Hari ini, handphone saya tidak berhenti berdering.
Banyak notifikasi dari Facebook yang masuk. Kebanyakan memberi respon atas
postingan saya yang membagikan tulisan dari seorang blogger tentang
keresahannya atas media abal-abal. Yang dirasakan oleh blogger tersebut cukup
mewakili keresahan yang selama ini saya pendam. Maka, saya pun membagikan blog
tersebut ke News Feed Facebook. Saya
kira, itu hanyalah hal sepele. Ternyata respon yang masuk begitu luar biasa.
Sekitar 40 orang memberi like, juga
beberapa mengajak berdiskusi. Saya cuma mau curhat di sini. Izinkan saya nyampah
ya, hehe.
Sejak Pemilu
2014, setiap membuka Facebook saya selalu perang batin. Saya bingung, sangat bingung,
dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Berita apa saja bisa
dibagikan, tidak peduli apakah itu bohong atau fakta. Seolah, Indonesia sedang
terpecah belah menjadi dua, yaitu golongan capres nomer 1 dan capres nomer 2.
Saya pun mengambil langkah, sekitar bulan Juni-Juli saya tidak membuka Facebook
sama sekali. Saya hanya membagikan postingan melalui link Instagram. Saya lebih senang membuka Twitter. Paling tidak,
Twitter lebih tenang. Analisis dari beberapa analis politik lebih cerdas
daripada orang-orang yang berkeliaran di News
Feed Facebook saya.
Ternyata,
setelah KPU mengumumkan pemenang Pilpres, News
Feed saya tetap tidak berhenti membicarakan aib pihak ini dan pihak itu. Ditambah
lagi dengan isu-isu yang menyangkut SARA. Saya hanya bisa menyaring sebijak
mungkin, mana yang perlu menjadi rujukan, mana yang tidak. Teman-teman Facebook
saya benar-benar sedang terbelah. Ada yang pro capres nomer 1, pro capres nomer
2, pro ISIS, anti demokrasi, dan pro piknik. Haha, saya suka golongan yang
terakhir.
Nah, yang
menjadi perhatian saya, ada beberapa Fanpage
yang sedang digandrungi, sebut saja J. Postingan dari J selalu menjadi
rujukan. Saya pun menyaringnya. Memang, ada hal-hal yang benar, ada juga
hal-hal yang kurang benar dan cenderung memecah belah. Maaf, sebelumnya saya
tegaskan, saya tidak sedang membicarakan aib J. Namun karena beliau cukup
terbuka terhadap kritik, izinkan saya mengomentari beliau.
Saya menyukai
postingan dari J ketika beliau mengomentari baju ihram Jokowi yang salah. Ini
membuka wawasan saya tentang pakaian ihram. Maklum, saya belum pernah umrah
hehe. Juga, saya menyukai beberapa postingan lain yang cukup menambah wawasan
saya. Namun (sekali lagi, semoga ini bukan ghibah), ada beberapa postingannya
yang kurang tabayyun. Contohnya, ketika beliau mengomentari tentang larangan
jilbab di Bali. Beliau terlalu membesar-besarkan isu tersebut, seolah Bali
benar-benar tidak ramah pada pemakai jilbab. Apakah beliau tidak tabayyun ke
masyarakat Bali?
Saya justru
mengalami pengalaman di Bali yang menyenangkan sebagai seorang muslim dan pemakai
jilbab, Pak J. Awal tahun 2013, saya ada kegiatan di Bali bersama teman-teman.
Sehari sebelum kembali ke Jogja, saya dan Hurin yang masih tersisa di Bali
karena baru terbang keesokan harinya, menyempatkan piknik ke Pantai Kuta.
Teman-teman Hindu Bali saya memang baik hati. Mereka bersedia mengantarkan kami
ke Kuta. Ketika kami mau naik motor, saya dan Hurin minta helm. Teman-teman
Bali bilang, “ngga usah pake helm soalnya kalo udah pake jilbab, ngga wajib
pake helm.” Ternyata, di Bali memang demikian aturannya. Siapapun yang memakai
penutup kepala simbol agama, seperti kain udeng milik umat Hindu atau jilbab
dan peci milik umat Islam, tidak wajib memakai helm. Hal ini merupakan bentuk
toleransi dari masyarakat Bali terhadap semua pemeluk agama di Bali.
Kembali ke J,
postingannya tentang jilbab Bali sudah terlalu melebar, ditambah dengan
komentar-komentar pendukungnya. Yang membuat saya sedih, teman Hindu Bali saya
merasa terdholimi oleh postingannya. Sebab faktanya, Bali tidak sejahat seperti
yang dikatakan J. Selain itu, postingan J akhir-akhir ini juga lebih sering
diwarnai dengan prasangka.
Kemudian,
media lain yang disoroti oleh blogger yang saya ceritakan pada awal artikel
ini, adalah SN dan PP. Saya dulu menyukai media itu. Saya banyak belajar ilmu
agama dari sana. Namun, untuk pandangan politik, mereka tidak menjadi rujukan
saya. Semakin lama, postingannya cenderung provokatif. Betapa menggelikan,
judul berita kok panjang dengan kalimat yang argumentatif. Saya lihat dari SN,
isinya menjelek-jelekkan Jokowi dan pemerintahan barunya. Gambar utamanya pun
hanyalah gambar meme lelucon. Sungguh, SN sudah melenceng dari kode etik pers
dan tujuan dari pers yaitu mencerdaskan masyarakat.
Saya tidak
tahu siapa pemilik SN. Yang saya tahu, mereka adalah aktivis dakwah, sama
seperti saya, sama seperti Anda juga. Ketika melihat sebuah kedholiman, wajib
bagi kita untuk melawannya dengan tangan. Jika tidak bisa, lawan dengan mulut.
Jika tidak bisa juga, lawan dengan hati (doa), namun ini adalah
selemah-lemahnya usaha. Ya, media-media aktivis dakwah tersebut hadir untuk
melawan kedholiman pemimpin dan calon pemimpin.
Namun, apa
jadinya jika yang dibicarakan oleh media-media tersebut hanyalah hal-hal yang
remeh-temeh? Misalnya, tentang aktivitas sehari-hari Jokowi atau kebohongan
Jokowi tentang kodoknya yang mati. Apa bedanya dengan media infotainment? Pokoknya, semua yang
dilakukan oleh Jokowi dan pemerintahan barunya selalu salah, dan yang dilakukan
oleh Koalisi Merah Putih selalu benar.
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” QS Al Hujurat
(49) ayat 12.
Di sini, saya
tidak sedang membela Jokowi. Pada Pilpres kemarin, saya lebih percaya kepada
Prabowo untuk menjadi Presiden saya, dan PKS sebagai wakil saya di parlemen.
Kewajiban saya sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam Pemilu sudah
saya tunaikan. Selanjutnya, saya akan mengawal wakil saya jika mereka salah. Namun,
capres pilihan saya kalah. Ya sudah, selama 5 tahun ke depan, saya akan
berpresiden Jokowi. Kewajiban saya hanyalah tetap mendoakannya dan tetap
berkontribusi dalam bidang saya. Saya juga tetap mengawal pemerintahan Jokowi –
JK. Izinkan saya mengkritisi mereka jika mereka tidak seperti yang saya
harapkan.
Sudahlah,
tidak ada gunanya terus menghujat pemimpin yang bukan pilihan kita. Tetap berpikir
jernih, berlaku adil, dan kendalikan nafsu.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS Al Maidah (5) ayat 8
.
Entahlah, apa
yang dikatakan orang tentang saya karena postingan saya tadi (mungkin ditambah
dengan curhatan ini). Apakah saya anggota jamaah yang bandel, tidak taat, sudah
berpikiran liberal, I don’t care! Saya
masih liqo’ dan insya Allah masih ingin liqo’. Saya hanya ingin perbaikan dari
jamaah ini. Apa gunanya materi-materi liqo’ yang dibuat sedalam mungkin jika
tidak diamalkan? Bukankah di liqo’ sudah diajarkan tentang menjaga aib sesama
muslim, ketaatan pada pemimpin, juga hubungan kita terhadap lingkungan sosial
kita? Jika memang ghibah diizinkan, tentu ada hal-hal yang harus kita ambil
hikmahnya.
Saya sedih
jika kita terpecah-belah seperti ini. Saya ingin Indonesia yang satu. Saya
merindukan kehidupan masyarakat Madinah ketika dipimpin oleh Rasulullah saw.
Semua agama hidup rukun berdampingan. Maksiat berkurang dan kaum muslimin
bertambah kuat imannya. Banyak-banyaklah membaca buku Sejarah dan Geografi
Indonesia. Kita akan menemukan betapa panjang perjalanan bangsa Indonesia ini
menemukan kemerdekaannya. Lihatlah bagaimana Soekarno dkk memikirkan sistem politik
apa yang terbaik untuk menyatukan semua golongan bangsa ini. Lihatlah betapa
Allah telah menganugerahkan Indonesia yang wilayahnya terbentang maha luas dari
Sabang sampai Merauke. Lihatlah betapa kayanya kebudayaan kita, betapa
cantiknya kain batik kita, betapa merdu sasando kita.
Silakan berpikir apapun tentang diri saya. Tapi apakah Anda mengetahui
bagaimana saya menangis di lantai sujud? Sesungguhnya batin saya menjerit! Saya
lelah! Ingin rasanya men-deactivate akun Facebook saya. Ingin rasanya kembali
membaca shirah, riyadhus shalihin, atau bulughul maram. Betapa ceteknya ilmu
agama yang saya miliki. Saya hanya ingin mengaji, bukan mencaci.
Saya juga tidak mengetahui bagaimana Pak J dan redaksi SN menangis di
lantai sujud. Semoga kita termasuk golongan yang berserah diri kepada Allah. Mari
sama-sama mendoakan agar negeri ini diberkahi Allah, seperti yang berikut ini:
Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al
Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang
mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”
Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia
menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya
bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan
negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77,
Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy). Postingan dari Fanpage “Mahasiswa Muslim Gadjah Mada hari ini emang nyess banget!
Cukup ah nyampahnya. Sungguh, ini cuma
curhatan sampah. Jangan jadikan artikel ini sebagai rujukan, hehe. Jangan bully saya lagi ya. Saya belum punya
pundak buat bersandar nih, hehe. Terakhir, saya selalu ingat pesan KH Rahmat
Abdullah:
Mohon maaf atas segala khilaf saya.
Once you hate a person,everything he/she does will always annoy you.
BalasHapusDan nampaknya,ini berlaku buat media2 tadi.
dakwah itu cinta :))
BalasHapus