Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono |
Sejak konflik yang tersulut di
Mesir bulan Juni lalu hingga berakhir kudeta pada Presiden Mesir yang sah,
Muhammad Mursi, dunia ramai mendukung dan menolak kudeta. Apalagi, kudeta
tersebut telah memakan ribuan korban meninggal dan luka-luka. Sebagian besar
masyarakat dunia yang paham akan demokrasi dan kemanusiaan pasti menolak kudeta
tersebut dan mengecam tindakan brutal militer Mesir pada rakyatnya.
Tak pelak, banyak negara yang
menarik mundur duta besarnya untuk Mesir. Adapun yang paling lantang untuk
menentang kudeta tersebut adalah Turki. Presiden Turki, Abdullah Ghul dan
Perdana Menterinya Recep Thayyib Erdogan kerap berpidato dengan semangat
berapi-api untuk tidak mengakui pemerintahan Mesir hasil kudeta. Bahkan, ketika
El Baradei, salah satu tokoh di balik kudeta Mesir ingin berkunjung ke Turki,
Erdogan langsung menolaknya. Bagi Turki, pemerintah Mesir yang sah adalah
pemerintah sebelumnya yang dipimpin oleh Muhammad Mursi.
Keberanian Ghul dan Erdogan memimpin
Turki untuk tidak mengakui pemerintah hasil kudeta Mesir patut diacungi jempol.
Sebab, pemimpin negara-negara tetangganya, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab,
Qatar, dan Israel mengucapkan selamat atas terpilihnya Adly Mansour sebagai
presiden baru dan pemerintah barunya pasca kudeta. Apalagi, Turki saat ini
masih berada dalam bayang-bayang sekulerisme. Untungnya, pemimpin negara ini
merupakan muslim yang taat dan selalu berjuang untuk menghapuskan sekulerisme.
Bandingkan dengan Indonesia. Berdasarkan
survey penduduk tahun 2011, Indonesia menjadi negara berpenduduk terbanyak keempat
di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Adapun sebagian besarnya
adalah beragama Islam. Maka, bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara
berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Maka, ketika saudara seimannya di Mesir
dibantai, sudah selayaknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin negara
berpenduduk muslim terbanyak di dunia juga melakukan hal serupa seperti
pemimpin Turki. Bahkan, harus lebih garang lagi dari Turki. Misalnya, menarik
duta dan konsulnya di Mesir, melakukan protes melalui Kedubes Mesir di
Indonesia, atau memberikan bantuan uang, makanan, dan obat-obatan ke Mesir.
Indonesia juga berhutang budi
pada Mesir. 68 tahun lalu, setelah Indonesia merdeka, Mesir merupakan negara
pertama yang mengucapkan selamat dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Selain
itu, pada awal tahun 2005, Muhammad Mursi datang jauh-jauh dari Mesir hanya
untuk mengunjungi korban Tsunami Aceh dan memberikan bantuan lengkap. Sampai
hari ini, Mursi masih ditahan militer Mesir dan dicekal tidak boleh pergi ke
luar negeri. Hari ini pula, dua hari menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia,
SBY belum juga menyatakan sikap tegasnya. SBY hanya mengutarakan keprihatiannya
atas banyaknya korban dan memberikan usul win-win
solution di Twitter. Oh Bapak, kami menginginkan yang lebih dari itu!
Tentu kita masih ingat ketika
akhir tahun lalu, SBY dan istrinya pergi ke London, Inggris, untuk menerima
penghargaan dari Ratu Elizabeth II. Penghargaan itu adalah “Knight Grand Cross in the Order of Bath”
atau “Ksatria Salib Agung”. Penghargaan ini diberikan kepada SBY atas jasanya
dalam membela jamaah Ahmadiyah. Pada waktu itu, banyak pro-kontra dari masyarakat,
mengingat SBY adalah seorang muslim dan pemimpin negara berpenduduk mayoritas
muslim, tetapi menerima gelar tersebut.
Entah apa yang terjadi dengan SBY
saat ini. Mengapa beliau tidak berani tegas mengecam tindakan brutal militer
Mesir dan tidak mengakui pemerintah hasil kudeta Mesir? Sebagai orang yang
seharusnya berhutang budi pada Mursi karena telah mengunjungi korban Tsunami
Aceh, apalagi saat itu SBY telah menjadi presiden Indonesia, SBY lantang
berbicara pada dunia. “Bebaskan Mursi!” Saya memimpikan SBY berpidato dengan
keras mengatakan dua kata itu di Istana Negara dengan disiarkan secara langsung
oleh semua stasiun TV.
Mursi ketika mengunjungi korban Tsunami Aceh |
Sungguh tidak pantas jika SBY
mendapatkan gelar “Knight Grand Cross in
the Order of Bath” karena membela Ahmadiyah. Sebaliknya, SBY takut
membela muslim Mesir yang sudah jelas akidahnya. Apakah seperti ini watak
seorang ksatria?
Baiklah, terpaksa saya harus
membandingkan presiden Indonesia saat ini dengan presiden Indonesia pertama,
Ir. Soekarno. Pada saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962-1966,
Bung Karno dengan tegas mengatakan, “Ganyang Malaysia!”. Sebab, Bung Karno
percaya pada kekuatan dan fasilitas yang dimiliki militer Indonesia. Kini,
militer Indonesia sudah semakin maju. Bahkan, anggaran untuk pertahanan
ditingkatkan sejak awal kepemimpinan jilid duanya. Jadi, jika SBY harus
berpidato untuk menolak pemerintah hasil kudeta militer Mesir, SBY tidak perlu
takut karena Tentara Nasional Indonesia siap melindungi Jenderal Bintang Empat
ini.
Namun, SBY tetaplah SBY. Soekarno
tetaplah Soekarno. Mereka memiliki gaya kepemimpinan masing-masing. Meskipun
begitu, saat ini sikap nyata dari Presiden Indonesia untuk Mesir sangat
ditunggu. Saya berharap, pada pidato kebangsaan 16 Agustus nanti, di samping
menyoroti masalah dalam negeri, SBY juga menyelipkan doa untuk korban kejahatan
kemanusiaan di Mesir dan sikap lantangnya menolak pemerintahan Mesir hasil
kudeta. Ini merupakan salah satu ciri sikap politik luar negeri bebas aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar