Pada
pergantian tahun 2009-2010, kita dihebohkan dengan kasus perseteruan antara
Polri dengan KPK yang diistilahkan dengan kasus “Cicak vs Buaya”. Kasus ini
cukup menyedot perhatian rakyat Indonesia karena kasus ini sangat erat dengan
agenda corruptors fight back.
Penetapan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang saat itu menjabat
sebagai wakil ketua KPK sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri terkesan
dipaksakan. Akhirnya, Kejaksaan Agung memberikan depoonering atau mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum.
Entah
kebetulan atau tidak, kasus yang serupa dengan “Cicak vs Buaya” di atas
terulang kembali saat ini. Namun kali ini, ditambah satu tokoh lagi yang ikut
bertarung melawan cicak, yaitu si banteng. Diawali dari penetapan calon Kapolri
Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan gratifikasi dan
rekening yang tidak wajar. Kemudian, beredar gambar Abraham Samad berfoto mesra
dengan Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira. Namun, setelah dicek, ternyata
foto tersebut hasil editan alias fitnah. Kemudian, pada hari Kamis, 22 Januari
2015, Abraham Samad dilaporkan oleh Plt. Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto karena
sebenarnya Abraham Samad pernah meminta kepada capres Jokowi untuk
mendampinginya sebagai cawapres. Belum ada kebenaran dari berita ini.
Sehari
setelahnya, berita mengejutkan kembali hadir. Pimpinan KPK yang lain, Bambang
Widjojanto, ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri atas laporan dari Sugianto
Sabran, mantan anggota DPR dari PDIP, saat sedang mengantarkan anaknya ke
sekolah. Kemudian, BW ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Pasal
242 KUHP tentang pemberian kesaksian palsu saat menjadi kuasa hukum atas kasus
sengketa Pilkada Kotawaringin Barat. Hari berikutnya, Adnan Pandu Praja
dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Kuasa Hukum PT Desy Timber atas tuduhan
kepemilikan saham secara ilegal.
Penggembosan
roda laju KPK dalam memberantas korupsi mulai dilakukan satu demi satu. Total,
sudah 4 dari 5 pimpinan KPK yang terancam mundur dari jabatannya: Abraham
Samad, Bambang Widjojanto, dan Adnan Pandu Praja, yang tengah ditargetkan untuk
dilawan melalui upaya hukum, serta Busyro Muqoddas yang akan diganti tahun ini
karena masa jabatannya berakhir. Sehingga, pimpinan KPK yang masih ‘aman’
hanyalah Zulkarnain.
Bisa
dibayangkan, jika KPK kehilangan pimpinannya, usaha pemberantasan korupsi akan
menjadi terhambat. Contohnya, dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka,
kelima pimpinan KPK harus menyetujuinya. Jika tidak, rawan dipermasalahkan.
Sama seperti halnya dengan penetapan tersangka kepada Budi Gunawan yang hanya
ditandatangani oleh 4 pimpinan KPK.
Sebenarnya,
rencana pelemahan terhadap institusi KPK telah dilakukan berkali-kali oleh berbagai
pihak. Mulai dari pelemahan melalui revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, proses seleksi pimpinan KPK yang diikuti oleh penegak hukum yang
pernah terlibat kasus korupsi dan advokat-advokat yang pernah mendampingi
tersangka korupsi, intervensi dari berbagai institusi, lambatnya pergantian
pimpinan KPK yang masa jabatannya akan segera habis, serta yang paling frontal
adalah tekanan dari berbagai pihak yang menyuarakan ingin membubarkan KPK.
Berbagai
lapisan masyarakat telah turun ke jalan menyuarakan aspirasinya untuk menyelamatkan
KPK. Namun, ada pula yang menganggap bahwa KPK harus dibubarkan. Sungguh miris
mendengar kalimat tersebut. Kemarin, sudah ada berita tentang salah satu
organisasi kemahasiswaan yang menyatakan sikap ingin membubarkan KPK. Begitu
membaca berita tersebut, saya langsung berkata, “itu yang bikin press release ada anak hukumnya nggak?” Jika
ada, saya ingin mencari tahu di universitas mana dia belajar Ilmu Hukum, berapa
IPK-nya, dosen mana yang telah merasukinya pikirannya untuk membubarkan KPK. Jika
ternyata pikiran untuk membubarkan KPK datang dari pihak di luar Fakultas Hukum
tempat dia belajar, sebaiknya mahasiswa tersebut keluar saja dari Fakultas
Hukum (jika masih menjadi mahasiswa), atau melepaskan gelar Sarjana Hukumnya
(jika sudah lulus) karena Ilmu Hukum yang telah dia pelajari tidak ada gunanya.
Saya ingin
mencoba menjelaskan pentingnya KPK bagi Negara Republik Indonesia. Jika salah,
mohon dikoreksi.
Struktur Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD
1945
Dari bagan di
atas terlihat bahwa KPK ‘hanyalah’ state
auxiliary institution. Artinya, tanpa lembaga-lembaga yang berbentuk state auxiliary institution pun,
tugas-tugas negara masih dapat dijalankan. Namun, kita perlu mengetahui sebab
komisi-komisi tersebut lahir. Komisi-komisi independen tersebut lahir karena
diharapkan bisa menyelesaikan tugas-tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh
lembaga sebelumnya yang seharusnya dapat menyelesaikannya. Hal tersebut bisa disebabkan
oleh posisi lembaga-lembaga sebelumnya yang tidak independen sehingga tidak
mungkin menyelesaikan kasus yang melibatkan lembaga di atasnya.
Sebagai
contoh, KPK. Dalam konsideran UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, disebutkan:
a.bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang
terjadi sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana
korupsi perlu ditingkatkan secara
profesional, intensif, dan berkesinambungan;
b. bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Dari konsideran di atas sudah cukup jelas, bahwa
lembaga sebelumnya yang diberi wewenang untuk memberantas korupsi, yaitu Polri
dan Kejaksaan belum dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Hal ini juga
disebabkan oleh posisi ketatanegaraan Polri yang berada di bawah Presiden dan
sebagai alat negara, serta Kejaksaan yang bisa diposisikan sebagai pengacara
negara. Posisi ketidakmandirian Polri dan Kejaksaan inilah yang membuat
pemberantasan korupsi tidak dapat berjalan efektif. Sebenarnya, masih banyak
kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi negara yang harus
diselesaikan. Namun, Polri dan Kejaksaan kurang berani menyentuhnya.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Maka,
penyelesaiannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Tindak pidana
korupsi yang sebelumnya hanya diselesaikan dengan cara biasa dengan KUHP, kini
dikhususkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diperkuat dengan UU No.
20 Tahun 2001. Penegak hukum yang menyelesaikan kasus korupsi juga harus
penegak hukum yang luar biasa. Dia tidak boleh berada di bawah lembaga
kepresidenan, tetapi harus mandiri. Oleh sebab itu dibentuklah KPK.
KPK diberi kewenangan khusus untuk memberantas
tindak pidana korupsi, seperti melakukan koordinasi dan supervisi, serta melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Termasuk dalam kewenangan khusus
tersebut adalah KPK berhak melakukan penahanan, penyitaan, dan penyadapan. Dalam
melaksanakan tugasnya pun, KPK harus bebas dari intervensi pihak manapun. Bahkan,
ada usul dari seorang pakar hukum, bahwa pimpinan KPK harus diberi hak imunitas,
yaitu hak bebas dari tuntutan pidana selama menjabat sebagai pimpinan KPK.
Namun, usul ini cukup mengundang pro-kontra karena bisa jadi pisau bermata dua.
Sebagian besar
orang yang menginginkan KPK bubar hanya berdasarkan pada asumsi bahwa KPK telah
dikuasai kepentingan politik, seperti pesanan oleh pihak tertentu menyelesaikan
kasus tertentu terlebih dulu atau mengesampingkannya. Dugaan mereka makin
diperkuat dengan adanya laporan dari Hasto bahwa Abraham Samad telah bermain
dalam politik praktis.
Entah benar atau
tidak kabar tersebut, tentu terlalu emosi jika langsung menuntut supaya KPK
dibubarkan. Ya, memang, KPK bukanlah barisan malaikat yang harus selalu dibela.
Ibarat ingin membasmi tikus di lumbung padi. Yang harus kita lakukan adalah
membunuh tikusnya saja, jangan bakar seisi lumbung. Sebab, kita masih
membutuhkan padi untuk makan. Jika KPK dibubarkan, bisakah kita mengembalikan penyelesaian kasus korupsi kepada Polri dan Kejaksaan? Padahal, di dalam tubuh Polri dan Kejaksaan sendiri juga masih berlindung oknum-oknum korup.
Adapun soal
kasus yang menimpa Bambang Widjojanto, saya menemukan keanehan. Insya Allah
akan saya tulis di lain waktu.
Tidak pernah
ragu, saya masih ingin berteriak: Save KPK!!
kalau negara sudah dikuasai kepentingan politik tertentu,jadi negara juga harus bubar gitu? :v
BalasHapusHahaha.. Lha piye coba kalo gitu
Hapus