22-24 Mei 2006
Ujian Nasional SMP.
25-26 Mei 2006
Saya merasa free, tidak punya tanggungan apa-apa karena beban pikiran akan Ujian Nasional telah selesai. Ujian sekolah pun sudah, ujian praktik apalagi. Yeah, merdeka!! Saatnya merencanakan liburan sambil menunggu pengumuman hasil UN. Lagipula, saya lagi dapet, jadi memang rencana mau bangun siang.
27 Mei 2006
Saya bangun pukul 05.50. Saya buka pintu kamar, turun ke lantai mau cuci muka dsb. Belum saya menginjakkan kaki di tangga paling atas, tiba-tiba lantai ini berguncang hebat. Tembok seperti mau retak dan langit-langit seakan mau menindas kepalaku. Apa ini??? Ya Allah, GEMPA!!! Saya teriak, “Bapaaaaaakkkk” sambil turun tangga cepat-cepat. Bapak menyuruh saya dan Ibuk untuk keluar rumah. Tapi, saya dan ibuk malah bingung, jadinya saya dan Ibuk hanya berpelukan erat sambil terus berdzikir sambil menunggu goncangan ini berhenti. Kami hanya pasrah, tidak ada niat untuk keluar rumah.
Yang paling kasihan tentu Mbak Tya. Mbak Tya sedang mencuci di kamar mandi bawah, lalu bergegas naik untuk membawa turun Mas Ucik dan Sasa. Sasa kala itu masih kecil, masih berumur 1 tahun dan sedang belajar jalan. Jadi, pintu kamarnya dikunci dari luar agar tidak keluyuran sampai tangga. Jadi, saat gempa itu terjadi, Sasa dan Mas Ucik terkunci di kamar! Can you imagine how panic they were?? Saking paniknya, Mbak Tya yang berusaha untuk membuka pintu, susah sekali untuk membukanya. Padahal, kunci itu biasanya mudah dibuka. Dari dalam kamar, Mas Ucik teriak-teriak ketakutan dan Sasa menangis. Yang lebih menakutkan, kata Mas Ucik, ada tiang atap yang melintang kamar Mas Ucik itu seperti mengedor-gedor tembok dan temboknya bolong. Rumah ini seperti mau roboh. Alhamdulillah, pintu kamar akhirnya terbuka. Mas Ucik, Mbak Tya dan Sasa langsung keluar rumah.
Gempa berhenti setelah kurang lebih satu menit mengguncang.
Seketika, listrik di seluruh Srandakan mati. Pettt!!
Kami sekeluarga keluar rumah, tetangga-tetangga juga. Kentongan-kentongan dibunyikan. Semua orang panik dan trauma, kami hanya berdzikir dan berdoa supaya semuanya selamat. Yang ada dalam benak kami hanyalah semua orang selamat dan tidak terjadi lagi bencana yang lebih besar. Kami takut, setelah ini terjadi tsunami, seperti yang terjadi di Aceh setahun sebelumnya.
Tapi alhamdulillah, tidak ada satupun rumah di Srandakan yang roboh. Paling parah, hanya retak-retak dan genteng berjatuhan.
Eh, simbah kakung gimana ya?? Mas Budi akhirnya pulang ke rumah. Malam hari sebelum kejadian gempa ini, Mas Budi nginep di rumah simbah. Di sana, ada simbah kakung, Mbah Lis yang sudah stroke tidak bisa jalan, dan Lek Tijab yang selalu setia menemani Simbah Kakung dan Mbah Lis. Mas Budi bercerita pada kami, bahwa keadaan di rumah simbah ketika gempa sangat menakutkan. Mbah Lis gampang dibopong Lek Tijab keluar rumah, namun Mbah Kakung yang ngeyel sekali. Beliau dipaksa Mas Budi untuk keluar rumah, namun Mbah Kakung malah bilang “nengno wae aku. Aku pengen mati neng kene. Kono, kowe wae sing metu”(Biarkan saja aku. Aku ingin mati di sini. Sana, kamu saja yang keluar). Astagfirullah, mungkin Mbah Kakung inget Mbah Putri yang sudah meninggal waktu saya kelas 4 SD. Padahal, rumah Mbah Kakung itu rumah tua, jadi bahaya jika gempa besar seperti ini masih ada orang di dalam. Mas Budi pun melihat bagian dapur roboh. Akhirnya, Mbah Kakung terpaksa diseret keluar. Untung, di rumah Simbah ada Mas Budi dan Lek Tijab.
Mobil dari pemerintah lewat, memberi pengumuman bahwa baru saja terjadi gempa 5,9 SR, berpusat di Samudra Hindia sebelah selatan Bantul. Gempa ini tidak berpotensi tsunami. Jadi, dimohon agar semua warga tidak panik dan tetap waspada jika terjadi gempa-gempa susulan. Alhamdulillah, lebih tenang sekarang.
Saya, Mas Ucik, dan Sasa ingin melihat daerah lain yang terkena dampak gempa ini. Ternyata, daerah lain lebih parah, ada yang rumahnya benar-benar roboh. Lalu, setelah listrik menyala kembali, kami baru sadar, bahwa pusat keparahan gempa ini adalah di Imogiri, Pleret, Jetis, dan Piyungan. Itu Bantul bagian timur. Sedangkan Srandakan adalah Bantul paling barat, sehingga bukan termasuk jalur gempa. Kemudian, yang parah lagi adalah STIKER di Jl. Parangtritis, Saphir Square, Candi Prambanan, dan Makam Imogiri. Adapun korban jiwa mencapai 3000-an jiwa. Innalillahi.
Malam harinya, kami tidak tidak berani tidur di kamar masing-masing. Apalagi di kamar atas, gila aja, haha. Akhirnya, saya, Ibuk, Mbak Tya, dan Sasa tidur di konter hp depan rumah. Mas Ucik, Mas Budi, dan Bapak tidur di emperan toko bersama tetangga. Sungguh, tidak ada satu pun warga yang berani tidur di dalam rumah. Kami melakukan ini sampai trauma benar-benar hilang dan tidak terjadi gempa-gempa susulan lagi. Kami tidur di konter kurang lebih seminggu, kemudian berangsur tidur di kamar tamu, kemudian normal kembali, tidur di kamar masing-masing setelah lebih dari satu bulan sejak peristiwa 27 Mei itu.
Oya, malam-malam awal setelah gempa besar itu, listrik juga mati lagi. Jadi, malam hari benar-benar mencekam. Aksi pencurian dan penjarahan pun merebak. Rumah kami juga. Karena kami hanya terfokus tidur di depan rumah, belakang rumah benar-benar sepi. Suatu malam, tetangga belakang rumahku sedang bersiap-siap ingin menginap bersama kami di depan rumah, dia melihat ada seseorang berbaju hitam mencurigakan ingin memanjat pagar belakang rumahku. Tetanggaku kaget, orang berbaju hitam ini juga kaget. Dia ingin kabur, tapi kakinya menghantam bambu yang melintang di dekatnya. Orang ini lari sekencang-kencangnya. Tetanggaku juga lari sekencang-kencangnya ke depan rumah kami. Dengan nafas ngos-ngosan, dia cerita bahwa ada seseorang yang ingin mencuri lewat pagar belakang. Ini hanyalah salah satu contoh percobaan pencurian ketika bencana gempa. Di daerah lain, pencurian banyak terjadi.
Oya, malam-malam awal setelah gempa besar itu, listrik juga mati lagi. Jadi, malam hari benar-benar mencekam. Aksi pencurian dan penjarahan pun merebak. Rumah kami juga. Karena kami hanya terfokus tidur di depan rumah, belakang rumah benar-benar sepi. Suatu malam, tetangga belakang rumahku sedang bersiap-siap ingin menginap bersama kami di depan rumah, dia melihat ada seseorang berbaju hitam mencurigakan ingin memanjat pagar belakang rumahku. Tetanggaku kaget, orang berbaju hitam ini juga kaget. Dia ingin kabur, tapi kakinya menghantam bambu yang melintang di dekatnya. Orang ini lari sekencang-kencangnya. Tetanggaku juga lari sekencang-kencangnya ke depan rumah kami. Dengan nafas ngos-ngosan, dia cerita bahwa ada seseorang yang ingin mencuri lewat pagar belakang. Ini hanyalah salah satu contoh percobaan pencurian ketika bencana gempa. Di daerah lain, pencurian banyak terjadi.
Cerita yang paling geli juga, waktu saya nonton Piala Dunia 2006, sambil ditemani gempa-gempa susulan. Assoy, haha.
Satu bulan setelah gempa ini, perpisahan SMPN 1 Galur. Saya dan teman-teman band saya, Nia, Ema, dan Febi tampil di panggung sambil membawakan lagunya Audi “Sahabat”, Opick “Alhamdulillah”, dan musik instrumental.
Alhamdulillah, hasil UN yang saya raih bisa mengantar saya ke gerbang SMAN 1 Teladan Yogyakarta. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar