Bulan Ramadhan telah berakhir. Pemuda
kampung meramaikan malam takbiran dengan keliling kampung dengan membawa oncor.
Semua orang bersuka ria mengumandangkan takbir. Pada pagi harinya, warga
kampung itu shalat Ied berjamaah di lapangan kemudian dilanjutkan dengan acara
syawalan di balai desa.
Suasana cukup mengharukan di
syawalan itu. Semua orang saling berjabat tangan, berpelukan, dan mengakui
kesalahan masing-masing. Tidak ada rasa dendam, iri, bahkan dengki yang
tersisa. Yang tersisa hanyalah senyum penuh ketulusan.
Kini hari kemenangan telah tiba. Umat Islam di seluruh dunia merayakannya. Setiap orang berbuka, menikmati ketupat, opor ayam, sirup, dan kue kering. Sanak famili datang silih berganti. Di akhir perjumpaan, yang lebih tua memberikan ‘salam tempel’ kepada yang lebih muda.
Kini hari kemenangan telah tiba. Umat Islam di seluruh dunia merayakannya. Setiap orang berbuka, menikmati ketupat, opor ayam, sirup, dan kue kering. Sanak famili datang silih berganti. Di akhir perjumpaan, yang lebih tua memberikan ‘salam tempel’ kepada yang lebih muda.
Tak terkecuali pada tiga
bersaudara yang sudah yatim piatu di kampung itu, Sya’ban, Ramadhan, dan
Syawal. Tiga bersaudara ini selalu memakmurkan masjid setiap hari, meskipun
kesibukan sekolah selalu membersamainya.
Selesai syawalan, biasanya, tiga
bersaudara itu selalu bersilaturahmi ke rumah nenek dan kakeknya yang berbeda
kampung. Namun, suasana Idul Fitri tahun ini agak berbeda. Selesai shalat
maghrib berjamaah di masjid, Syawal si anak termuda menangis. Kedua kakaknya heran dan mencoba
menghiburnya. Tidak biasanya Syawal menangis. Meskipun masih berumur 10 tahun,
Syawal termasuk anak yang jarang menangis. Justru, dia suka menghibur
teman-temannya karena kecerdasannya.
“Mengapa kamu menangis, adikku?”
Sya’ban, anak tertua menghiburnya.
Syawal mengeluarkan air mata
semakin banyak.
“Loh, apa yang terjadi, Syawal?”
Ramadhan juga mencoba menghiburnya.
Syawal malah menangis semakin
terisak.
“Baik, coba Dik, kamu tenangkan diri
dulu, dan ceritakan pada kami apa yang membuatmu menangis. Barangkali, kami
bisa membantumu.” Sya’ban memberikan segelas air putih dan memeluk adiknya.
Syawal pun meminum air putih
tersebut, kemudian terdiam beberapa detik. Akhirnya, dia mencoba menjelaskan
sebab dia menangis.
“Kak, ini kan hari raya Umat
Islam. Tapi kenapa sih, banyak orang yang tidak merayakannya seperti hari raya
Umat Islam?”
“Maksudmu, Dik?” Ramadhan menyela
dengan penuh keheranan.
“Kita bertiga lahir di bulan yang
penuh kemuliaan, sehingga orang tua kita memberi nama sesuai bulan kelahiran
kita. Andaikata kita bertiga adalah bulan-bulan itu, aku pasti akan menjadi
bulan yang paling banyak iri pada kalian, Kak, terutama bulan Ramadhan.” jawab Syawal.
“Ketika datang bulan Sya’ban,
orang-orang beramai-ramai mempersiapkan targetan-targetan yang akan
dilaksanakan saat bulan Ramadhan nanti. Mereka memperbanyak amalan ibadah,
shalat malam, sedekah, terus berpuasa sampai menyisakan satu hari sebelum
Ramadhan. Bahkan, ada juga yang belum tuntas utang puasanya tahun lalu,
sehingga orang-orang membayarnya di bulan Sya’ban. Ada juga yang menghidupkan
malam nishfu Sya’ban, meskipun ada yang berbeda pendapat tentangnya. Pokoknya,
apapun ibadah dilakukan sebagai warming
up Ramadhan.”
“Ketika datang bulan puasa Ramadhan,
sungguh Allah telah memuliakannya. Segala ibadah yang dilakukan pada bulan itu,
dilipatgandakan pahalanya. Pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka
ditutup, setan dibelenggu. Allah memberikan ampunan seluas-luasnya pada setiap
hamba-Nya di bulan itu. Masjid yang biasanya sepi ramai kembali, sedangkan tempat
hiburan penuh maksiat berhenti. Orang-orang rajin shalat berjamaah lima waktu.
Yang paling ramai tentu shalat maghrib sambil berbuka bersama dan shalat isya’
yang dilanjutkan dengan tarawih. Orang-orang juga rela bangun sebelum shubuh
untuk qiyamul lail dan bersantap sahur.
Pada 10 hari terakhir Ramadhan pun, orang-orang rela tidak tidur karena i’tikaf
di masjid. Mereka memperbanyak shalat malam, berdoa, bershalawat, dan tilawah,
bahkan sampai ada yang khatam lebih dari 5 kali sebulan. Kita juga diuntungkan.
Sebagai yatim piatu, kita mendapatkan zakat dan sedekah dari siapa saja.”
“Tapi kini, di bulan Syawal
ini..” Syawal diam sejenak, kemudian melanjutkan bicaranya.
“Mana ada orang yang mau pergi ke
masjid? Mana ada orang yang memberikan sedekah pada kita? Mana ada orang yang
terus tilawah sampai khatam 5 kali sebulan? Mana ada orang yang mau bangun di
sepertiga malam terakhir? Yang kulihat, orang-orang justru sibuk dengan
dunianya sendiri. Mereka pergi ke pusat perbelanjaan membeli baju baru, kue-kue
lezat, hape canggih, sampai stok uang di semua ATM habis. Ada pula yang
meramaikan pasar malam, berjoget ria dengan penyanyi dangdut berbaju minim. Tempat
hiburan markasnya maksiat dibuka kembali. Ada pula perempuan-perempuan yang
berbaju tertutup ketika Ramadhan, akhirnya dibuka lagi setelah Ramadhan. Ada pula
sepasang kekasih yang rela berpuasa khalwat ketika Ramadhan, kemudian kembali
berduaan setelah lebaran. Mereka meramaikan pantai, taman kota, atau villa di
lereng gunung sana, entah apa yang mereka lakukan. Bukankah Idul Fitri itu
menghapuskan dosa-dosa kita yang telah lalu, sehingga kita seperti terlahir
kembali setelah Idul Fitri? Tetapi mengapa orang-orang malah mencari dosa lagi?
Bahkan, ada juga orang yang bermaaf-maafan dengan tujuan melebur khilaf, malah
saling berjabat tangan dan berpelukan pada nonmahramnya. Bukankah itu akan
menambah dosa lagi? Rasulullah saja lebih memilih ditusuk dengan pasak dari
besi daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.”
“Mengapa Kak, mengapa seperti
ini? Apakah orang-orang sudah capek memaksimalkan ibadah selama sebulan?” Air
mata Syawal mengalir semakin deras.
Sya’ban dan Ramadhan memeluk
Syawal erat-erat.
Sebagai kakak tertua, Sya’ban
angkat bicara,“Dik, Kakak sangat mengapresiasi kecerdasanmu melihat realita
dalam masyarakat kita. Padahal, anak seumuranmu ini biasanya ikut
bersenang-senang di pasar malam sana. Ya, memang begitulah dunia. Ia penuh
dengan tipu daya. Kamu tahu, pesan Rasulullah tentang perumpamaan kenikmatan
dunia dan akhirat?”
Syawal menggeleng. “Lupa, Kak.”
“Baik. Misalnya kamu ke pantai.
Celupkan jari telunjuk ke air laut. Angkat telunjukmu dan biarkan apa yang
terjadi pada air di telunjukmu itu. Pasti air itu akan menetes dan mengering
terkena sinar matahari. Namun, bandingkan dengan air di laut itu. Kapan ia akan
mengering? Begitulah, kenikmatan dunia itu seperti air laut di telunjukmu tadi,
sedangkan kenikmatan surga adalah air laut yang tidak akan pernah habis tadi.”
“Mungkin, saudara-saudara kita
itu lupa bahwa kenikmatan yang mereka peroleh sesaat hanyalah titipan Allah.
Mereka terlalu senang mendapatkan salam tempel yang banyak dari Pakde-Budenya
sehingga segala barang yang diinginkan dibelinya. Mereka lupa caranya bersyukur,
jadi lupa akan hak saudaranya yang sebenarnya lebih membutuhkan. Adapun
orang-orang di pasar malam itu, atau sepasang kekasih di villa sana, mungkin
mereka lupa akan kematian. Biasanya, orang akan mati dalam keadaan yang dia
cintai. Tentu kita tidak mau kan, mati dalam keadaan cinta akan nikmat dunia?”
Sya’ban melanjutkan.
“Wah Dik, terima kasih atas
keirianmu pada Bulan Ramadhan, hehe. Orang-orang semangat beribadah pada bulan
Ramadhan karena berpegang pada janji Allah yaitu jaminan dilipatgandakannya
pahala hingga berakhir surga. Bandingkan dengan bulan lain, apakah juga
terdapat janji Allah akan dilipatgandakannya pahala? Sebenarnya ada, bahkan
banyak sekali. Namun, karena malasnya mereka mencari ilmu, mereka tidak tahu
bahwa bidadari-bidadari surga itu sebenarnya menanti kehadiran manusia. Namun,
manusianya sendiri enggan mencari tahu bagaimana cara memasuki surga itu.
Mereka juga menganggap bahwa menghidupkan Ramadhan saja sudah cukup. Padahal,
yang paling penting adalah meramadhan hidup. Anggap saja semua bulan adalah
Bulan Ramadhan, sehingga kita selalu bersemangat dalam ibadah dan bertegas diri
menjauhi kemaksiatan.” Ramadhan menambahkan.
“Bagaimana Dik? Sudah ya, tidak
perlu bersedih hati melihat realita masyarakat kini. Coba kita ingatkan mereka.
Minimal, kita mulai dari teman terdekat kita. Kita ingatkan dengan tangan kita.
Jika tidak mempan, dengan lisan kita.
Jika tidak mempan lagi, dengan hati kita. Kita doakan mereka supaya mereka segera
menyadari dan kembali meramaikan masjid ini.” Sahut Sya’ban.
“Eh, waktu Isya’ sebentar lagi
tiba. Ayo siapa ini yang adzan? Saya, Kak Sya’ban, atau kamu, Dik Syawal?”
Ramadhan mengingatkan. “Oya, jangan lupa ya, besok mulai puasa Syawal yuk.
Meski cuma enam hari, pahalanya seperti kita berpuasa setahun penuh. Masya
Allah.”
“Aku aja Kak, yang adzan!” Syawal
bangkit dari duduknya dan mengusap air matanya.
Srandakan, 4 Syawal 1434 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar