Tiga bulan yang lalu, saya mengunjungi Palu karena sebuah tugas, yaitu
mendampingi Prof. Alvi Syahrin, Prof. Tan Kamello, dan Prof. Asep Warlan Yusuf
yang akan menjadi ahli pada sidang kasus pencemaran lingkungan PT Pusaka Jaya
Palu Power, juga bersama Bu Rini sebagai senior saya. Saya ditugaskan oleh Bu
Rini untuk memesankan tiket pesawat dan hotel. Subhanallah, betapa susahnya
mencari tiket Garuda Indonesia dan hotel bintang empat untuk para ahli. Emang
ada acara apa sih di Palu? Ooohh.. Sail Tomini. Kabarnya, Pak Presiden akan
menginap di Hotel Mercure. Maka dari itu, hotel-hotel yang ditawarkan di
internet sudah penuh.
Dengan sedikit trik, kami berangkat dalam dua tim. Tim pertama, Bu Rini
dan Prof. Alvi berangkat dahulu dengan Citilink yang transit di Makassar pada
Hari Rabu, 16 September 2015. Sedangkan tim lain, saya, Prof. Tan dan istrinya (beliau
mengajak istrinya karena baru saja operasi), serta Prof. Asep berangkat naik
Lion Air keesokan harinya. Alhamdulillah, untuk hotelnya, kami mendapatkan
tempat di Hotel Grand Duta berkat bantuan dari pegawai BLH Kota Palu.
17 September 2015, saya bangun pukul 2.30 WIB karena pesawat berangkat
pukul 5.00 WIB. Segera saya bergegas ke kantor yang tidak jauh dari kos saya untuk
dijemput oleh Pak Agus. Kami langsung menuju Hotel Ibis Soetta tempat Prof.
Asep dan Prof. Tan beserta istri menginap sementara di sana. Sungguh, jadwal
pesawat paling gasik adalah jadwal yang selama ini berusaha saya hindari.
Namun, kekecewaan saya berubah menjadi senyum ketika pesawat sudah berada di
atas Teluk Palu.
Masya Allah. Saya mengucap dzikir dalam hati ketika melihat barisan bukit
di sebelah kanan jendela pesawat saya. Indah sekali. Saya melihat ke bawah,
laut yang memantulkan sinar matahari berkilauan indah seperti mutiara. Saya
tengok ke jendela sebelah kiri, bukit yang berjajar tidak kalah mempesonanya
dengan bukit di sebelah kanan. Oh iya, saya baru ingat. Teluk Palu berbentuk
seperti huruf U, dengan barisan bukit di kedua sisinya. Adapun Bandara Mutiara
Sis Al Jufri berada di bawah huruf U tersebut. Ah, pintar sekali penata kota
Palu zaman dahulu memilih lokasi ini.
Itulah sebabnya bandara ini dinamakan “Mutiara” oleh Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Ketika Soekarno
pertama kali terbang ke Palu pada malam hari, beliau melihat Teluk Palu
berkilauan indah memantulkan sinar bintang-bintang bagaikan mutiara. Sejak saat
itu, Kota Palu terkenal dengan julukan “Mutiara
Khatulistiwa”. Adapun penambahan nama “Sis
Al Jufri” bertujuan untuk mengenang jasa seorang ulama yang telah berjasa
menyebarkan agama Islam, yaitu Al Habib Sayyied Idrus Bin Salim Al Jufri.
Sampai di bandara, kami langsung menuju hotel. Sepanjang perjalanan, kami
disambut dengan banyaknya baliho dan umbul-umbul “Sail Tomini”. Ah, if I had joined
that event. Pasti lebih seru daripada Pelantara.
Baliho Sail Tomini ada di sepanjang jalan |
Untuk perjalanan pertama ke Palu, mungkin kota ini masih asing bagi saya.
Tata kotanya masih biasa saja. Tidak ada tempat yang menarik mata untuk
memandangnya. Apalagi, saya masih mengantuk karena penerbangan paling pagi.
Namun, pupil mata saya membesar ketika sudah tiba di jalan di tepi Teluk Palu.
Masya Allah, indahnya teluk ini dari dekat. Namun sedikit disayangkan, mengapa
tata pantainya seperti ini? Tak banyak pohon rindang ditanam di sekitar pantai,
justru warung-warung sederhana banyak menghiasi.
Setelah melewati jembatan Palu Empat yang dipagar warna kuning dan
melengkung indah, kami sampai di Hotel Grand Duta, terletak ujung Teluk Palu.
Kebetulan, saya mendapatkan kamar di lantai empat yang langsung menghadap Teluk
Palu.
Teluk Palu dari kamar hotel |
Setelah bersih-bersih diri dan istirahat sebentar, kami bergerak menuju
ke PN Kota Palu tempat PT Pusaka Jaya Palu Power disidangkan. Sepanjang
perjalanan, sopir kami bercerita tentang keindahan Palu dan segala ancamannya.
Alhamdulillah, Teluk Palu memiliki sumber daya ikan yang banyak, namun
sayangnya, masih ada buaya di muara Sungai Palu. Pernah suatu hari, seseorang
sedang menikmati indahnya Teluk Palu, diserang oleh buaya muara dan akhirnya
meninggal.
Selesai sidang, Prof. Tan ingin membeli oleh-oleh kain tenun khas Palu.
Sopir kami pun mengantar ke sana. Harga di toko kain tersebut bervariasi. Untuk
kain bahan, 1 potong kain harganya mulai dari 150 ribu rupiah hingga satu
jutaan, sedangkan kain yang sudah berbentuk kemeja, harganya mulai dari dua
ratus ribu hingga satu jutaan. Prof Alvi juga ingin membeli oleh-oleh
cinderamata dari kayu terbaik dari Sulawesi, yaitu kayu eboni. Kayu eboni telah
diubah menjadi banyak kerajinan yang sangat cantik, mulai dari barang yang
kecil seperti asbak, mainan anak, gantungan kunci, hingga barang yang berukuran
sedang dan besar seperti miniature kapal dan meja kursi. Harga cinderamata yang
berukuran kecil cukup terjangkau, sedangkan barang yang berukuran besar cukup
mahal. Memang, mungkin karena kayu eboni sangat kuat, anti rayap, dan khas dari
Sulawesi.
Kain tenun Sulteng. Motifnya bikin mata berbunga-bunga :) |
Malamnya, setelah kami makan malam, Prof Alvi dan Prof Tan mengajak jalan-jalan di pinggir Pantai Teluk Palu. Kebetulan, teman Ru Rini yang merupakan orang asli Palu, menawarkan diri untuk jalan-jalan memakai mobil. Kami pun diajak untuk menikmati indahnya Teluk Palu di malam hari. Kami membicarakan tentang kota Palu yang sebenarnya menyimpan potensi namun kurang dikelola dengan baik oleh kepala daerahnya. Garis khatulistiwa yang melintang di atas Kota Palu menyebabkan kota ini terasa panas. Namun, kepala daerah Palu tidak dapat mengatasinya. Di pinggir pantai banyak kursi untuk duduk, namun sedikit pohon untuk berteduh. Warung-warung pun banyak yang berdiri secara sembarangan dan terkesan tidak rapi.
Mungkin itu sebabnya, sejak turun di Palu, kami tidak menemukan bule
satupun. Menurut saya, adanya bule di suatu tempat merupakan pertanda bahwa
suatu tempat telah dikenal oleh dunia karena potensi pariwisatanya telah
dikelola dengan baik. Teman Bu Rini tersebut mengatakan bahwa saat ini Palu
telah sedikit lebih baik karena menyambut Sail Tomini, acara nasional yang
menyedot perhatian dunia. Palu akhirnya berbenah. Bisa dibayangkan kah jika
acara pelayaran nusantara tidak bertempat di Sulawesi Tengah? Ayolah, kota
dengan lima dimensi berupa teluk, laut, sungai, lembah, dan pegunungan ini
harus dikenal dunia!
Kami kemudian diajak ke sebuah bukit tertinggi. Ternyata tempat tersebut
sudah diprivatisasi dengan menjadikannya villa oleh seorang warga keturunan
Cina. Wah, cerdas sekali memilih tempat ini. Lihat saja, view dari bukit
bintang ini.
Saat perjalanan pulang menuju hotel, kami dikejutkan oleh sebuah poster
kampanye Pilkada. Ada satu kandidat wakil wali kota Palu yang namanya cukup
menyita perhatian kami, yaitu Sigit Purnomo Syamsudin Said. Siapa dia? Ya,
Pasha Ungu. Tiga bulan kemudian, tepatnya 9 Desember lalu, Pasha Ungu dan pasangannya
berhasil merebut hati rakyat Kota Palu.
Ah Palu, mutiara indah yang belum terasah. Semoga Pasha Ungu dapat
mengasahmu dengan sebaik-baik sentuhan.
Foto dulu sebelum meninggalkan Bandara Soetta. Ki-ka: Prof. Alvi, me, Prof. Tan. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar