang keindahan Palu dan segala ancamannya. Alhamdulillah, Teluk Palu memiliki sumber daya ikan yang banyak, namun sayangnya, masih ada buaya di muara Sungai Palu. Pernah suatu hari, seseorang sedang menikmati indahnya Teluk Palu, diserang oleh buaya muara dan akhirnya meninggal.
Selesai sidang, Prof. Tan ingin membeli oleh-oleh kain tenun khas Palu. Sopir kami pun mengantar ke sana. Harga di toko kain tersebut bervariasi. Untuk kain bahan, 1 potong kain harganya mulai dari 150 ribu rupiah hingga satu jutaan, sedangkan kain yang sudah berbentuk kemeja, harganya mulai dari dua ratus ribu hingga satu jutaan. Prof Alvi juga ingin membeli oleh-oleh cinderamata dari kayu terbaik dari Sulawesi, yaitu kayu eboni. Kayu eboni telah diubah menjadi banyak kerajinan yang sangat cantik, mulai dari barang yang kecil seperti asbak, mainan anak, gantungan kunci, hingga barang yang berukuran sedang dan besar seperti miniature kapal dan meja kursi. Harga cinderamata yang berukuran kecil cukup terjangkau, sedangkan barang yang berukuran besar cukup mahal. Memang, mungkin karena kayu eboni sangat kuat, anti rayap, dan khas dari Sulawesi.

Kain tenun Sulteng. Motifnya bikin mata berbunga-bunga :)

Malamnya, setelah kami makan malam, Prof Alvi dan Prof Tan mengajak jalan-jalan di pinggir Pantai Teluk Palu. Kebetulan, teman Ru Rini yang merupakan orang asli Palu,  menawarkan diri untuk jalan-jalan memakai mobil. Kami pun diajak untuk menikmati indahnya Teluk Palu di malam hari. Kami membicarakan tentang kota Palu yang sebenarnya menyimpan potensi namun kurang dikelola dengan baik oleh kepala daerahnya. Garis khatulistiwa yang melintang di atas Kota Palu menyebabkan kota ini terasa panas. Namun, kepala daerah Palu tidak dapat mengatasinya. Di pinggir pantai banyak kursi untuk duduk, namun sedikit pohon untuk berteduh. Warung-warung pun banyak yang berdiri secara sembarangan dan terkesan tidak rapi.
Mungkin itu sebabnya, sejak turun di Palu, kami tidak menemukan bule satupun. Menurut saya, adanya bule di suatu tempat merupakan pertanda bahwa suatu tempat telah dikenal oleh dunia karena potensi pariwisatanya telah dikelola dengan baik. Teman Bu Rini tersebut mengatakan bahwa saat ini Palu telah sedikit lebih baik karena menyambut Sail Tomini, acara nasional yang menyedot perhatian dunia. Palu akhirnya berbenah. Bisa dibayangkan kah jika acara pelayaran nusantara tidak bertempat di Sulawesi Tengah? Ayolah, kota dengan lima dimensi berupa teluk, laut, sungai, lembah, dan pegunungan ini harus dikenal dunia!
Kami kemudian diajak ke sebuah bukit tertinggi. Ternyata tempat tersebut sudah diprivatisasi dengan menjadikannya villa oleh seorang warga keturunan Cina. Wah, cerdas sekali memilih tempat ini. Lihat saja, view dari bukit bintang ini.
Saat perjalanan pulang menuju hotel, kami dikejutkan oleh sebuah poster kampanye Pilkada. Ada satu kandidat wakil wali kota Palu yang namanya cukup menyita perhatian kami, yaitu Sigit Purnomo Syamsudin Said. Siapa dia? Ya, Pasha Ungu. Tiga bulan kemudian, tepatnya 9 Desember lalu, Pasha Ungu dan pasangannya berhasil merebut hati rakyat Kota Palu.
Ah Palu, mutiara indah yang belum terasah. Semoga Pasha Ungu dapat mengasahmu dengan sebaik-baik sentuhan.

Foto dulu sebelum meninggalkan Bandara Soetta. Ki-ka: Prof. Alvi, me, Prof. Tan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar