Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku ‘tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa.....tanpa tanda jasa
Sebuah lagu untuk guruku, Bu Rudini, korban tabrak lari
Tak pernah kubayangkan, sebesar ini, hingga aku duduk di bangku kuliah. Siapakah sosok pembangun fondasi pikiranku kalau bukan dari guru, guru SD. Guru SD yang selalu sabar menghadapi murid-muridnya yang nakal. Guru SD yang mengajarkan kami membaca dari dasar, menghitung dari dasar, dan berlogika dari dasar, serta mengenalkanku pada kompetisi dalam kebaikan. Kesederhanaannya, kesahajaannya, dan kesantunannya, selalu membekas di hati ini. Tak kenal lelah apalagi gengsi meski hanya naik motor tua dan bis kota. Ribuan terima kasih bahkan sampai mulut berbusa-busa pun tak akan sanggup membalas budi guru SD.
Masih ingat dalam pikiranku akan sosok wanita itu. Pada hari Senin, di upacara bendera, ketika aku kelas lima SD. Pak Mudjono, kepala sekolah kami memperkenalkan Bu Rudini, guru baru. Bu Rudini pun memperkenalkan diri. “Perkenalkan, nama saya Bu Rudini. Silakan kalian mau memanggil saya apa, tapi saya biasa dipanggil dengan nama yang sudah cukup terkenal karena merupakan salah satu tokoh dalam sinetron, Dini.” Waktu itu, sedang booming sinetron “Pernikahan Dini”.
Aku memang belum pernah diajar secara langsung di kelas oleh Bu Rudini. Tapi hubungan kami cukup dekat karena beliau kenal dengan orang tuaku karena sering mampir ke tokoku. Orang tuaku pun menyuruhku untuk berjabat tangan dengan beliau jika beliau sedang mampir ke toko. Lalu diselingi dengan canda tawa, bahkan selalu ada doa dan support dari Bu Dini agar aku selalu sukses dalam akademik. Hingga aku akan memasuki bangku kuliah pun, beliau mendoakanku agar aku lulus UN SMA dan diterima di UGM.
Hari pun semakin berganti, hingga aku telah masuk UGM, beliau masih sering berkunjung ke toko. Namun, yang unik, beliau memakai jas UGM! Hmmm, aku aja males banget pake jas UGM kalo bukan buat aksi, hehe. Aku heran, atau itu jas anaknya yang kuliah di UGM? Tidak. Dua anak laki-lakinya kuliah di STAN. Lalu itu jas siapa? Ternyata, beliau melanjutkan S2 di UGM, tapi saya tidak sempat bertanya mengambil bidang apa.
Hari Jumat pagi, twitter-an. Aku baru ingat, hari itu adalah tanggal 25 November, yang biasa diperingati sebagai Hari Guru. Di twitter ramai diperbincangkan, kebanyakan mengucapkan terima kasih pada gurunya. Aku pun demikian. Aku nge-tweet lirik lagu “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Lagu ini memang penuh kenangan, pernah aku nyanyikan di perpisahan SD dan rapat orang tua/wali murid waktu SMP.
Namun betapa kagetnya aku, tadi jam 12.00, Mbak Tya memberi kabar duka. Bu Dini meninggal dunia. Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Lebih kaget lagi, ternyata beliau meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Kronologi kejadiannya, Jumat pagi, Bu Dini akan menghadiri upacara PGRI, untuk memperingati Hari Guru di Lapangan Kedungbule, lapangan dekat rumahku. Namun, ketika hendak menyeberang, beliau ditabrak dari belakang. Orang yang menabrak tersebut langsung kabur, tidak bertanggung jawab. Bu Dini koma, langsung dibawa ke RS Sardjito. Setelah dua hari koma, ternyata Allah ingin lebih dekat dengan wanita mulia ini. Bu Dini dinyatakan wafat.
Hanya doa yang bisa kupersembahkan untuk Bu Dini. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Bu Dini. Semoga Allah membalas semua amal ibadah Ibu dan mengampuni semua dosa-dosa Ibu. Dan semoga orang yang menabrak Ibu diberi ganjaran tersendiri oleh Allah. Allah Maha Adil.
Bu Rudini.... Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.