Minggu, 06 Juni 2010

Layakkah Advokat Menjadi Pimpinan KPK?

Munculnya nama-nama advokat seperti OC Kaligis, Farhat Abbas, Alamsyah Hanafiah, dan Bonaran Situmeang dalam daftar peserta seleksi pimpinan KPK yang digelar akhir-akhir ini menimbukan pro-kontra, layakkah seorang advokat yang notabene membela orang yang bersalah menjadi pimpinan KPK? Pasalnya, KPK pernah dipimpin oleh putra bangsa dari dua institusi penegak hukum, yaitu Taufiqurrahman Ruki dari kepolisian dan Antasari Azhar dari kejaksaan. Maka, tidak salah jika kali ini pimpinan KPK berasal dari kalangan advokat.

Namun, yang menjadi kendala adalah mayoritas peserta seleksi yang berasal dari advokat itu adalah advokat yang pernah mengangani kasus korupsi yang disidik oleh KPK. Akan terasa janggal apabila dulu sang pengacara berseberangan dengan KPK karena membela koruptor dan pasti mencari titik lemah KPK, tiba-tiba saat ini berubah menjadi orang lain, yaitu sosok yang berusaha membangkitkan kembali semangat KPK untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Dilihat dari track recordnya, advokat seperti OC Kaligis adalah seorang advokat yang pernah membela terdakwa kasus korupsi. Salah satu kliennya adalah Arthalita Suryani, terdakwa kasus korupsi yang terbukti menyuap Jaksa Uri Tri Gunawan. Bahkan, yang lebih menghebohkan, saat ini dia sedang membela Anggodo Widjoyo, terdakwa percobaan penyuapan terhadap dua pimpinan KPK yang dikriminalisasi, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Adapun motivasinya untuk mendaftar sebagai pimpinan KPK adalah akan memecat Bibit Samat Riyanto dan Chandra M Hamzah. Menurutnya, kedua wakil ketua KPK ini terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap dari Anggodo. Hal ini sangat dikhawatirkan banyak pihak karena hal ini sama saja dengan serangan balik dari koruptor untuk melemahkan KPK. Sayangnya, motivasi OC Kaligis hanya di angan-angannya saja. Sebab, panitia seleksi menyatakannya gugur dari proses seleksi pimpinan KPK karena terganjal masalah usia. Saat ini, dia berusia 67 tahun. Padahal, syarat usia pimpinan KPK yang tertuang dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah minimal 40 tahun dan maksimal 65 tahun. Maka dari itu, dia akan mengajukan uji materi UU tersebut ke MK. Peserta lain yang terhambat usia adalah Farhat Abbas yang berusia 35 tahun.

Adapun peserta lain yang menimbulkan kontroversi yaitu Bonaran Situmeang, pengacara setia Anggodo Widjoyo. Bonaran menjadi terkenal bak bintang film laris sejak terungkapnya percobaan penyuapan yang dilakukan oleh Anggodo kepada dua wakil ketua KPK, Bibit dan Chandra. Ditambah lagi dengan rekaman percakapan Anggodo dengan beberapa pihak yang berusaha melemahkan KPK yang diputar di MK November 2009 silam. Jika publik hanya mengingat track record Bonaran Situmeang sebagai pengacara Anggodo, publik tidak akan percaya tentang track recordnya yang pernah membela terdakwa yang lemah.

Kemudian, pengacara yang juga pernah menangani kasus korupsi besar di Medan, Todung Mulya Lubis, bertindak sebagai panitia seleksi. Hal ini juga menimbulkan kebingungan masyarakat, jika panitianya saja terbukti pernah menangani kasus korupsi, ada kemungkinan dia akan menerima pengacara yang juga pernah menangani kasus korupsi. Padahal, KPK adalah sebuah lembaga negara berbentuk komisi independen yang bertugas untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Dengan mendaftarnya pengacara-pengacara tersebut menjadi calon pimpinan KPK, masyarakat khawatir KPK akan dilemahkan. Memang, ketika sedang menangani kasus korupsi, tindakan itu adalah tuntutan profesi, semata-mata karena membela kliennya. Akan tetapi, yang dikhawatirkan masyarakat adalah jangan sampai suasana membela koruptor akan terbawa ketika dia telah memimpin KPK, yang mengharuskannya menjebloskan koruptor ke penjara. Hal ini merupakan sebuah peristiwa yang harus kita pantau terus, jangan sampai KPK jatuh pada orang yang salah.

Profesi advokat atau pengacara adalah sebuah profesi yang penuh dengan intrik untuk menarik perhatian hakim agar membebaskan terdakwa. Apapun akan dilakukan asalkan bisa memenangkan persidangan. Cara yang biasanya dilakukan para advokat adalah bernegosiasi dengan jaksa penuntut umum agar dakwaan dalam surat dakwaan dan surat tuntutan pidana diringankan dan bernegosiasi dengan hakim agar terdakwa bebas dari segala tuntutan pidana atau setidak-tidaknya menjatuhkan putusan yang meringankan terdakwa. Tentu saja, praktik suap-menyuap pun terjadi. Ada sebuah istilah untuk menyebut advokat yang jujur dan tidak, yaitu advokat hitam untuk advokat yang tidak jujur karena hanya berorientasi pada kemenangan di persidangan bagaimanapun caranya. Advokat ini membela terdakwa yang mampu membayarnya lebih dan pendapat sesuai pendapatan. Untuk advokat yang jujur, disebut advokat putih. Advokat ini membela terdakwa murni karena menuruti kata hatinya, yaitu menegakkan keadilan bagi semua orang.

Dalam sebuah acara yang disiarkan oleh Metro TV pada hari Rabu, 28 Mei 2010, yang dipandu oleh Najwa Shihab, yaitu Mata Najwa, Hotman Paris Hutapea mengatakan bahwa tidak ada advokat yang bersih. Menurutnya, sangat munafik jika seorang advokat mengaku tidak pernah menyuap dan mengatakan dirinya jujur. Hal ini berarti bahwa Hotman Paris sendiri mengakui jika dia memang bukan termasuk advokat yang jujur. Pernyataan Hotman Paris ini dibantah oleh Bambang Widjayanto, pengacara yang membela Bibit Samat Riyanto dan Chandra M Hamzah ketika dikriminalisasi. Menurutnya, masih ada advokat baik. Hal ini terbukti dari banyaknya pengacara yang membela terdakwa secara pro bono alias tidak dibayar. Biasanya, terdakwa yang diberikan bantuan hukum oleh para pengacara pro bono adalah terdakwa yang tidak mampu secara finansial untuk menyewa pengacara. Pengacara pro bono akan membela terdakwa dengan ikhlas dan tidak terlalu mengejar kemenangan sidang, tetapi lebih kepada effort atau upaya yang telah ditempuh untuk menegakkan keadilan. Sebab, setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law) sehingga berhak mendapatkan keadilan melalui bantuan hukum.


Dalam kesempatan lain di sebuah acara yang disiarkan oleh Metro TV hari Senin, 31 Maret 2010, Hotman Paris Hutapea masih mempertahankan pendapatnya tentang advokat yang tidak bersih. Pendapat ini disanggah oleh Henry Yosodiningrat, pengacara yang menangani kasus Susno Duadji, mantan Kabareskrim POLRI yang dituduh menerima suap dari PT Arwana Lestari. Henry tidak sependapat dengan Hotman Paris yang mengatakan bahwa tidak ada advokat yang bersih. Menurutnya, advokat yang bersih adalah advokat yang memiliki integritas tinggi terhadap pemberantasan korupsi dan tidak pernah mau menangani perkara korupsi. Advokat seperti inilah yang layak untuk menjadi ketua KPK. Selain itu, menurutnya, bersih atau tidaknya seorang advokat adalah tergantung dari kata hati advokat itu. Ini adalah sebuah pilihan hidup untuk terus berkomitmen pada moral, mempunyi tekat untuk memberantas korupsi, jujur, dan berani meninggalkan jabatannya sebagai advokat jika terpilih sebagai ketua KPK.

Dengan adanya istilah advokat bersih-tidak bersih, advokat hitam-putih, advokat jujur-tidak jujur itu, terlihat bahwa masih ada advokat yang layak menjadi pimpinan KPK. Orang yang mengatakan hal ini bukan orang sembarangan, yaitu Jimly Assidiqie, mantan Ketua MK yang saat ini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Jimly mengusulkan agar pimpinan KPK sebaiknya dari advokat. Menurutnya, advokat bisa menjadi pimpinan KPK karena advokat mengetahui seluk-beluk dunia mafia peradilan. Advokat bergerak di segala lini, mulai dari pelaporan, persidangan, tuntutan, sampai pembebasan kliennya dari hukuman. Sementara itu, jaksa hanya tahu di bidang penuntutan, polisi di bidang penyidikan, dan hakim di bidang pengadilannya. Meskipun mereka berperan, bisa dibilang pasif. Maka, advokat bisa dijadikan entry point dalam pemberantasan korupsi.

Panitia akan memilih dua nama untuk menjalani fit and proper test di Komisi III DPR. Semoga calon yang terpilih bisa mengemban amanah sebagai pucuk pimpinan KPK dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar